logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 5995

Prof Tim Lindsey: “Saya akan permalukan lagi Pak Wahyu”

 

Tim Lindsey adalah guru besar, ahli hukum Asia, sekaligus sebagai  “Director of the Asian Law Centre” pada Fakultas Hukum  Universitas Melbourne, Australia.  Dia juga adalah  “Foundation Director of the Centre for Islamic Law and Society”,  “a Founding Editor of the Australian Journal of Asian Law”, penulis banyak buku , peneliti, pengacara dan pemilik segudang pengalaman lainnya di bidang akademis, hukum dan kemasyarakatan.

Orangnya masih muda, gaul, kocak, dan sudah pasti pinter. Bahasa Indonesianya sangat fasikh, bahkan bahasa-bahasa prokempun ia kuasai.  Bagi saya tidak aneh kalau orang seperti Pak Tim –begitulah panggilan akrab saya kepadanya- sangat menguasai bahasa Indonesia, sebab selain dia ahli di bidang ke-indonesia-an, isterinyapun orang Indonesia tulen.

Teh Julia, lengkapnya Julia Suryakusuma, orang Bandung, adalah gadis yang beruntung dipersunting Pak Tim. Atau mungkin, Pak Timlah yang beruntung beristerikan Teh  Julia, sebab Teh Julia orangnya juga gaul, lincah, cantik, nyentrik, pinter dan pegiat jender. Bahkan Teh Julia adalah penulis handal dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Tulisannya banyak dimuat pada media massa seperti Majalah Tempo dan  The Jakarta Pos. Ia juga banyak menulis buku, seperti suaminya. Salah satu buku yang ditulisnya, dan dihadiahkannya  kepada saya melalui Pak Tim, adalah “Jihad Julia”, buku kocak  penuh makna.

Jadi, nampaknya hubungan Pak Tim dan Teh Julia adalah hubungan simbiosis mutualistis,  saling menguntungkan. Memang, sayapun yakin seperti itu. Bahkan lebih dari itu, dari aktifitas  dan tulisan-tulisan pasangan suami-isteri yang berbeda kebangsaan ini, banyak orang dan pihak yang diuntungkan pula. Termasuk saya dan juga peradilan agama.

**

Saya akrab dengan kedua tokoh ini, walaupun jarang jumpa. Saya mulai kenal Pak Tim dan Teh Julia sekitar tahun 2005an,  saat Pak Syamsuhadi menjamu makan malam kepada pasangan suami-isteri dan koleganya dari IALDF (Indonesia-Australia Legal Development Facility), di suatu restoran sekitar Senayan. Hadir pula pada jamuan ini beberapa kolega dari peradilan agama, termasuk saya, yang belum lama diangkat sebagai Dirjen saat itu.

Baru jumpapun, Pak Tim sudah memberi keuntungan pada saya dan peradilan agama. Dia memberitahukan bahwa ada survey tentang kepuasan publik terhadap  sektor hukum di Indonesia, yang menyatakan bahwa peradilan agama merupakan satu-satunya instansi publik yang dianggap paling memberi kepuasaan kepada publik. “Ini dapat dijual kepada para donor, untuk mengembangkan peradilan agama lebih baik lagi”,  kata Pak Tim kepada saya waktu itu.

Besoknya, saya langsung hunting tentang hasil survey itu. Ternyata memang benar. Survey yang dimaksud oleh Pak Tim adalah  sebuah survey yang diselenggarakan pada tahun 2001 oleh kerjasama antara Asia Foundation dan AS Nielsen, sebuah lembaga penelitian internasional yang sangat kondang. Survey ini dilakukan  terhadap 1700 penduduk yang tersebar secara acak di seluruh Indonesia. Judul survey adalah “Citizens’ Percepsion of the Indonesian Justice Sector”, persepsi masyarakat tentang sektor hukum di Indonesia.

Hasil survey menyebutkan,  beberapa instasi atau pihak yang terkait dengan sektor hukum di Indonesia digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu, ‘effective’, ‘ineffective’ dan ‘unknown’. Yang menarik, Pengadilan Agama merupakan satu-satunya instansi yang dikategorikan “effective”.   Masyaalloh.  Bersama Peradilan Agama, ada 2 (dua) unsur lainnya, yang bukan instansi, yang masuk kategori ini, yaitu Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama.   Ciri dari kelompok yang ‘effective’ ini adalah ‘trustworthy, does job well, timely, helpful dan the first to go to with a legal problem’, terpercaya, berkinerja bagus, tepat waktu, mudah menolong dan menjadi tujuan pertama jika orang mempunyai masalah hukum.

Hasil survey ini, memang, membanggakan sekaligus memberi motivasi kawan-kawan dari peradilan agama, untuk lebih baik lagi dalam memberikan pelayanan kepada publik. Mestinya hasil survey ini juga menarik para donor untuk bekerjasama dengan peradilan agama dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik terhadap sektor hukum di Indonesia. Pantas kalau Pak Tim mengatakan “… ini bisa dijual kepada para donor”.

***

Keuntungan lainnya bagi saya dan peradilan agama yang didapat dari Pak Tim, terjadi pada bulan-bulan berikutnya. Ketika itu, tahun 2006, untuk pertama kalinya rombongan Peradilan Agama, melakukan studi banding di Family Court Melbourne selama 14 hari, difasilitasi IALDF.

Rombongan berjumlah 22 orang, terdiri dari para hakim, pansek dan pejabat administrasi. Saya dan Almarhum Pak Suryadi, mantan KPTA Banten, didaulat menjadi komandannya. Studi banding yang memfokuskan pada mediasi dan pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) ini  dibimbing oleh Pak Tim dan Bu Cate Sumner dari IALDF.

Dengan kepiawaian Pak Tim dan Bu Cate dalam memberi motivasi, mengarahkan dan mendampingi pelaksanaan studi, bahkan membuat rencana action plan paska studi banding, alhamdulillah, peradilan agama yang saat itu tidak tahu apa-apa tentang TI, kini lima tahun kemudian sejak studi itu, pengembangan TI di lingkungan peradilan agama sangat menggembirakan, walaupun masih banyak kekurangan. Pak Tim dan Bu Cate terus menerus memberikan support dan motivasi bahkan fasilitas untuk pengembangan peradilan agama paska diklat itu, hatta sampai sekarang.

Pak Tim dan Bu Cate terus melakukan ‘manuver-manuver’ yang banyak memberi manfaat bagi  pengembangan hukum dan peradilan di Indonesia, terutama bagi peradilan agama. Pada akhir 2010, dua tokoh yang sangat mengenal peradilan agama ini menulis buku bersama-sama, diterbitkan oleh Lowy Institute Australia yang pada tanggal 7 Desember 2010 diluncurkan oleh Chief Justice Family Court of Australia (FCoA), Honorable Diana Bryant.

Buku itu berjudul “Courting Reform: Indonesia’s Islamic Courts and Justice for the Poor”, kemudian  diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul   “Reformasi Peradilan Pasca Orde Baru: Pengadilan Agama di Indonesia dan  Keadilan Bagi Masyarakat  Miskin”.  Edisi Indonesia ini diluncurkan bersama oleh Ketua Mahkamah Agung RI, YM Dr. Harifin A Tumpa, SH, MH dan Chief Justice FCoA, Hon. Diana Bryant, di Jakarta, 14 Maret 2011, dalam acara penutupan Konferensi Regional Asia Fasific International Association for Court Administration (IACA).

Buku itu ditulis berdasarkan hasil 3 kali survey, - 2001, 2007, 2009- dan perkembangan peradilan agama belakangan ini. Isinya cukup mencengangkan.   Banyak ungkapan dan kesimpulan yang ditulis dalam buku ini memuji-muji peradilan agama.

Makanya, begitu Pak Tim bertandang ke Badilag, bulan Februari lalu, saya langsung menyampaikan apresiasi dan terimakasih atas penulisan buku itu. “Tapi Pak Tim..”, kata saya, “anda telah membuat ‘malu’ saya”, kata saya lagi bercanda. “Lha, emangnya kenapa”, tanya Pak Tim sambil senyum. “Habis, buku itu sangat memuji-muji peradilan agama”, jawab saya.

Apa jawab Pak Tim? “Itu kan kenyataan. Semua ada datanya. Ini hasil survey. Sebagai orang akademisi, saya biasa mengkritik dan dikritik. Silahkan saja, kalau setuju atau tidak setuju”, tegasnya.

“Saya sekarang sedang menulis buku berjudul ‘Islam, Law and The State in South-East Asia’, sekitar 700 halaman, yang juga banyak mengupas peradilan agama. Isinya lebih mengejutkan dari ‘Courting Reform’”, kata Pak Tim lagi. “Jadi,  saya akan mempermalukan lagi Pak Wahyu”, tambah Pak Tim sambil senyum bersahabat.

****

Memang saya “malu”. Malu dalam tanda kutif. Artinya, bisa berarti bukan malu sebenarnya. Di hati kecil, saya senang. Apa yang saya dan seluruh kawan-kawan di Badilag dan aparat peradilan agama se Indonesia, mendapat apresiasi dari orang lain, dan apresiasi itu disebar luaskan dalam sebuah buku yang khusus mengupas tentang kemajuan peradilan agama. Tidak tanggung-tanggung buku itu ditulis oleh guru besar universitas terkemuka dan oleh peneliti handal dari Australia.

Bahkan buku itu, ditulis dan diterbitkan tanpa sepengetahuan saya dan aparat peradilan agama. Lebih-lebih lagi ditulis dalam bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia. Malah diluncurkan 2 kali, di Australia dan di Jakarta oleh tokoh-tokoh sekaliber Ketua Mahkamah Agung RI dan Chief Justice Family Court, yang notabene merupakan pengadilan tingkat nasional yang terkemuka di Australia. Khusus di Jakarta, peluncuran itu dilakukan di hadapan   sekitar  200 peserta konferensi IACA dari 19 negara di Asia Pasifik.   Siapa yang tidak senang, coba?

Namun kata “malu”, dalam tanda kutif itu, dapat pula berarti malu dalam arti sebenarnya. Bukan malu karena apa yang sudah kita lakukan diapresiasi orang banyak, namun malu jika kita tidak bisa menjaga apa yang telah mereka anggap sebuah  prestasi dari peradilan agama.

Coba kita simak beberapa kalimat dalam edisi Indonesia buku itu:

“Dalam banyak hal, saat ini Pengadilan Agama menjadi model bagi reformasi peradilan yang berorientasi sosial, tidak hanya bagi peradilan lain di Indonesia namun juga bagi peradilan Islam lainnya di Asia Tenggara” (hlm. 2). “Pengadilan Agama, secara umum, dipandang tidak korup dan memberikan layanan yang baik pada pihak-pihak yang berperkara” (hlm. 2).

“Pengadilan Agama di Indonesia kini dilihat sebagai pengadilan yang paling terbuka, bersih, dan efisien dari yang dulunya merupakan pengadilan yang tidak dianggap.” (hlm. 18). “Pengadilan Agama telah berhasil membuat upaya yang signifikan untuk meningkatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan kelompok masyarakat terpinggirkan, dan khususnya bagi perempuan.”(hlm. 18).

“Pengadilan Agama dapat dilihat sebagai salah satu lembaga peradilan Indonesia yang paling berhasil.  Dalam beberapa hal, ini dianggap sebagai ironi karena pengadilan tersebut telah lama diabaikan oleh negara …” (hlm. 19).  “Berbeda dengan ekspektasi yang ada, di era pemerintahan paska Suharto ini, Pengadilan Agama  telah muncul sebagai pemimpin reformasi sistem peradilan di Indonesia.” (hlm. 48).

Coba…., apa kita tidak malu, jika disebuti “sebagai  model bagi reformasi peradilan”, “dipandang tidak korup”, “memberi pelayanan yang baik”, “paling terbuka, bersih dan efisien”, “paling berhasil”, “pemimpin reformasi peradilan di Indonesia”, dan lain-lainnya,  lalu dalam kenyataannya  tidak demikian.  Apa kita tidak malu, jika dipuji setinggi langit, tahu-tahu….(??). Apa kita tidak malu, kalau dalam kenyataannya kita tidak peduli dengan reformasi dan perubahan menuju keadaan yang lebih baik? Apa kita tidak malu, jika kita masih berpegang pada mindset lama yang tidak sesuai dengan jiwa reformasi?

Saya yakin, seluruh kawan-kawan dari lingkungan peradilan agama akan bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Pak Tim dan Bu Cate yang selalu men’support’ kita dan telah menulis buku itu. Saya juga yakin, kita sepakat, apa yang ditulis Pak Tim dan Bu Cate tidak akan menjadikan kita mabuk kepayang, apa lagi besar kepala dan bersikap sombong.

Kitapun setuju menjadikan buku itu sebagai motivasi, agar kita berbuat yang lebih baik lagi, bagi  kepentingan pencari keadilan, masyarakat, nusa dan bangsa. Mudah-mudahan apa yang telah kita lakukan, dan yang telah kita niatkan, diterima  Allah SWT sebagai amal ibadah yang akan membahagiakan kita di dunia dan di akhirat kelak. Amin ya robbal ‘alamin. (WW).

 

 

 

 

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice