logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 9226

Langkah terbaik untuk merespons putusan itu, menurut Ahmad Kamil, ialah dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya, terutama dalam hal peningkatan kualitas SDM dan penyiapan peraturan yang berkaitan dengan sengketa ekonomi syariah.

Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Ahmad Kamil (kanan) didampingi Ketua Kamar Peradilan Agama Andi Syamsu Alam (tengah) dan Dirjen Badilag Purwosusilo (kiri). [Foto: Iwan Kartiwan]

Menurut Ahmad Kamil, seiring dengan maraknya bisnis syariah dan semakin meningkatnya potensi terjadinya sengketa, perlu ada banyak hakim peradilan agama yang mengikuti pelatihan penanganan sengketa ekonomi syariah. “Kita butuh seribu hakim,” tuturnya.

Ke depan, pada setiap pengadilan di lingkungan peradilan agama akan dibentuk satu majelis hakim yang memiliki keahlian khusus di bidang penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Saat ini peradilan agama terdiri dari 359 pengadilan tingkat pertama dan 29 pengadilan tingkat banding. Karena satu majelis terdiri dari tiga hakim, maka dibutuhkan sekitar 1000 hakim untuk menangani sengketa ekonomi syariah.

Saat ini, menurut Ahmad Kamil, hakim peradilan agama yang pernah mengikuti pelatihan ekonomi syariah belum sampai 500 orang. Mereka mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi yang berbeda-beda.

Rinciannya, 400 hakim mengikuti pelatihan yang selenggarakan Balitbangdiklatkumdil MA, 30 hakim mengikuti pelatihan yang selenggarakan KY dan 26 hakim mengikuti pelatihan yang selenggarakan BI.

Dengan kondisi demikian, perlu dilakukan akselerasi. Salah satu cara yang dapat ditempuh ialah dengan menetapkan tutor-tutor yang berasal dari lingkungan peradilan agama sendiri. Para tutor yang memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih di bidang ekonomi syariah itu lantas menularkan pengetahuan dan kemampuannya kepada rekan-rekannya sesama hakim peradilan agama.

Selain penyiapan SDM yang mumpuni, yang tidak kalah penting menurut Ahmad Kamil ialah penyiapan seperangkat aturan yang dapat digunakan hakim peradilan agama untuk memeriksa dan memutus perkara ekonomi syariah.

Saat ini peradilan agama telah memiliki KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah) sebagai hukum materiil. Sedangkan KHAES (Kompilasi Hukum Acara Ekonomi Syariah) sebagai hukum formil akan disahkan pada tahun 2014.

“Kalau pedoman administrasi ekonomi syariah sudah ada, ditambah KHAES, maka sudah lengkap,” tuturnya.

Perjuangan belum selesai

Kompetensi peradilan agama di bidang ekonomi syariah diatur secara eksplisit di Pasal 49 huruf (i) UU 3/2006 tentang Perubahan UU 7/1989 tentang Peradilan Agama. Disebutkan di bagian penjelasan, yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.

Meski kewenangan itu telah diatur dalam UU 3/2006, kenyataannya ada UU lain yang memberi celah kepada pelaku ekonomi syariah untuk menyelesaikan sengketanya di peradilan lain selain peradilan agama. UU tersebut adalah UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Konflik antara dua UU ini menimbulkan ketidakkepastian hukum, padahal UUD 1945 menjamin warga negara untuk memperoleh kepastian hukum.

Kamis (29/8/2013), majelis hakim MK menyudahi ketidakpastian hukum itu. Dalam putusan perkara Nomor 93/PUU-X/2012 itu, MK mengabulkan sebagian permohonan Ir. H. Dadang Achmad, Direktur CV Benua Engineering Consultant. MK menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam salah satu pertimbangannya, MK menyatakan bahwa adanya pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, sedangkan dalam UU 3/2006 secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

Dengan lahirnya putusan ini, maka satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah ialah pengadilan di lingkungan peradilan agama. Penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan di luar lembaga peradilan seperti musyawarah, mediasi dan lembaga arbitrase, asalkan disepakati dalam akad oleh para pihak.

Ketua Kamar Peradilan Agama MA Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. memberikan apresiasi yang tinggi kepada MK yang telah memberikan kepastian hukum dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi syariah.

Kepada warga peradilan agama, Andi Syamsu Alam berharap agar terus berjuang untuk mengokohkan eksistensi peradilan agama dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat pencari keadilan.

“Perjuangan kita belum selesai,” tutur hakim agung yang tahun depan purnabhakti ini.

(hermansyah)

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice