Dipublikasikan oleh Abdul Rahman pada on . Dilihat: 9734

Inilah Materi Pelatihan PERMA Nomor 3 Tahun 2017


Jakarta | badilag.mahkamahagung.go.id
Baru-baru ini Mahkamah Agung RI telah menerbitkan PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Agar PERMA tersebut dipahami dengan baik oleh para hakim, perlu diadakan sosialisasi dan pelatihan.

Difasilitasi oleh Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung RI melakukan pembahasan tentang rancangan kurikulum pelatihan dan sosialisasi di Hotel Redtop, tanggal 19 sd September 2017. Acara ini juga dihadiri oleh Leisha Lister dan Cate Sumner dari Family Court of Australia (FCoA), MaPPI FH UI, Ratna Batara Munti dari LBH APIK, dan lembaga peneliti.

Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung RI Prof.Dr. H. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M dan juga selaku Ketua Pokja mengatakan bawah pelatihan dan sosialisasi ini harus segera dilakukan.

“Lahirnya PERMA ini merupakan suatu terobosan penting dalam penanganan perempuan yang berhadapan dengan hukum. Jadi, agar PERMA ini dapat berjalan dengan baik perlu dilakukan perubahan mindset dari para hakim. Dengan materi pelatihan dan sosialisasi yang tepat diharapkan bisa merubah mindset ini,” ujar Takdir Rahmadi ketika membuka acara pembahasan.

Kepala Pusdiklat Mahkamah Agung Agus Subroto, S.H., M.H mengatakan bahwa pelatihan nantinya bukan berbentuk sertifikasi. Ini karena perkara terkait perempuan merupakan perkara yang akan di tangani oleh semua hakim. Semua hakim harus memahami dan memiliki sensitivitas gender dalam penanganan kasus.

“Pelatihan berkenaan dengan PERMA ini dikemas dalam bentuk pelatihan durasi 5 hari atau sekitar 40 jam pelajaran saja,” jelas Agus Subroto.

Selain itu, dapat juga dirancang materi khusus dengan durasi 4 jam pelajaran. Materi ini nantinya disampaikan pada pendidikan hakim terpadu bagi calon hakim.

Beberapa materi yang diusulkan oleh Pokja Perempuan untuk pelatihan nanti antara lain:

Pertama, hukum internasional dan nasional yang terkait dengan perempuan. Hukum internasional yang bisa dimasukan dalam materi pelatihan adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). CEDAW ini telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

Kedua, konsep kesetaraan gender. Dengan materi ini, hakim dapat melakukan analisa gender dalam pemeriksaan perkara dan pembuatan putusan. Hakim juga diharapkan memahami stereotyping gender.

Ketiga, PERMANomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Pada materi ini dijelaskan tentang implementasi kongkrit asas dan tujuan dalam PERMA.

Keempat, contoh-contoh putusan yang bias dan pro gender. Peserta pelatihan melakukan diskusi terhadap beberapa putusan untuk mendapatkan pemahaman mana putusan yang pro gender dan bias gender.

Kelima, hukum materil pada perkara pidana dan perdata yang terkait dengan gender. Beberapa isu seputar hukum materil pada perkara perdata antara lain meluputi porsi pembagian warisan, hukum adat, makna nusyus dalam perkara perceraian, hak perempuan pasca perceraian, hak asuh anak, KDRT, dan sebagainya.

Selain melalui pelatihan, usaha untuk merubah mindset hakim dilakukan melalui sosialisasi PERMA. Sosialisasi disampaikan melalui bimtek, e-learning, buku saku, video dan sebagainya. Theodora Putri dari AIPJ mengatakan bahwa beberapa kegiatan sosialisasi nanti akan didukung oleh AIPJ.

Setelah dilakukan pelatihan dan sosialisasi, nantinya akan dilakukan evaluasi untuk mengukur keberhasilan implementasi PERMA tersebut. Hal penting yang akan diukur adalah apakah implementasi PERMA ini telah memenuhi harapan masyarakat atau tidak. Dalam melakukan evaluasi, Mahkamah Agung dapat bekerjasama dengan universitas, penyedia bantuan hukum, asosiasi ahli, psikolog, LSM dan lainnya.

Untuk memastikan kepatuhan hakim terhadap PERMA ini, masyarakat dapat mengawasinya dan melaporkan ketidaksesuaian implementasinya. Mahkamah Agung tengah membuat mekanisme pengawasan tersebut.

Pendataan Perkara

Hakim Agung Dr. H.Suhadi, S.H., M.H dan juga selaku wakil ketua Pokja menyetujui pentingnya dilakukan pendataan perkara-perkara yang melibatkan perempuan dan anak.

“Saya kira data itu sangat penting untuk pembuatan kebijakan di masa depan. Kita telah memiliki aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). Yang perlu dilakukan hanya menambahkan beberapa fitur di aplikasi SIPP ini dan itu sangat mudah,” ujar Suhadi.

Untuk keperluan pendataan Cate Sumner dan Leisha Lister tengah merancang formulir yang harus diisi oleh para pihak ketika mereka mendaftarkan perkaranya ke pengadilan. Formulir ini sama untuk semua pengadilan di Indonesia. Setelah formulir diisi lalu diinput ke dalam aplikasi SIPP.

Dengan pendataan yang akurat, akan diperoleh data tentang berapa jumlah wanita yang berhadapan dengan hukum, jumlah yang mengalami KDRT dan sebagainya. Data itu akan dimasukkan dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2017.

[Rahmat Arijaya]