logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 10314

“Gaji para hakim di negara kami yang paling tinggi di antara para pejabat lain,” kata Dr. Haydar Ahmad Daf’ullah, di hadapan sekitar 200 peserta diklat calon hakim terpadu angkatan II yang berasal dari peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara. Hadir pula mantan hakim agung dan Tuada Perdata Atja Sondjaja beserta sejumlah pengajar di sana. Hakim tinggi PTA Jakarta sekaligus pengajar di tempat itu, Bunyamin Alamsyah, menjadi moderator sekaligus mewakili Kapusdiklat MA.

Dr. Haydar menjelaskan, MA Sudan mampu memberikan gaji yang tinggi kepada hakim karena lembaga yudikatif tersebut memiliki independensi penuh, mulai dari perencanaan hingga penggunaan anggaran. Urusan penggajian dan sarana-prasarana hakim dikelola oleh sebuah badan khusus yang berada di bawah kendali Ketua MA Sudan. Badan inilah yang mencukupi segala kebutuhan hakim di sana.

“Ada konsensus di negara kami, kami harus independen. Tidak boleh ada lembaga-lembaga lain yang melakukan intervensi,” tutur Dr. Haydar.

Para hakim perlu diberi penghasilan yang besar, tandasnya, karena para hakim memikul tugas dan tanggung jawab yang sangat berat.

“Hakim sangat-sangat mulia. Tanggung jawabnya adalah menegakkan keadilan. Karena itu, adalah sangat adil jika penghasilan yang diterima hakim sebanding dengan tanggung jawabnya,” ujar Dr. Haydar.

Tingginya penghasilan yang diterima hakim di Sudan diimbangi dengan ketatnya kode etik. Gerak hakim di sana sangat terbatas. Sebagaimana di Indonesia, hakim di Sudan tidak boleh rangkap profesi. “Itu tidak boleh, dengan dalih apapun, supaya hakim betul-betul fokus pada tugasnya,” tandasnya.

Selain itu, dalam interaksi sosial, hakim di Sudan juga tidak bisa leluasa. Misalnya, hakim di sana dilarang pergi ke pasar. “Kami (MA Sudan) punya perkebunan dan peternakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan para hakim, karena hakim tidak boleh pergi ke pasar,” ungkapnya.

Independensi peradilan, penghasilan hakim yang besar dan kode etik yang ketat itu berlaku di Sudan sejak lama. “Ini bukan hal baru. Berdasarkan catatan sejarah, sejak dulu negara kami selalu begitu,” Dr. Haydar menegaskan.

Lima pengadilan

Ada lima jenis pengadilan di Sudan. Dijelaskan Dr. Haydar, pengadilan yang tertinggi di Sudan ialah Mahkamah ‘Ulya. Pengadilan yang selevel dengan MA RI itu menangani perkara kasasi. Mahkamah ‘Ulya memiliki sekitar 70 hakim agung.

Putusan kasasi Mahkamah ‘Ulya pada dasarnya adalah putusan akhir. Peninjauan kembali terhadap putusan kasasi hanya dibolehkan apabila ada putusan kasasi yang dinilai melenceng dari syariat Islam.

Jika ada peninjauan kembali, maka Ketua MA Sudan akan membentuk satu majelis yang terdiri dari lima hakim agung.

“Kami juga punya kewenangan untuk meninjau keputusan presiden dan menteri. Yang mengadili adalah hakim tunggal,” ujar Dr. Haydar.

Di bawah Mahmakah ‘Ulya terdapat Mahkamah Isti’naf atau pengadilan tingkat banding. Pengadilan jenis ini terdapat di berbagai wilayah. Seluruh hakimnya berjumlah 130 orang.

Pengadilan yang terletak di bawah Mahkamah Isti’naf adalah Mahkamah ‘Am. Bisa dikatakan, ini adalah pengadilan tingkat pertama. Perkara yang diajukan ke pengadilan ini akan diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal. Saat ini, ada 133 hakim di Mahkamah ‘Am.

Pengadilan tingkat pertama bukan saja Mahkamah ‘Am. Ada juga Mahkamah Juz’iyah. Hakim di pengadilan ini berjumlah 397 orang, yang terdiri dari para hakim muda. Mereka memeriksa dan memutuskan perkara-perkara yang sederhana.

Selain Mahkamah ‘Ulya, Mahkamah Isti’naf, Mahkamah ‘Am, dan Mahkamah Juz’iyah, di Sudan juga terdapat Mahkamah Rif atau bila di-Indonesia-kan berarti pengadilan desa.

Syariah dan adat

Sudan adalah negara yang konstitusi dan seluruh peraturan perundang-undangannya didasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Meski demikian, Sudan juga mengakui keberlakuan ‘urf atau adat.

“Konstitusi kami jga mengakui adat, asalkan tidak bertentangan dengan syariah,” ujar Abdul Mun’im Balha Muhammad Ali.

Pada umumnya, hukum adat di Sudan dipergunakan di pengadilan-pengadilan desa atau Mahkamah Rif untuk menyelesaikan perkara-perkara ringan. Pengadilan desa mengutamakan penyelesaian perkara dengan cara kekeluargaan.

Abdul Rahman Muhammad Taha menambahkan, pengadilan desa punya hak untuk menggunakan hukum nasional maupun hukum adat.

Para pengadil di pengadilan desa pada dasarnya bukan hakim yang direkrut dan dibina oleh negara. Mereka kebanyakan adalah tokoh setempat. Meski begitu, ada satu-dua hakim yang ditugaskan untuk melakukan supervisi terhadap pengadilan-pengadilan desa dan penggunaan hukum adat.

(hermansyah)

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice