Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 3296

Enam Langkah Strategis Menuju Pelayanan Prima di Pengadilan ala Ketua Kamar Agama

Jakarta l Badilag.mahkamahagung.go.id

Dua puluh tahun lalu, Pengadilan Agama Medan mendapat penghargaan prestisius. PA di ibu kota Sumatera Utara itu dinobatkan sebagai kantor pelayanan publik yang prima. Penghargaan diberikan oleh orang nomor satu di negeri ini kala itu: Presiden Soeharto.

Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H., yang kemarin dilantik menjadi Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung, adalah aktor utama kesuksesan itu. Pak Amran--demikian panggilannya--menjadi Ketua PA Medan selama lima tahun, 1992 hingga 1997.

“Penghargaan tersebut tidak kami duga sebelumnya. Ketika saya mulai melaksanakan tugas sebagai Ketua PA Medan, perhatian tertuju kepada peningkatan kinerja dan pelayanan publik agar mendapat posisi terhormat di hati masyarakat,” kata Pak Amran, ketika kami wawancarai di ruang kerjanya tiga tahun lalu, saat masih jadi Wakil Ketua PTA Surabaya.

Mantan pejabat eselon II di Badan Pengawasan MA itu mengungkapkan, ketika memimpin PA Medan, ia punya visi-misi untuk menjadikan PA yang berbasis pada peningkatan pelayanan hukum kepada pencari keadilan dengan cara memberikan kepastian hukum dan kemudahan prosedur berperkara.

Visi-misi itu lantas ia ejawantahkan dalam enam langkah strategis. Di kemudian hari, enam langkah strategis itu dituangkannya dalam disertasi kala meraih gelar Doktor di Universitas Islam Bandung. Judul disertasinya: “Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia dalam Mewujudkan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Menuju Peradilan yang Agung”.

Pertama, kecepatan pelaksanaan tugas. Caranya ialah dengan memenuhi jadwal penyelesaian perkara sesuai ketentuan. “Bahkan kalau bisa, lebih cepat dari ketentuan,” tuturnya.

Ia mencontohkan, PA Medan kala itu sanggup menyerahkan putusan dan penetapan kepada para pihak di hari yang sama setelah putusan dan penetapan dibacakan. “Padahal waktu itu masih pakai mesin ketik, belum pakai komputer, apalagi aplikasi seperti sekarang,” ia menegaskan.

Meski serba cepat, menurut Pak Amran, PA Medan tetap menerapkan Pola Bindalmin dalam pelaksanaan administrasi perkara secara konsisten dan konsekwen.

Kedua, mengutamakan ketepatan. Ada tiga ketepatan yang digagas Pak Amran, yaitu tepat waktu, tepat tuju dan tepat biaya.

Tepat waktu berarti melakukan pekerjaan sesuai jadwal. Misalnya memulai persidangan sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan konsisten dengan tata urutan kehadiran para pihak berperkara dalam persidangan.

Tepat tuju berarti pekerjaan diberikan kepada orang-orang yang memang berkewajiban atau berwenang dalam proses berperkara, terutama dalam melakukan pemanggilan dan penyerahan putusan/penetapan.

Tepat biaya berarti pencari keadilan tidak membayar apapun, kecuali sesuai ketentuan yang berlaku. Masyarakat diberi penjelasan mengenai biaya-biaya yang diperlukan dalam proses berperkara melalui papan informasi. Di situ dijabarkan biaya panggilan sesuai radius atau jarak antara tempat tinggal masyarakat dan PA Medan.

“Kami juga menginformasikan rincian uang titipan pada jurnal keuangan dan mengembalikan sisa panjar biaya perkara,” Pak Amran menjelaskan.

Ketiga, adanya kepastian. Selain kepastian dalam proses pelayanan hukum, PA Medan juga mengutamakan kepastian dalam kesetaraan pelayanan. Tidak ada diskriminasi pelayanan karena perbedaan status sosial.

“Tidak boleh ada orang miskin yang dibentak-bentak, tapi orang kaya diantar sampai dibukakan pintu mobilnya,” tandas Pak Amran.

Keempat, memperhatikan keluhan masyarakat. Ketika memimpin PA Medan, Pak Amran berusaha sekuat tenaga untuk meminimalkan keluhan atau ketidakpuasan masyarakat. Caranya ialah mendeteksi sedini mungkin keinginan dan harapan masyarakat mengenai pelayanan yang baik melalui kotak saran atau pengaduan.

“Selain itu, kami menghindari sekecil mungkin berbagai pungutan liar dan pegawai yang terbukti terlibat pelanggaran langsung dikenakan sanksi,” tandasnya.

Pernah pada masa itu, ada dua personil PA Medan yang dikenai sanksi berupa mutasi ke PA yang lebih kecil dari PA Medan. “Dan ini sangat ampuh memberikan efek jera bagi pagawai lainnya,” kata Pak Amran.

Kelima, menciptakan suasana kondusif bagi masyarakat, khususnya pencari keadilan, dengan menata sarana dan prasarana pelayanan publik yang bersih dan nyaman. Misalnya, kala itu, meski ruang tunggu masih sederhana, namun sudah dilengkapi dengan televisi dan disediakan koran. Kamar mandi dan mushalla juga terus dijaga kebersihan dan kerapiannya. Demikian juga ruang arsip dan perpustakaan.

Keenam, menciptakan kultur organisasi. Caranya ialah dengan menanamkan nilai-nilai positif berupa budaya malu, disiplin, serta menyosialisasikan slogan-slogan bernada motivasi yang mudah dipahami dan gampang diingat.

Dalam hal kemudahan prosedur berperkara, Pak Amran menciptakan slogan: “Sesuatu yang mudah kenapa harus dipersulit?” dan “Mudahkanlah urusan orang, maka urusanmu kelak akan dimudahkan orang”.

Soal pelayanan yang ramah, alumnus IAIN Yogyakarta itu menciptakan slogan: “Kalau sesuatu dapat diselesaikan dengan tersenyum, mengapa harus marah-marah?”

Pak Amran juga mengenalkan slogan sapu jagat: “Kebaikan yang diberikan kepada orang lain akan kembali kepada orang yang melakukan itu sendiri”.

Keenam langkah strategis itu, menurut Pak Amran, akan dapat terlaksana dengan baik jika ada komitmen bersama antara pimpinan pengadilan dan seluruh jajarannya.

“Juga perlu," ia mengingatkan, "agar selalu memotivasi seluruh pegawai bahwa bekerja merupakan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang kelak akan memperoleh balasan dengan sebaik-baiknya.

[hermansyah]