logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 9723

Nampaknya Pak Emed ini, sebut saja begitu supaya mudah, adalah tokoh agama atau tokoh masyarakat. Persisnya, saya menebak beliau  adalah seorang Amil yang biasa membantu masyarakat desa jika berurusan dengan pernikahan atau perceraian.

Ketika saya berjalan masuk menuju halaman belakang PA, Pak Emed sedang berdiri di situ, ngobrol dengan tiga orang ibu-ibu, berusia antara 30-40an tahun. Ketiga ibu-ibu yang nampak lugu ini duduk di bangku panjang.  Di sekitar situ, banyak pula kerumunan orang. Maklum, ruang tunggu yang ada di bagian belakang gedung nampaknya tidak mampu menampung semua tamu yang datang pagi hari itu.

Meski gedung lama, PA Sumedang ini telah memberlakukan arus tamu sesuai dengan kaidah “one stop service” dan “interaksi proporsional”. Semua tamu yang berperkara diarahkan hanya dapat masuk gedung melalui pintu samping  langsung ke ruang pelayanan, atau melalui pintu belakang langsung ke ruang tunggu. Adapun tamu lainnya masuk melalui pintu depan.

Saya datang ke PA itu berdua dengan H.Cile, sopir setia saya, menjelang pukul 9 pagi. Mobil dinas yang saya pakai, sengaja tidak masuk halaman PA, supaya tidak menarik perhatian aparat. H. Cile memberhentikan dan memarkir mobil dinas itu di pinggir jalan yang agak terhalang oleh mobil lain. Lalu saya turun, masuk ke halaman berjalan kaki.

Pakaian saya juga biasa. Saya tidak pakai safari apalagi kemeja berdasi. Saya pakai kemeja putih garis-garis biru muda, tapi ditutup jaket biru yang biasa dipakai oleh kebanyakan orang. Ketika melewati Satpam di pintu masuk halaman, saya hanya senyum dan mengangguk kepadanya. Dia tidak nampak curiga bahwa saya orang Badilag.

Dengan pakaian dan cara masuk seperti itu, saya tidak menarik perhatian tamu-tamu yang sedang menunggu sidang. Lalu saya menuju Pak Emed dan ketiga ibu itu. Mengucap salam lalu bergabung ngobrol, dengan menggunakan bahasa Sunda. Objek obrolanpun mula-mula masalah umum saja. Tapi setelah mereka menerima kehadiran saya dan merasa akrab, dengan cara yang tidak  menyelidiki apalagi menginterogasi, sedikit demi sedikit saya bertanya tentang hal-hal berkaitan dengan pelayanan PA.

**

“Oh, bagus sekali Pak”, kata Pak Emed menjawab pertanyaan saya tentang pelayanan yang diberikan oleh PA Sumedang ini. “Mereka melayani kami dengan ramah, serius dan cepat”, katanya lagi.

Ketika ditanya tentang biaya perkara dan pungutan-pungutan lainnya, Pak Emed menjawab bahwa biaya perkara dibayarkan di Bank dan tidak ada pungutan lainnya lagi, kecuali ketika mengambil Akte Cerai. “Hanya Rp 30.000,-, dan itupun pakai kwitansi Pak”, tegasnya.

Ketika saya bertanya kepada salah satu Ibu tentang  biaya perkara yang dibayarnya, si Ibu yang akan meghadiri sidang pertama ini mengatakan telah membayarnya sekitar 400 ribuan melalui Bank.  Pak Emed dengan cepat menimpali, “Oh, itu nanti dikembalikan sebagian”.

Si Ibu sedikit heran. “Apa iya?”, tanyanya. “Iya. Nanti kan biaya itu dihitung kembali berapa habisnya, berdasarkan berapa kali sidang.  Biasanya ada sisanya. Lalu dikembalikan lagi kepada kita”, ungkap Pak Emed lancar sekali, meyakinkan lawan bicaranya. Si Ibu hanya bengong saja.

“Lho, kok Bapak tahu persis?”, tanya saya. “Iya begitu biasanya Pak. Saya kan sering mengantar orang ke sini”, jawab Pak Emed.

“Bapak, ‘Amil ya?”, pancing saya datar.  “Iya Pak. Saya ke sini hanya mengantar saja. Kasihan, banyak Ibu-ibu yang disakiti suaminya. Mereka ingin ke sini, tapi takut, sebab mereka tidak tahu. Mereka minta tolong saya. Saya jelaskan apa adanya, termasuk biaya-biayanya. Tapi tidak semua Ibu-ibu, Bapak-bapak juga banyak yang minta tolong saya untuk mengantarkannya ke sini”, kata Pak Emed lagi.

Lalu Pak Emed pamit kepada kami untuk mencari seseorang di ruang tunggu. Kamipun melanjutkan obrolan.

Ada dialog yang menarik. Ketika obrolan kami menyinggung lagi biaya perkara, salah satu Ibu berceritera. “Amil yang tadi itu kelihatannya baik. Kalau Amil di tempat saya minta biaya sejuta setengah. Malah saya ditakut-takuti, kalau langsung ke PA bisa habis 5 juta, katanya. Akhirnya saya minta diantar Ibu saya, memberanikan diri datang langsung ke sini. Eh, biayanya malah murah”, kata Ibu muda yang nampak agak murung.

Setelah hampir setengah jam ngobrol, saya pamit pada Ibu-ibu itu, lalu saya masuk ruang tunggu, di bagian belakang gedung. Di sana, orang yang berperkara banyak sekali. Saya duduk di bangku panjang yang kebetulan masih ada yang kosong. Saya berbaur dengan mereka. Ngobrol ngalor ngidul, sekali-sekali saya tanya tentang pelayanan dan kepuasan mereka atas pelayanan itu.

Lama-lama, ada juga pegawai PA yang mengenali saya. Lalu, ribut, lapor Pak Ketua. Akhirnya,  Pak Ketua dan para hakim serta pejabat-pejabat PA pada datang menemui saya. Sayapun pamit kepada teman ngobrol di kiri-kanan. Merekapun pada bengong. Mungkin mereka bertanya dalam hatinya, siapa orang ini.

Dari situ, saya diantar Pak Ketua dan pejabat lainnya melihat tiap ruangan, menyapa dan kadang ngobrol dengan aparat yang ada di tiap ruangan. Sebelum meninggalkan PA, saya minta bertemu dengan seluruh pejabat dan pegawai yang tidak sedang melakukan pelayanan, di suatu ruangan, untuk tukar menukar informasi dan dialog.

Saya senang sekali bisa berkunjung yang kedua kalinya ke PA Sumedang ini. Kunjungan pertama sekitar 10 tahun lalu ketika saya belum lama jadi Direktur.  Dalam kunjungan kali ini, yang hanya sekitar 2 jam, saya bisa ngobrol lama dengan para pencari keadilan dan pengantarnya, melihat suasana gedung dan ruang-ruangnya, serta dapat berdialog dengan para karyawan.

Setelah itu, saya pamit menuju PTA Bandung untuk “melapor” dan “minta maaf”, karena telah masuk wilayahnya tanpa pamit sebelumnya. Datang ke PTApun, saya juga tanpa memberi tahu. Nyelonong saja.

***

Saya sering berkunjung ke PA-PA  dengan cara seperti itu. Tapi kalau langsung ketahuan oleh aparat PA, saya sering  minta izin untuk ngobrol dengan yang berperkara, tanpa didampingi aparat PA.

Bagi kawan-kawan di PA, substansi dari dialog seperti di PA Sumedang tadi  bukanlah hal yang aneh. Mungkin semua PA, terutama di Jawa, sudah mengetahuinya. Tapi bagi saya, obrolan dan observasi langsung seperti itu sangat berkesan dan tambah meyakinkan apa yang terjadi di lapangan.

Dari dialog di PA Sumedang itu, kita bisa mengambil langkah. Misalnya, kita perlu banyak koordinasi dengan pemerintah setempat atau LSM-LSM untuk menyosialisasikan atau menginformasikan prosedur dan biaya perkara.  Kita juga perlu banyak memasang spanduk, pamflet, standing banner, papan pengumuman dan sejenisnya secara menyolok, di ruang pelayanan atau ruang tunggu PA, yang berisi tentang prosedur dan biaya perkara. Diharapkan, masyarakat mengetahuinya dan calo menjadi tidak laku.

Di samping substansi seperti dalam dialog tadi, banyak hal lain yang saya peroleh, baik yang positif maupun yang negatif. Semuanya saya sampaikan kepada Ketua dan karyawan untuk menjadi bahan masukan dan perhatian dalam memberikan pelayanan.

Di antara hal yang perlu mendapat perhatian adalah masih sering ditemukan pelaksanaan sidang yang molor dari jadwal, panggilan yang tidak sampai, atau yang terlambat sampai kepada para pihak, terlambatnya penyelesaian salinan putusan dan akte cerai, dan masih ada satu dua aparat yang melakukan interaksi dan komunikasi yang tidak proporsional.

Di samping itu, masih banyak ruangan-ruangan yang bau asap rokok. Saya sendiri beberapa kali menemui dan langsung menegor aparat yang merokok di dalam ruangan, apalagi ruangan berAC.

Walaupun masalah asap rokok di ruangan banyak yang menganggap kecil, bahkan tidak mempermasalahkannya, bagi saya asap rokok di ruangan, apalagi ruangan pelayanan adalah masalah serius yang harus mendapat perhatian seluruh karyawan, terutama para hakim dan pimpinan.

Merokok di ruang kerja dan ruang publik, di samping melanggar peraturan, juga sangat mengganggu orang lain dan membahayakan kesehatan, terutama terhadap orang yang tidak merokoknya.

Seorang Ibu, Panitera Pengganti dari suatu PA, dalam kesempatan dialog terbuka dengan saya, secara langsung menyatakan sangat terganggu dan tidak dapat bekerja karena asap rokok yang ada di ruang kerjanya. Ironisnya, dia tidak berdaya dan tidak bisa melarang kawan seruangannya yang juga PP untuk tidak merokok.

Silahkan merokok secara arif di tempat khusus yang tidak mengganggu orang lain. Pimpinan juga harus mempersiapkan tempat khusus itu.

****

Kunjungan untuk melihat keadaan yang sebenarnya di lapangan, bagi saya, adalah hal yang sangat bermanfaat. Namun, tidak mungkin hanya dengan satu dua jam bisa memotret seluruh keadaan yang sebenarnya. Apalagi hanya dilakukan oleh satu orang saja.

Kunjungan lapangan merupakan cara pembinaan. Tapi itu bukan satu-satunya. Masih banyak hal yang harus kita lakukan untuk meningkatkan pelayanan kita kepada masyarakat.

Namun demikian,  jika kunjungan ini dilakukan secara konsisten, oleh banyak orang secara kompak, seperti pejabat-pejabat Badilag, pimpinan dan hakim PTA, atau bahkan juga oleh pimpinan PA itu sendiri, lalu diadakan evaluasi dan aksi tindak lanjut, saya yakin kunjungan lapangan ini akan besar manfaatnya.

Kunjungan ini memang sangat penting. Namun lebih penting lagi adalah kesadaran seluruh aparat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu demi pelayanan dan kepuasan masyarakat pengguna pengadilan.

“Client satisfaction” atau kepuasan pengguna pengadilan merupakan salah satu faktor utama yang harus diperhatikan dalam perjalanan menuju Pengadilan yang Agung, sebagaimana disebutkan dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung 2010-2035. (WW)

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice