Urgensi Pemeriksaan Pendahuluan Dalam Hukum Acara Dispensasi Nikah (Sebuah Gagasan Integrasi Lintas Lembaga demi Kepentingan Terbaik Anak)
Oleh: Khaimi (Hakim Mahkamah Syar’iyah Calang)
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Lonjakan perkara Dispensasi Nikah di Indonesia dalam lima tahun terakhir merupakan fenomena hukum dan sosial yang mendesak untuk dikaji ulang. Berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, jumlah permohonan dispensasi nikah melonjak dari 23.700 perkara pada tahun 2019 menjadi lebih dari 65.000 perkara pada tahun 2022, dan sebagian besar diajukan oleh pihak perempuan berusia 16 hingga 18 tahun. Sebagian besar permohonan disetujui, dengan tingkat pengabulan di atas 90 persen. Fenomena ini mengindikasikan masih terdapatnya kelemahan terhadap peran peradilan agama dalam menghadapi fenomena nikah di bawah umur.
Pemeriksaan pendahuluan menjadi relevan sebagai instrumen pra yustisial untuk memastikan kelayakan permohonan dan kesiapan psikologis anak serta dukungan lingkungannya, karena Dispensasi Nikah ini merupakan satu satunya pintu hukum yang memberi kesempatan bagi perkawinan anak di Indonesia. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (yang mengubah UU No. 1/1974), izin perkawinan di bawah umur hanya dapat diberikan oleh Pengadilan “dengan alasan sangat mendesak dan bukti pendukung yang cukup.” Dengan demikian, Pengadilan—khususnya Hakim tunggal—menjadi aktor sentral dalam keputusan yang sangat menentukan bagi masa depan anak.
Dalam kenyataan, Hakim yang memeriksa perkara Dispensasi Nikah tidak selalu memiliki latar belakang atau kompetensi multidisipliner yang menguasai psikologi anak, sosiologi keluarga, kesehatan reproduksi dan perlindungan anak. Tanpa mekanisme pendukung, keputusan bisa saja bias atau kurang mempertimbangkan berbagai dimensi kemanusiaan, sosial dan perlindungan anak. Oleh sebab itu, penambahan hukum acara berupa pemeriksaan pendahuluan (preliminary examination) dalam perkara Dispensasi Nikah dapat hadir sebagai kebutuhan mendesak agar proses peradilan menjadi lebih kolaboratif, objektif, dan berpihak pada kemaslahatan dan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child).
Pemeriksaan pendahuluan ini bukan bertujuan untuk menggantikan mekanisme persidangan, melainkan memperkaya landasan penilaian Hakim. Dengan mekanisme ini, Hakim tidak sekadar menjadikan undang-undang sebagai “corong” mekanis, melainkan sebagai penjaga nilai kemanusiaan berlandaskan kepada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam konteks Peradilan Agama, inovasi prosedural semacam ini menjadi bagian dari ijtihad kelembagaan untuk menjadikan hukum hidup (living law), bukan sekadar teks formal.