logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 13701

Hakim juga Harus Membuat SKP?

Bandung l Badilag.net

Satu pertanyaan yang sering mengemuka adalah apakah seorang hakim harus membuat Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) sebagaimana PNS?

Jawaban atas pertanyaan itu disampaikan oleh Kepala Bidang Pengelolaan Sistem Rekrutmen BKN Endar Setiawan, S.H.

“Hakim juga harus menyusun SKP,” kata Endar, ketika menjadi narasumber dalam kegiatan Peningkatan Keterampilan Pegawai yang diselenggarakan Bagian Kepegawaian Ditjen Badilag di Bandung, Rabu (23/10/2013).

Menurut Endar, meski berstatus pejabat negara, hakim terikat pada PP 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS. Penilaian prestasi kerja yang didasarkan pada SKP dan perilaku kerja ini untuk menggantikan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3). Selama ini, tiap tahun hakim juga dinilai dengan menggunakan DP3.

Endar menjelaskan, hakim termasuk rumpun jabatan fungsional. Namun berbeda dengan jabatan fungsional lainnya, kenaikan pangkat hakim tidak didasarkan pada angka kredit.

Sebagai alat ukur kinerja selama setahun, menurut Endar, SKP hakim harus disesuaikan dengan tugas pokoknya, yaitu memeriksa dan memutus perkara.

SKP tersebut, sebagaimana SKP yang disusun pegawai lainnya, mesti mencantumkan aspek kuantitas, kualitas dan waktu. Aspek kuantitas menunjukkan jumlah dokumen yang dihasilkan. Aspek kualitas menunjukkan mutu dokumen itu. Dan, aspek waktu menunjukkan berapa waktu yang diperlukan untuk menghasilkan dokumen itu.

Endar menambahkan, SKP yang disusun oleh seorang hakim tingkat pertama mengacu kepada SKP atasan langsungnya, yaitu ketua pengadilan tingkat pertama. Sementara SKP ketua pengadilan tingkat pertama mengacu kepada SKP ketua pengadilan tingkat banding. “Begitu seterusnya ke atas,” kata Endar.

Lantas, bagaimana dengan hakim yang diperbantukan, sehingga sehari-hari tidak menangani perkara?

Menurut Endar, hakim dapat diperbantukan untuk melakukan tugas lain selain memeriksa dan memutus perkara, asalkan yang bersangkutan mendapat tugas resmi dan memperoleh surat keputusan dari pejabat yang berwenang.

Hakim yang diperbantukan tersebut, tandas Endar, juga harus menyusun SKP. Bedanya, tugas-tugas yang diisikan di SKP tersebut bukanlah tugas-tugas yang berkaitan dengan memeriksa dan memutus perkara.

“Acuannya adalah SKP atasan langsungnya,” ungkap Endar. Misalnya, atasan langsung hakim yang diperbantukan itu adalah pejabat eselon IV di instansi pusat, maka SKP hakim tersebut harus mengacu kepada SKP pejabat eselon IV itu.

Profesi unik

Hakim adalah profesi unik. Disebut demikian, karena pada dasarnya hakim adalah pejabat negara, namun dari berbagai segi, hakim tidak berbeda dengan PNS pada umumnya.

Kedudukan hakim sebagai pejabat negara disebutkan secara eksplisit di UU 43/1999 tentang Perubahan Atas UU 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Bagian keempat UU tersebut mengatur tentang pegawai negeri yang menjadi pejabat negara. Di Pasal 11, terdapat ketentuan bahwa yang termasuk pejabat negara di antaranya adalah Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua badan peradilan.

Status hakim sebagai pejabat negara juga tertuang dalam UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 19 UU tersebut menyatakan, hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang. Pasal 31 UU yang sama berbunyi, hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Berbeda dengan pejabat negara lainnya seperti Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati atau anggota DPR dan DPRD, hakim harus memulai karirnya dari CPNS. Hakim juga memiliki NIP. Di samping itu, jenjang kepangkatan seorang hakim menggunakan tolok ukur golongan/ruang sebagaimana PNS—dengan nomenklatur yang berbeda tentunya.

Profesi hakim bisa menjadi begitu unik karena pada dasarnya hakim merupakan pegawai negeri yang diangkat menjadi pejabat negara. Karena itu, dalam hal penilaian kinerja, selama ini hakim juga menggunakan ‘rapor’ bernama DP3 sebagaimana PNS.

Mulai tahun 2014, ‘rapor’ bernama DP3 itu tidak berlaku lagi dan diganti dengan penilaian prestasi kerja yang terdiri dari SKP dan perilaku kerja. Jika dulu DP3 disusun oleh atasan di akhir tahun untuk diberikan kepada bawahan, kini bawahan harus menyusun SKP di awal tahun, lalu menyerahkannya kepada atasan dan di akhir tahun atasan harus memberi penilaian atas SKP itu beserta perilaku kerja bawahannya.

Dan, seperti ditegaskan Kepala Bidang Pengelolaan Sistem Rekrutmen BKN Endar Setiawan, S.H., baik PNS maupun hakim wajib membuat SKP.

[hermansyah]

.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice