logo web

on . Dilihat: 4523

 

Pamer Miskin Peradilan Agama

*

Mengenaskan. Itulah ungkapan yang paling tepat bagi kondisi fisik peradilan agama sejak dulu sampai beberapa tahun menjelang pelaksanaan satu atap di bawah Mahkamah Agung. Kata-kata lainnya yang sejenis dengan itu, seperti memprihatinkan, menyedihkan dan memilukan, cocok juga untuk dialamatkan kepada peradilan agama ketika itu.

Betapa tidak. Peradilan agama yang nota bene peradilan bagi sekitar 90% warga di negeri ini,  keadaan gedung, sarana dan prasarananya jauh di bawah standar dari sebuah peradilan yang (mestinya) modern, mandiri dan berwibawa.

Padahal peradilan agama di Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke Indonesia, besar dan berkembang di zaman kesultanan-kesultanan, dan diakui sebagai pengadilan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak 1882.

Ironis memang. Peradilan yang sudah berabad-abad  memberi manfaat kepada bangsa, dan sudah lebih dari satu abad diakui secara resmi sebagai lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, tapi keadaan fisiknya sangat mengenaskan. Pantaslah kalau para peneliti asing mengatakan bahwa peradilan agama “..for long time neglected by the state…”.

**

Dari sisi lokasi saja, gedung pengadilan agama  hampir selalu terletak di pojokan kota, di tempat yang jauh dari pusat kota, di pinggiran kota atau di jalan-jalan “tikus” yang becek dan sempit. Sebagian, banyak yang berada pada gang atau lorong, mobil kecil saja sulit bahkan tidak bisa masuk. Sebagian lagi dibangun di lokasi “mewah”, alias mepet sawah. Pendek kata, menyedihkan.

Pak Bagir Manan, ketika menjadi Ketua Mahkamah Agung, sering berceritera di mana-mana, bahwa dalam melakukan roadshow ke pengadilan-pengadilan di daerah, akan sangat mudah membedakan mana pengadilan negeri dan mana pengadilan agama, sambil tidur di mobil sekalipun.

Kalau jalannya lurus, di pusat kota, mesti akan menuju ke pengadilan negeri, tapi kalau berkelok-kelok, masuk jalan-jalan kecil, lokasinya di pojokan atau pinggiran kota, mesti akan ke pengadilan agama. Itu kata Pak Bagir Manan berseloroh. Namun, memang benar demikian adanya.

Memang ada juga pengadilan agama yang  di pusat kota, yaitu di serambi atau di lingkungan mesjid agung. Namun hanya numpang pada mesjid, sehingga bangunannyapun seadanya atau se”dikasih”nya. Manakala bangunan atau tanah itu akan digunakan mesjid, terpaksa pengadilan agama mengungsi ke tempat lain.

Ada yang pindah ke rumah ketuanya, atau nyewa rumah sewaan sederhana. Kembali lagi ke lokasi di pinggiran atau di jalan tikus.  Tidak apa-apa. Yang penting, “the show must go on”, peradilan harus terus jalan, selama langit belum runtuh.  Begitulah kira-kira tekad para pejuang peradilan agama tempo dulu.

Mengenai gedungnya, selain disediakan atau dipinjamkan oleh pengurus mesjid dan kadang-kadang di rumah ketua, ada juga yang sudah menempati gedung negara. Tapi ukuran dan keadaannya sangat sederhana.

Sebagai akibat dari ditetapkannya UU 1/1974 tentang Perkawinan yang disusul oleh PP 9/1975 sebagai peraturan pelaksanaannya, maka pemerintah secara besar-besaran membangun gedung pengadilan agama secara nasional. Ukurannyapun hanya 150 m2, sehingga namanyapun bukan gedung pengadilan, namun Balai Sidang.  Alhamdulillah.

Lalu, karena perkembangan yang cepat dan kebutuhan yang meningkat, maka luas gedung itu sudah dirasa sangat sempit. Kemudian negara  menambah luas Balai Sidang  100 m2 lagi. Sampai tahun 2000an, pada umumnya gedung pengadilan agama  hanya seluas 250 m2.

Soal sarana prasarana, jangan anda membandingkannya dengan keadaan seperti sekarang. Saat itu, sudah ada 1 atau 2 mesin tik saja sudah untung. Mobil?  Wah, itu masih merupakan barang yang sangat mewah untuk pengadilan agama.

Tapi Alhamdulillah, sejak 1984 sudah ada satu dua pengadilan agama, terutama yang berlokasi di ibu kota provinsi, yang sudah beruntung mendapatkan mobil operasional L300 atau Daihatsu Taft. Sebagian besar lainnya masih belum ada, sehingga para ketua harus  rela naik kendaraan umum atau pakai sepeda motor.

***

Oleh karena itu, sejak saya dilantik sebagai Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, tahun 2000, saya bertekad untuk meningkatkan kualitas gedung, sarana prasarana dan fasilitas lainnya.  Tekad itu sesuai dengan tupoksi Direktorat yaitu melakukan pembinaan di bidang organisasi, administrasi dan finansial.

Saya beruntung mempunyai kawan-kawan di Direktorat, yang kuat, kreatif dan penuh dedikasi, seperti Pak Hariri, Pak Zufran, Pak Hidayat, Pak Farid, Pak Basiq, Pak Damanhuri, Pak Azhari dan lainnya. Saya selalu memfungsikan dan melibatkan mereka dalam melakukan tugas sehari-hari.

Selalu, saya kemukakan kepada mereka gagasan-gagasan dalam rangka meningkatkan anggaran dan fasilitas peradilan agama. Merekapun menangkapnya dan bahkan justru dari merekalah banyak muncul gagasan-gagasan baru yang segar dan inovatif.

Setelah beberapa hari melakukan diskusi dan kajian-kajian sederhana, disimpulkanlah perlunya ada gerakan “Kampanye dan Pamer Kemiskinan” untuk mendapatkan simpati  berbagai pihak, yang ujung-ujungnya agar anggaran peradilan agama dapat meningkat.

Kemiskinan, keprihatinan, kepiluan dan kengenasan peradilan agama harus dipamerkan kepada DPR, Bappenas dan instansi terkait lainnya yang punya otoritas di bidang anggaran dan pembangunan. Biar semua orang tahu, pengadilan agama demikian mengenaskan dan “diterlantarkan” selama ini.

Dikomunikasikanlah dengan fraksi-fraksi DPR dan instansi terkait di atas, untuk membuat jadwal audiensi atau “courtesy call”. Kamipun menyiapkan bahan-bahan atau data yang diperlukan untuk disampaikan kepada mereka.

****

Alhamdulillah, berkat kepiawaian Pak Hariri, Pak Zufran dan kawan-kawan dalam melakukan lobi, dan juga sedikit memanfaatkan pengalaman saya sebagai Sekretaris Menteri 4 tahun berturut-turut sebelumnya,  sehingga banyak kenalan dengan orang-orang DPR, kampanye dan pamer kemiskinan itu berlangsung  lancar.

Tanpa launching atau upacara pembukaan, kampanye dan pamer kemiskinan mengalir menggembirakan. Kampanye kemiskinan kepada para tokoh yang terhormat itu kadang dilaksanakan di kantor fraksi di gedung DPR Senayan, atau di restoran suatu hotel secara sederhana.

Karena anggaran untuk kampanye dan pamer ini juga tidak ada –atau hanya seadanya-, maka kami sangat selektif menentukan siapa objek kampanye, berapa orang dan di mana kami melaksanakannya. Hal-hal yang sekiranya menimbulkan biaya besar, kami hindari.

Padahal saat itu, rumor di masyarakat sedang sangat kuat-kuatnya bahwa  lobi tanpa upeti tak bakalan menghasilkan apa-apa. Bahkan ada ungkapan, kalau mau ikan besar umpan pancingannyapun harus besar pula.   Kami betul-betul “bonek”. Yang kami bawa hanyalah tekad, data, fakta dan proposal peningkatan anggaran. Pendekatan kami adalah pendekatan rasional, factual dan tekad yang kuat.

Alhamdulillah, para anggota dewan yang terhormat itu memahaminya dan mau memperjuangkan kenaikan anggaran peradilan agama.

*****

Dalam kegiatan pamer kemiskinan, kami dekati kawan-kawan di Bappenas agar mau berkunjung ke PA-PA, baik di Jakarta, maupun di luar Jakarta. Ada beberapa PA yang sempat dipamerkan kepada para pejabat di Bappenas, seperti di wilayah Jakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

Dalam kunjungan ke PA Jakarta, kami pamerkan PA Jakarta Pusat yang berlokasi di jalan kecil  belakang gedung Kandepag Jakarta Pusat, wilayah Tanah Abang. Kandepagnya itu sendiri berdiri megah di pinggir jalan raya.   Kantor PA yang  berdampingan dengan kantor BP4 ini berdiri di atas tanah yang luasnya hanya kurang dari 500 m2. Gedungnya terdiri dari 2 lantai dan sangat sederhana.

Ketika para pejabat dari Bappenas meninjau, kawan-kawan di PA Jakarta Pusat tidak diberitahu sebelumnya. Jadi apa adanya. Setelah melihat-lihat lantai pertama, tempat pendaftaran, ruang tunggu dan ruang sidang, para pejabat Bappenas itu ingin diantar naik ke lantai atas, tempat para hakim dan kesekretariatan.

Betapa para pejabat Bappenas itu kaget dan sedikit kikuk setibanya di lantai atas. Apa yang terjadi?  Ternyata, di sana banyak para hakim yang hanya berkaos oblong sambil mengipas-ngipaskan buku atau apa saja ke badannya karena kepanasan. Jangankan AC, kipas anginpun tidak jalan dengan baik, sehingga di kamar itu terasa sangat panas.  Dengan spontan dan serempak para hakim itu segera memakai baju safarinya, sambil senyum-senyum malu.

Bagi saya, ini pamer kemiskinan yang berhasil, sebab para pejabat yang mempunyai otoritas merencanakan pembangunan di negeri ini berhasil diyakinkan bahwa PA yang berada di ibukota negara saja, yang mewilayahi istana, monas dan pusat pemerintahan republik ini, keadaannya sangat memprihatinkan. Apalagi PA yang nun jauh berada di pojok-pojok negara atau jauh dari ibu kota.

******

Saya, Pak Hariri dan kawan-kawan lainnya di Direktorat merasa puas atas keberhasilan program “Kampanye dan Pamer Kemiskinan” itu.  Dan memang, dari tahun-ke tahun anggaran peradilan agama, setelah itu, merayap naik. Namun sayapun tidak tahu persis, seberapa besar pengaruh kampanye dan pamer miskin ini terhadap naiknya anggaran. Yang jelas kami puas dan anggaran naik, sehingga di peradilan agama ada sedikit “kehidupan”.

Kini, setelah peradilan agama berada di bawah Mahkamah Agung, soal anggaran sudah tidak begitu masalah dan sudah jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya, walaupun masih di bawah yang kita harapkan. Kita patut bersyukur.

Karena itu, saya sering ngomong kepada kawan-kawan di peradilan agama, kini, jangan lagi kita pamer miskin atau membesar-besarkan kekurangan anggaran dan fasilitas. Yang diperlukan sekarang adalah pamer prestasi dan keberhasilan dalam memberikan pelayanan.

Sudah barang tentu, cara pamernya pun beda dengan cara pamer miskin waktu dulu. Kini pamernya adalah pamer pasif. Kita cukup bekerja keras, berdedikasi tinggi dan melakukan perubahan-perubahan menuju keadaan yang lebih baik, tanpa harus gembar-gembor menonjolkan diri bahwa kita telah berprestasi dan berdedikasi.

Biarlah masyarakat yang akan menilainya. Melalui pemanfaatan teknologi informasi yang kita lakukan dengan benar dan konsisten, atau melalui mulut ke mulut, masyarakat akan dengan sendirinya mengetahui apa yang telah kita lakukan.

Tawadhu, qana’ah, ikhlas dan selalu berupaya menggembirakan orang adalah sifat-sifat ulama, yang dulu selalu nempel sebagai ciri hakim dan pegawai peradilan agama. Saya yakin, sifat-sifat mulia itu akan terus jadi pegangan insan peradilan agama, di manapun ia berada. Insya Alloh. (WW).

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice