logo web

on . Dilihat: 21993

Ketika Dirjen Menyamar Jadi Pengacara

Hari itu, Rabu, 28 Agustus 2013, dalam suatu perjalanan dinas, saya berkunjung ke salah satu Pengadilan Agama (PA) . Sengaja kali ini saya tidak berpakaian dinas . Saya berpakaian seperti seseorang yang sedang mengurus perkara.

Memakai baju bergaris-garis kecil dan berjaket hitam, kalau dilihat sekilas, saya seperti seorang pengacara. Ini sengaja saya lakukan, supaya saya bisa melihat keadaan riil PA tersebut.

Tentu akan berbeda kalau sebelum saya datang sudah memnberitahu, bahwa saya akan datang ke PA tersebut. Saya yakin semua akan dipersiapkan supaya kelihatan baik.

Hari ini saya betul-betul ingin sidak, supaya saya bisa melihat kondisi riil di PA tersebut. Tentu ini bukan saya maksudkan untuk mencari-cari kesalahan, tetapi akan saya jadikan bahan pembinaan.

Oleh karena itu, saya minta para Ketua PA yang menjemput saya untuk parkir agak jauh dan tidak mengikuti saya. “Biarkan saya datang sendiri dan jangan mengikuti saya. Nanti setelah lebih kurang 20 menit, Silahkan Saudara-saudara menyusul,” pesan saya kepada para Ketua PA itu.

Tepat pukul 15.00 waktu setempat, saya sampai di PA yang saya tuju. Saya tidak melalui pintu utama, tapi langsung ke tempat pendaftaran perkara dan menghadap Petugas Meja I.

Setelah menyampaikan salam, saya memperkenalkan diri sebagai pengacara dari Jakarta. Saya juga menyampaikan maksud saya.

“Saya mau mendaftarkan perkara, Mbak,” kata saya.

Saya perhatikan dari raut mukanya, sepertinya petugas ini seratus persen percaya bahwa saya adalah pengacara dari Jakarta. Dia tidak tahu bahwa yang sedang berdiri di depannya adalah Dirjen Badilag.

“Pendaftaran perkara sudah ditutup, Pak,” dia menjelaskan, “Silakan Bapak datang besok pagi. Nanti akan kami layani”.

Mendengar jawaban itu, saya sedikit protes. Dengan gaya layaknya seorang pengacara, saya berkata, “Ini baru jam 15.00, masa pendaftaran perkara sudah di tutup? Apa tidak ada dispensasi atau kelonggaran?”

Petugas Meja I itu terdiam, lalu saya melanjutkan, “Saya datang dari Jakarta. Tolonglah, Mbak.” Saya pinta begitu dengan harapan supaya dia berubah pendirian atau paling tidak berkonsultasi dengan atasan untuk menemukan jalan keluar buat saya.

Ternyata harapan saya sia-sia. Petugas meja 1 itu tetap pada pendiriannya.  “Tidak bisa, Pak. Silakan Bapak datang lagi besok, karena pendaftaran telah ditutup jam 15.00,” dia menegaskan.

Mendengar jawaban tersebut, beberapa kali saya mengangguk-anggukan kepala, sebagai tanda saya telah memahami pendirian petugas itu. Tetapi sebelum saya meninggalkan Petugas Meja I itu, tiba-tiba seluruh Ketua PA yang tadi mengantar saya tadi sudah  berada di belakang saya.

Melihat keadaan ini Petugas Meja I itu agak terkejut. Dia mungkin berpikir bahwa tidak mungkin orang yang berada di depannya adalah seorang pengacara. Dalam situasi demikian, saya mencoba mengulangi pertanyaan saya, “Gimana, Mbak, saya bisa mendaftarkan perkara?”

Saya lihat petugas itu langsung terpaku. Lidahnya kelu, tidak bisa berkata satu patah katapun. Mungkin dia bersikap begitu karena ada beberapa pimpinan PA setempat yang mengelilingi saya.

Belum selesai petugas ini menebak siapa yang datang, tiba-tiba salah seorang Ketua PA mengatakan kepada  petugas tadi dan pegawai yang lain, bahwa yang datang ini adalah Pak Dirjen.

Spontan mereka berdiri dan langsung menjabat tangan saya. Bahkan Petugas Meja I itu menjabat tangan saya sambil meminta maaf.

“Pak, saya kira Bapak pengacara betulan. Mohon maaf, Pak. Mohon maaf,” ujarnya, berulang kali. Saya pun tersenyum-senyum.

Melihat kejadian itu, saya bangga kepada Petugas Meja I itu. Sedikitpun saya tidak menyalahkan, bahkan justru kagum pada dia yang bersikukuh melaksanakan tugas yang telah ditentukan atasan. Dia tidak terpengaruh dan tidak pandang bulu dalam memberikan pelayanan, sekalipun yang datang adalah orang yang mengaku sebagai pengacara dari Jakarta. Saya yakin ketentuan jam 15.00 pendaftaran telah ditutup adalah kebijakan pimpinan. Petugas tadi hanya melaksanakan.

Dari Meja I, saya beranjak ke dalam untuk melakukan pemeriksaan terhadap Simpeg, SIADPA Plus, Buku Jurnal, Buku Induk Keuangan, Buku Register, dan dokumen-dokumen lainnya. Saya menemukan sejumlah kekurangan.

Langung saja saya panggil pimpinan PA tersebut, dan Ketua-ketua PA yang hadir. Saya tunjukan kekurangan-kekurangan yang saya temukan dan bagaimana memperbaikinya. “Silahkan diperbaiki kekurangankekurangan yang tadi saya sampaikan. Saya berjanji akan kembali lagi,” kata saya, sebelum meninggalkan gedung PA tersebut.

Para pimpinan PA yang ada di hadapan saya tampak menyimak dengan sungguh-sungguh. Maklum, mereka sadar yang sedang berbicara adalah seorang Dirjen, bukan seorang pengacara.

Sidak seperti ini perlu dilakukan oleh para pimpinan di semua tingkatan, sehingga bisa melihat kondisi riil di lapangan. Pimpinan jangan merasa puas dengan laporan dari bawahan yang kadang-kadang sifatnya Asal Bapak Senang (ABS).

Sekali-kali turunlah. Jangan sampai ada pimpinan begitu masuk ruang kerja di pagi hari, keluar di sore hari. Pada saat jam kerja sekali waktu berkunjunglah ke ruangan hakim, kepaniteraan dan kesekretariatan, agar bisa melihat kondisi yang sesungguhnya.

Dan untuk melakukan itu tidak sulit kok. Tidak harus menyamar sebagai pengacara seperti saya. . [*]

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice