FUNGSI TEORI HUKUM DAN HUKUM ACARA DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN HUKUM
Oleh: Ruslan H.R.
(Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu)
I. Pendahuluan
Masih ada diantara aparat hukum (hakim) yang beranggapan, bahwa teori berada di kawasan yang jauh dari sesuatu yang praktis, bahkan sering menimbulkan kesan tidak praktis dan kurang membantu memecahkan persoalan-persoalan hukum secara konkret. Singkat kata teori itu menghambat, berliku-liku, bahkan memusingkan. Pendapat tersebut, tentu tidak tepat, sebab boleh jadi anggapan/pendapat mereka itu sudah termasuk bagian dari sebuah teori. Fungsi utama teori adalah untuk memberikan kejelasan terhadap suatu masalah. Semakin baik kemampuan suatu teori untuk menjelaskan sesuatu, semakin tinggi penerimaan orang terhadap teori tersebut. Apabila di kemudian hari muncul teori baru yang mampu memberikan kejelasan yang lebih baikdan lebih tepat, maka teori yang lama pun akan ditinggalkan. Hal tersebut sangat lumrah dalam dunia ilmu pengetahuan.
Dalam sebuah debat di tv-one pada hari Senin (malam)tanggal 29 April 2013, yang bertajuk ”Perjuangan Machicha Mochtar Berujung Duka”, Profesor O.C. Kaligis memperlihatkan keangkuhannnya yang menganggap remeh aparat dan lembaga peradilan agama, dengan pernyataannya ”bubarkan saja peradilan agama itu” akibatnya sebagian warga peradilan agama merasa dilecehkan oleh bung O.C. Kaligis. Kalimat ini sebenarnya tidak pantas diucapkan oleh seorang pengacara senior, karena tentu saja beliau sudah memiliki banyak teori dan sejuta pengalaman dalam beracara di pengadilan, dengan kalimat itu boleh jadi membuat tokoh dan ulama serta umat Islam pada umumnya perasaannya tersinggung karena terkesan seolah-olah ada pelecehan umat Islam (SARA). Bisa saja ada orang Islam yang menduga bahwa jangan-jangan O.C. Kaligis ini termasuk salah seorang non Islam yang tidak nyaman bila peradilan agama tumbuh dan berkembang di Indonesia ?. Seorang pengacara senior sekelas O.C. Kaligis tentu tidak perlu diberi pengajaran lagi bahwa bila merasa tidak puas atas putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan berkaitan dengan kasus mbak Chica Mochtar, pihak yang merasa dirugikan itu dapat melakukan upaya hukum banding ke PTA Jakarta dan seterusnya, bukan harus mengeluarkan pernyataan yang berbau SARA terhadap umat Islam. Penulis tahu persis bung O.C. Kaligis ini adalah pengacara pertama yang menguji kemampuan pengadilan dalam hal beracara di Indonesia. Penulis sempat mengenal sepintas sosok O.C. Kaligis, ketika masih bertugas di Pengadilan Agama Makassar pada tahun 1985, ketika itu O.C. Kaligis sempat menemui penulis dan memberikan buku Yurisprudensi MA ditambah dengan buku Retnowulan dan buku M. Yahya Harahap yang berjudul Hukum Acara Perdata di Indonesia. Penulis salut dan wajar kalau diucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kepeduliannya itu. Mungkin cara itu dilakukan oleh O.C. Kaligis dengan maksud dan upaya ikut membantu mencerdaskan hakim pengadilan agama di dalam memahami hukum acara perdata di Indonesia. Tapi mengapa O.C. Kaligis setelah bergelar Prof.,Dr. perilakunya berbeda, mudah-mudahan itu bukan karena kesombongan intelektual.
selengkapnya KLIK DISINI
.