SYIQAQ DALAM TEORI FIQIH, OKE...
TAPI BAGAIMANA PRAKTIKNYA DI PENGADILAN AGAMA?
Oleh: Drs. H. Abdullah Berahim, M.H.I.
(Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Samarinda)
Kelompok Kerja (POKJA) Pengadilan Tinggi Agama Samarinda beberapa waktu yang lalu, tepatnya hari Rabu tanggal 11 Februari 2014 melaksanakan suatu forum diskusi, dengan mengangkat satu makalah yang berjudul “perkara cerai gugat dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan dengan alasan syiqaq”. Drs. Endang Kusnadi, S.H., M.H. salah seorang Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Samarinda selaku Penulis makalah, pada bagian akhir makalahnya mengemukakan bahwa “ada perbedaan fungsi hakam menurut Buku II dan Kitab Fiqih”. Dalam Buku II, fungsi hakam hanya sebatas melakukan musyawarah yang hasilnya diserahkan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah sebagai dasar putusan. Sedang hakam menurut kitab fiqih, setelah melakukan musyawarah, hakam juga mempunyai wewenang untuk memutus.” Ilaihima attafaruq baina azzaujaini wal jam’i. Masih menurut Penulis makalah diskusi tersebut, ada kerancuan kenapa dalam Buku II perkara syiqaq harus dibuat sejak awal perkara diajukan, dan tidak diperbolehkan merubah cerai gugat dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi perkara syiqaq. Padahal tidak semua orang yang berperkara mengetahui bagaimana kriteria perkara yang termasuk dalam kategori perselisihan dan pertengkaran terus menerus, dan mana yang termasuk dalam perkara syiqaq.
selengkapnya KLIK DISINI
.