logo web

on . Dilihat: 3924

 

Harga Sebuah Surat KMA

*

Ketika saya menggantikan Pak Syamsuhadi, sebagai Direktur Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, tahun 2000, anggaran peradilan agama masih sangat memprihatinkan. Bahkan, bukan hanya tahun 2000 itu saja, namun juga tahun-tahun sebelumnya.

Beliau mengatakan bahwa anggaran pembangunan untuk tahun 2000  hanya 3,5 milyar.Dua setengah milyar untuk pembangunan di 25 wilayah PTA dan satu milyar  untuk pengadaan-pengadaan melalui Direktorat.  Ketika itu, jumlah PTA ada 25, belum 29 seperti sekarang ini. Jadi, kalau dirata-ratakan,  setiap wilayah PTA hanya kebagian 100 juta rupiah.

Dana sebesar itu, hanya cukup untuk membangun gedung sederhana seluas 100 m2. Tapi ya, alhamdulillah.

Saya masih ingat, di tahun itu, diminta KPA Kajen, Dr. Arsyad Mawardi, untuk melakukan peletakan batu pertama pembangunan gedung PA Kajen.  PA baru yang terletak di ibu kota Kabupaten Pekalongan ini mendapat anggaran 75 juta. Dana itu hanya cukup untuk membangun gedung seluas 100 m2.

Pak Arsyad mengistilahkan pembangunan gedung itu sebagai pembangunan ruang sidang utama, bukan pembangunan gedung PA, walaupun gedung PAnya  belum ada. Nampaknya Pak Arsyad berstrategi agar pembangunan berikutnya cepat dilakukan lagi. Atau, hanya untuk menutup “malu” kalau ada pertanyaan usil, kok pembangunan gedung baru hanya 100 m2?

Itulah keadaan peradilan agama di masa-masa sulit.

**

Para Direktur Pembinaan Peradilan Agama di Departemen Agama, sejak dulu, berjuang sangat gigih dalam meningkatkan anggaran pembangunan peradilan agama. Katakanlah, sejak saya masuk Direktorat Peradilan Agama, tahun 1978, Direkturnya Pak Wasit Aulawi, lalu Pak Ichtijanto, Pak Muchtar Zarkasyi, Pak Taufiq, Pak Zainal Abidin dan Pak Syamsuhadi. Semuanya melakukan upaya optimal agar anggaran dan sarana prasarana peradilan agama meningkat sesuai standar yang diperlukan. Namun kemajuannya sangat seret.

Setelah saya pindah ke lingkungan Sekretariat Jenderal, tahun 1996, sebagai Kabag Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri, lalu Kabag TU Pimpinan, saya menjadi tahu persoalannya. Apalagi, walaupun jabatan-jabatan struktural itu saya pegang secara resmi, namun sehari-harinya saya bertugas sebagai Sekretaris Menteri.

Berada pada “ring satu” di Departemen Agama, walaupun tidak mempunyai kebijakan, saya bisa dengan mudah untuk mendapat akses informasi dari unit kerja manapun.  Jadi saya tahu persis mengapa anggaran peradilan agama dari tahun ke tahun tidak mengalami kenaikan signifikan.

Di antara penyebab seretnya anggaran itu ternyata karena di Departemen Agama, sektor yang utama adalah sektor kehidupan beragama lalu sektor pendidikan. Peradilan agama mestinya merupakan bagian dari sektor hukum. Tapi karena berada di Departemen Agama, Peradilan agama masuk  sektor kehidupan beragama. Akibatnya, anggaran dari sektor hukum tidak dapat sama sekali, sedangkan anggaran dari sektor kehidupan beragama se”dikasih”nya, sebab jumlah anggaran kehidupan beragamapun sangat terbatas.

Penyebab lainnya adalah apa yang oleh orang-orang, biasa disebut sebagai “political will”. Besarnya anggaran tergantung pada kesediaan pihak atau orang-orang yang mempunyai otoritas dalam membagi “kue” pembangunan, baik di tingkat departemen, Bappenas atau DPR.  Sudah barang tentu, orang-orang  yang punya otoritas ini harus diyakinkan dengan data,  argumen atau lainnya, yang saya sendiri tidak tahu persis.

Pak Hariri sangat piawai dalam melakukan trik-trik untuk penyusunan anggaran ini. Pak Hariri banyak memberikan masukan, lalu dibahas, kemudian disimpulkan dan dilakukan langkah-langkah pelaksanaannya.  Banyak langkah yang telah kami lakukan, seperti kampanye peradilan agama, pamer kemiskinan, membuat renstra dan lobi-lobi.

Karena kecerdikan Pak Hariri, sejak sebelum masuk ke Mahkamah Agung, peradilan agama sudah berhasil bisa masuk anggaran sektor hukum. Dr. Diani Sediawati, pejabat eselon 2 Bappenas yang menangani perencanaan sektor hukum berhasil diyakinkan. Kemudian   peradilan agama masuk sektor hukum, sama dengan peradilan umum yang sudah sejak awal berada di sektor hukum. Akibatnya anggaran peradilan agama tidak lagi diambil dari sektor kehidupan beragama.  Ini modal besar untuk peningkatan anggaran pada tahun-tahun berikutnya.

***

Karena ide Pak Hariri pula, kami di Direktorat sepakat agar Ketua Mahkamah Agung diminta bantuannya  untuk melakukan upaya peningkatan anggaran peradilan agama, walaupun ketika itu peradilan agama belum berada di bawah Mahkamah Agung. Saya menceriterakannya kepada Pak Syamsuhadi, yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama. Beliau setuju agar saya bicara langsung kepada Ketua MA, Pak Bagir Manan ketika itu.

Kami sudah kenal dengan Pak Bagir karena beliau sudah sejak lama terlibat dalam seminar-seminar pengembangan peradilan agama dan pembahasan draf RUU Peradilan Agama, yang belakangan menjadi UU 7/1989. Saya dan Pak Hariri optimis Pak Bagir akan sangat membantunya, mengingat selama itu peran Pak Bagir sangat besar dalam pengembangan peradilan agama.

Sebelum saya dijadwalkan beraudiensi dengan Pak Bagir di kantornya, secara tidak sengaja, saya, Pak Syamsu dan Pak Bagir bertemu dalam resepsi jamuan makan malam Hari Kemerdekaan Malaysia, di Hotel Borobudur.

Dalam pertemuan itu, Pak Syamsuhadi menceriterakan kepada Pak Bagir tentang maksud saya untuk mohon bantuan Ketua MA. Lalu saya ceriterakan sedikit panjang lebar kepada Pak Bagir tentang kondisi peradilan agama yang sebetulnya beliau juga sudah sejak lama mengetahuinya.

“Jadi apa yang perlu saya lakukan?”, kata Pak Bagir dengan suara halus. “Kami mohon ada surat dari Bapak yang ditujukan kepada Kepala Bappenas, Menteri Agama dan Menteri Keuangan”, jawab saya.

“Kapan itu diperlukan?”, pertanyaan beliau lagi, datar. “Secepatnya Pak, soalnya sekarang sedang berlangsung penyusunan anggaran, bahkan untuk tingkat departemen sudah hampir selesai”, jawab saya penuh semangat. “Kalau begitu, besok selesai. Ambil di kantor saya sore-sore”, tegas Pak Bagir.  Wah, saya senang sekali. Pak Bagir demikian memahami dan sangat membantu.

Besok sorenya, dengan hati berbunga-bunga saya datang ke kantor Pak Bagir. Dan benar, surat-surat  itu telah jadi. Konon, Pak Rum Nessa yang mengonsep surat dan berperan dalam cepatnya keluar surat dari Ketua MA ini.  Saya, Pak Hariri dan kawan-kawan di Direktorat  semuanya senang. Hari itu juga, suratpun segera diantar ke alamat-alamat dimaksud.

****

Besoknya, di Departemen Agama geger. Surat Ketua Mahkamah Agung agar Menteri Agama lebih memperhatikan pembangunan peradilan agama, nampaknya, ditanggapi positif oleh Menteri. Lalu Menteri mendisposisi surat itu ke Sekjen.

Sekjen dan Biro Perencanaan melakukan kordinasi dengan saya sebagai Direktur Peradilan Agama. Saya sempat mendengar Sekjen menyatakan bahwa anggaran peradilan agama harus naik sesuai disposisi Menteri.

Kepala Biro Perencanaan sibuk sekali mengutak-atik anggaran dari pos  mana yang dapat disisihkan untuk peradilan agama. Kesibukan ini terjadi, sebab nampaknya perencanaan tiap unit kerja sudah selesai disusun, hanya belum diserahkan ke Bappenas. Sementara disposisi Menteri harus diamankan. Artinya, anggaran peradilan agama harus dinaikkan dari perencanaan awal, walaupun harus merubah perencanaan secara keseluruhan di Departemen. Saya hanya diam saja, sambil senyum-senyum di hati.

“Ini mesti gara-gara Pak Wahyu, sehingga Ketua Mahkamah Agung mengirim surat kepada Menteri”, kata Sekretaris Menteri yang menggantikan saya. Saya memang sempat menduduki posisi Sekretaris Menteri itu sejak Pak Tarmizi, Pak Quraish Shihab, Pak Malik Fajar dan Pak Tolhah Hasan.

“Lho, sampeyan ini gimana, masa saya yang hanya Direktur bisa mempengaruhi Ketua Lembaga Tinggi Negara”, jawab saya sambil mesem-mesem.

Akhirnya, Kepala Biro Perencanaan berhasil menyisihkan anggaran dari berbagai pos kegiatan di departemen, lalu diusulkan kepada Sekjen dan Sekjen menyetujuinya. Belakangan diketahui bahwa jumlah anggaran tambahan itu sebesar 5 milyar. Alhamdulillah.

Saya bicara ke Pak Hariri sambil bercanda, bahwa surat Ketua Mahkamah Agung dihargai 5 milyar. Jumlah yang sangat besar untuk tambahan anggaran peradilan agama saat itu.  Pak Hariri dan kawan-kawan di Direktorat merasa senang.

Keuntungan lain dari surat KMA itu, ditambah oleh berpindahnya dari Sektor Kehidupan Beragama ke Sektor Hukum, setiap tahun anggaran peradilan agama selalu diperhatikan, sehingga selama empat tahun sampai tahun 2005, kenaikan anggaran pembangunan  peradilan agama sangat signifikan, untuk ukuran saat itu. Dari 3,5 milyar sampai menjadi sekitar 50 milyar.

Alhamdulillah, sejak itu setiap tahun di peradilan agama menjadi ada tambahan “kehidupan”. Pembangunan gedung bisa lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Demikian juga, pembelian mobil  untuk PTA-PTA dapat dilakukan.

Melihat fasilitas dan anggaran peradilan agama masa-masa lalu, kita digiring kepada suatu pembenaran pendapat bahwa sudah lama peradilan agama diterlantarkan oleh negara. Kita melihat betapa para tokoh, baik dari lingkungan peradilan agama atau dari departemen agama pada umumnya, demikian gigihnya berupaya untuk menyiapkan  anggaran, sarana prasarana dan fasilitas lainnya yang layak untuk peradilan agama.

Namun karena keterbatasan anggaran dan karena sistem yang sedemikian rupa, sehingga perjuangan para tokoh itu belum menghasilkan seperti apa  yang diharapkan oleh kita. Mudah-mudahan setelah berlakunya sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung, peradilan agama dapat sejajar dengan peradilan lainnya, baik dari segi status, posisi dan fasilitas, dengan tetap berpegang kepada khiththah peradilan agama seperti yang diharapkan oleh para ulama dahulu. Adagium “Hakim di mata hukum dan ulama di mata umat”, secara hakiki tetap kita pertahankan tanpa melanggar etika dan norma yang berlaku. (WW).

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice