Tuada Uldilag, dalam tulisannya berjudul “Doa, Harapan dan Mimpi-mimpiku”, menyatakan bahwa seiring dengan perkembangan jaman, hakim peradilan agama harus memiliki pendidikan yang maksimal. Dengan pendidikan yang maksimal itulah hakim peradilan agama dapat melakukan pembaruan hukum, terutama pembaruan hukum Islam.
Hakim agung, selain dituntut mampu menangani perkara kasasi dan peninjauan kembali, juga diharapkan mampu melakukan pembaruan hukum Islam. Berbekal pengalaman dan pendidikan yang maksimal, para hakim agung dari lingkungan peradilan agama terbukti telah beberapa kali melakukan pembaruan hukum.
“Hakim Agung sudah berkali-kali mengeluarkan putusan yang baru,” tandas Tuada Uldilag.
Ia mencontohkan pemberian bagian warisan kepada anak tiri yang bukan ahli waris melalui lembaga wasiat wajibah dengan alasan tidak ada lagi ahli waris yang lain.
Masih dalam bidang waris, pernah pula hakim agung dari peradilan agama memberi bagian kepada anak non-muslim melalui lembaga wasiat wajibah dengan alasan di Indonesia tidak ada kafir harbi. Kalau ahli waris hanya anak perempuan, dia menghijab paman dengan alasan walad, yang dalam bahasa Arab berarti anak laki-laki dan anak perempuan.
“Banyak lagi yang lain seperti mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan suami secara Islam oleh isteri pertama yang beragama Buddha, dengan demikian asas personalitas keislaman tidak lagi berlaku mutlak, terlebih-lebih lagi pada kasus-kasus ekonomi syariah,” Tuada Uldilag menegaskan.
Belum sarjana
Dalam beberapa kesempatan, Tuada Uldilag mengeluarkan pernyataan bernada ‘provokatif’ untuk memotivasi warga peradilan agama agar menempuh pendidikan setinggi mungkin.
“Menurut saya, sarjana itu harus doktor. Kalau belum doktor berarti belum sarjana,” ujar Tuada Uldilag, ketika memberikan pengarahan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, belum lama ini.
Berdasarkan data yang dihimpun Badilag.net, per Oktober 2012, ada 39 orang dari lingkungan peradilan agama yang telah bergelar doktor. Jabatan ke-39 orang itu beragam: mulai Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial, Hakim Agung, Ketua PTA, Hakim PA hingga Panitera Pengganti PTA. Dari segi jenis kelamin, hanya tiga di antara 39 peraih gelar doktor itu yang berjenis kelamin perempuan.
Yang menarik, tidak semua gelar doktor itu diperoleh dari perguruan tinggi di dalam negeri. Beberapa di antaranya didapat dari kampus di luar negeri.
(hermansyah)