logo web

on . Dilihat: 3515

 

Malu Terhadap Staf

*

Jika anda datang ke kantor saya, mungkin anda akan melihat atau mendengar saya berbicara dengan staf-staf dekat saya selalu menggunakan Bahasa Inggris. Staf yang saya maksud adalah Rahmat Arijaya, Hermanto dan Reny.

Rahmat adalah staf khusus yang membantu saya dalam bidang hubungan internasional dengan negara-negara barat, sedangkan Hermanto dan Reny adalah  staf yang  khusus  untuk  mengatur tamu, mengurus surat, dan membantu menyiapkan segala keperluan saya di kantor.

Mereka berbicara Inggris sangat baik dan fasikh.    Mereka selalu bicara Inggris dengan saya, di manapun dan dalam situasi apapun, baik di kantor maupun di luar kantor, baik bicara langsung, melalui tilpon, sms atau tulisan, juga dalam keadaan kami berdua atau ada orang lain. Tapi kalau bersama orang lain dan pembicaraannya  melibatkan orang lain, mereka akan berbicara dalam Bahasa Indonesia.

Mereka konsisten, selalu bicara Inggris dengan saya.  Itulah yang membuat saya salut kepada mereka.  Padahal saya tidak memerintahkan mereka harus selalu ngomong Inggris, apalagi saya akan “menghukum”nya jika mereka bicara dalam Bahasa Indonesia. Sama sekali tidak.

Saya sendiri semula kurang enak dan tidak menikmati bicara Bahasa Inggris dalam pergaulan sehari-hari di kantor. Buktinya dengan staf selain yang tiga ini, walaupun dia bagus bicara  Inggrisnya, seperti dengan Cholil dan lainnya, saya selalu menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi dengan ke tiga staf khusus tadi itu, saya dipaksa harus ngomong Inggris.

Namun demikian, kini, saya sudah terbiasa, enak dan menikmati bicara dalam Bahasa Inggris dengan mereka itu, di mana saja dan kapan saja.

**

Jadi, siapa yang memaksa harus selalu bicara Inggris antara saya dan ketiga staf itu? Ya, mereka itulah. Dengan kesadaran yang tinggi akan pentingnya berbahasa asing, mereka tidak malu dan canggung untuk  selalu mempraktekkan bicara bahasa Inggris dengan saya di manapun.

Memang awalnya, ketika Hermanto saya tarik untuk menjadi staf saya menggantikan Sulaiman, 3 tahun lalu, karena Sulaiman dilantik menjadi pejabat eselon 4, saya menawarkan agar dia mempraktekkan berbahasa Inggris dengan saya. Saya tahu, Hermanto, pegawai  baru ketika itu, adalah pengajar pada suatu Lembaga Kursus Bahasa Inggris di Jakarta. Dia sejak itu secara konsisten bicara berbahasa Inggris terus dengan saya, walaupun awalnya saya kurang enak.

Reny, pegawai honor baru, ditempatkan oleh Bagian Kepegawaian sebagai staf saya, menemani Hermanto, sebab dia pintar berbahasa Inggris.  Diapun konsisten mengikuti Hermanto, selalu bicara Inggris dengan saya.

Lain lagi ceritera Rahmat Arijaya yang baru 6 bulan ini menggantikan Cholil yang mendapat kesempatan tugas belajar ke Melbourne. Sejak jumpa pertama kali dengan saya, jauh sebelum menjadi staf saya, dia sudah selalu bicara Bahasa Ingggris. Bahkan dia memperkenalkan kepada saya juga menggunakan Bahasa Inggris. Dia mengatakan,  dengan Prof Atho’ Mudzhar, tetangga saya yang sangat dikenal di Kementerian Agama dan kalangan UIN itu, dia pun waktu menjadi mahasiswanya sering bicara dalam Bahasa Inggris.  “PD” sekali orang ini, pikir saya.

Dalam kegiatan English Meeting Club yang diselenggarakan Badilag, sebelum Rahmat menjadi staf saya dan masih bertugas sebagai hakim di PA Sekayu, dia sering mengikutinya dengan biaya sendiri. Saya salut dengan semangat berbahasa Inggrisnya.

Melihat semangat ke tiga staf saya yang demikian besar dan konsisten dalam berbahasa Inggris, akhirnya, sayalah yang merasa malu. Bukan malu karena harus berbicara Bahasa Inggris dengan mereka, namun malu terhadap mereka dan malu terhadap diri sendiri.

Saya sebagai yang dituakan dan sebagai pimpinan mereka tidak bisa memberi contoh kepada mereka dan kalah jauh dari mereka dalam semangat untuk mempraktekkan Bahasa Inggris di kantor. Sayapun malu karena akhirnya sayalah yang harus mengikuti mereka dalam melakukan hal yang sangat positif ini.

Diam-diam, saya sangat berterima kasih kepada mereka, sebab saya sendiri diuntungkan oleh semangat berbahasa Inggris mereka. Karena setiap hari saya “dipaksa” mereka harus berbahasa Inggris, akhirnya sayapun tambah “PD” kalau harus bicara dengan tamu atau bergaul dengan “English Native Speakers”.  Bukankah berbahasa itu suatu keterampilan, yang harus selalu dipraktekkan?

Apalagi kini, Badilag semakin hari semakin banyak bergaul dengan tamu-tamu atau kolega-kolega yang berasal dari negara-negara berbahasa Inggris, seperti dari Australia, Amerika atau Eropa. Betul-betul, saya sangat diuntungkan oleh staf-staf khusus saya itu.  Komunikasi dan kerjasama antara Badilag dengan pihak asingpun semakin lancar.

***

Terinspirasi oleh semangat mereka, ketika Cholil masih belum berangkat studi ke Australia, sayapun dan Cholil sepakat untuk membentuk English Meeting Club (EMC) di Badilag.  Dengan dukungan para pejabat dan staf lainnya, EMC diadakan dua bulan sekali dengan mendatangkan tokoh asing yang “English Native Speaker” sebagai pembicara.

Di antara tokoh yang pernah bicara sebagai nara sumber pada kegiatan EMC ini adalah Cate Sumner (peneliti Australia), Nenad Bago, (Ketua IA LDF kelahiran Kroasia), Leisha Lister (Australia), Anne Wallace (Australia), Prof Mark Cammack (L.A. USA), Markus Zimmer (Presiden Pendiri IACA, USA), dan David S Anderson (InACCE MCC, USA).

EMC ini bukan kursus Bahasa Inggris, tapi forum diskusi hukum dan peradilan dengan menggunakan Bahasa Inggris.  Para hakim dan staf Peradilan Agama dari Jakarta dan sekitarnya, bahkan dari wilayah PTA di Jawa dan Sumatera bagian selatan, yang sudah “PD” berbahasa Inggrisnya, secara sukarela dan penuh semangat aktif mengikuti kegiatan ini.

Belakangan, kawan-kawan peminat Bahasa Arab, yang  di antaranya banyak lulusan dari Timur Tengah,  juga mengadakan kegiatan serupa dengan menggunakan Bahasa Arab. Banyak juga peminatnya.

Kemampuan berbahasa Arab secara aktif, sangat diperlukan pula di lingkungan Peradilan Agama. Kini kitapun mulai banyak kerjasama dengan negara-negara Timur Tengah, seperti Saudi Arabia, Sudan, Mesir, Qatar dan lainnya, terutama dalam hal pengembangan SDM dan Hukum Islam.

Kegiatan-kegiatan berbahasa Inggris dan Arab ini secara bersamaan dilakukan pula dengan pengembangan situsweb www.badilag.net  versi Inggris dan Arab, yang dilola oleh kawan-kawan yang cukup mahir dalam penguasaan kedua bahasa asing tersebut.

Di daerahpun, seperti di PTA Yogyakarta dan PTA lainnya dikembangkan juga kegiatan-kegiatan berbasis kedua bahasa asing ini.

Sebagai pimpinan Badilag, pasti saya sangat senang melihat kawan-kawan bersemangat melakukan kegiatan-kegiatan berkaitan dengan pengembangan diri di bidang dua bahasa asing ini. Saya berpikir, sebagai sebuah lembaga, Badilag dan Peradilan Agama mestinya mempunyai banyak hakim atau staf yang mahir berbahasa asing.

Dalam era globalisasi dan teknologi informasi ini, di mana keterlibatan dalam pergaulan antar bangsa sudah merupakan suatu keniscayaan, maka tidak boleh tidak, kitapun harus mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing, paling tidak Bahasa Inggris atau Bahasa Arab.  Kalau tidak, kita akan selalu berada di pinggir, sebagai penonton yang tidak bisa ikut main.

Terdorong oleh rasa malu saya terhadap staf, sayapun berusaha mendorong diri saya dan kawan-kawan untuk mengembangkan bahasa asing di lingkungan Badilag dan Peradilan Agama. Di Badilag, saya tunjuk Rahmat Arijaya, di samping untuk membantu saya dalam kerjasama internasional dengan negara-negara barat, diapun diberi tugas untuk mengembangkan Bahasa Inggris di kalangan hakim dan staf Peradilan Agama.

Demikian pula, saya tunjuk Nasich Salam sebagai staf khusus saya di bidang kerjasama dengan negara-negara Timur Tengah dan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Arab bagi hakim dan staf di lingkungan Peradilan Agama. Nasich adalah lulusan S1 Cairo dan S2  Sudan, pernah lama juga kerja di KBRI Chortum. Belasan tahun dia hidup di wilayah Timur Tengah itu.

Rahmat dan Nasich saya beri kebebasan untuk berimprovisasi dalam melaksanakan tugas khususnya itu, dan saya mendukung serta memfasilitasinya. Kerjasama dengan negara barat dan timur, kini semakin maju. Yang perlu difokuskan lagi adalah peningkatan kemampuan berbahasa asing bagi hakim dan staf lainnya, terutama kemampuan dalam berkomunikasi.

Melihat semangat kerja Rahmat dan Nasich, saya optimis, Peradilan Agama ke depan akan lebih maju lagi, sebab hakim dan staf kita akan lebih banyak  yang menguasai kedua bahasa asing ini. Namun demikian, Rahmat dan Nasich saja tidak cukup tanpa dukungan para pimpinan Badilag dan Peradilan Agama di daerah masing-masing.  Dukungan itu mutlak diperlukan.

Rahmat dan Nasich bagi Badilag dan Peradilan Agama hanyalah seperti Hermanto dan Reny bagi saya. Mereka hanya berfungsi sebagai pemberi semangat dan pendorong rasa “malu”, agar kita bisa konsisten dalam melakukan upaya yang positif menuju keadaan yang lebih baik. Hanya itu saja. Selebihnya, terserah anda. (WW).

 

 

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice