PRAKTEK EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI PENGADILAN AGAMA DAN PROBLEMATIKANYA
Oleh : Drs.H.Tarsi, S.H.,M.H.I /Wakil Ketua PA. Stabat
Di Indonesia bisnis ekonomi syariah sudah masuk keberbagai wilayah tanah air, mulai dari wilayah perovinsi, kabupaten hingga kecamatan. Di Kabupaten misalnya terdapat Bank Muamalah, Bank Syari’ah, BRI Syari’ah, BNI Syariah, Bank Danamon Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, BPR Syari’ah, Asuransi Syari’ah, Pegadaian Syariah, Koperasi Syariah dan lain-lain.
Bank-bank yang menggunakan label syari’ah selain tugasnya menghimpun dana masyarakat, juga mendistribusikan dengan menawarkan sejumlah pinjaman kredit kepada masyarakat . Pinjaman uang yang diberikan kepada masyarakat yang memerlukan ( nasabah debitur), tentunya harus disertai syarat-syarat yang dapat menjamin agar tidak terjadi kredit macet yang dapat merugikan pihak bank sebagai kreditur.
Salah satu syarat yang dijadikan sebagai agunan adalah berupa sertifikat tanah. Apabila terjadi kredit macet, konsekuensinya jaminan tersebut dapat dijadikan pelunasan kredit dengan cara menguangkan apa yang menjadi jaminan kredit itu. Dalam praktek perbankan biasanya jaminan sertifikat tanah tersebut dibebani hak tanggungan, guna memberikan perlindungan hukum bagi kreditur apabila debitur terjadi wanprestasi atau cidra janji. Apabila terjadi kredit macet, Pihak bank yang ingin mengembalikan uangnya dari debitur yang wanprestasi/ cidra janji, akan mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama. Dalam hal ini Pengadilan Agama di Indonesia tentunya harus siap menerima dan melaksanakan eksekusi hak tanggungan yang diminta oleh perbankan. Hampir dapat dipastikan nantinya setiap Ketua Pengadilan Agama akan menerima permohonan eksekusi hak tanggungan ini, dan akan diuji kemampuan dan kualitasnya dengan mengangkat kewibawaan, mengingat perbakan syariah sudah banyak membuka bisnisnya diberbagai kabupaten, yang notabene disitu terdapat Pengadilan Agama.
Selengkapnya KLIK DISINI