logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 14402

 

Keinginan kuat saya itu bukan karena ingin mengetahui urusan pribadi orang lain. Saya semata-mata ingin tahu masalah apa yang merundungnya selama ini dan bagaimana sampai bisa datang ke pangadilan agama. Di samping itu, tentu saya ingin mengetahui bagaimana perlakuan pengadilan agama kepadanya selama ia berhubungan dengan pengadilan agama.

Bu Madhlumah ternyata tidak sendirian. Dia diantar ibunya, yang duduknya agak terpisah, di ruang tunggu PA Cianjur ini. Saya berhasil mendekati dan ngobrol banyak dengan Bu Madhlumah yang belakangan diketahui berasal dari Cianjur Selatan. Daerah ini merupakan salah satu daerah terpencil di wilayah PA Cianjur. Saya minta izin kepada Ketua PA untuk ngobrol-ngobrol dengan yang berperkara, sendirian, tidak didampingi orang PA.

“Suami saya suka memukul saya Pak,” kata Bu Madhlumah  dengan Bahasa Sunda halus dan kental, setelah ia merasa akrab dengan saya.  “Kasihan juga,” kata saya dalam hati.

Dari ceritanya, ia sering dimarahi, bahkan dipukul oleh suaminya, dengan alasan yang sangat remeh. Suaminya, yang bekerja sebagai buruh kasar sehingga berpenghasilan kecil dan tidak tetap,  mempunyai sifat yang tidak terpuji. Ia sering meninggalkan isteri berhari-hari, sering tidak memberi nafkah lahir batin, temperamental dan kasar.

“Saya tidak sanggup lagi melanjutkan rumah tangga ini, Pak,” ia mencurahkan isi hatinya. “Selama hampir setahun berumah tangga, hanya bulan pertama saja yang saya rasakan kebahagiannya. Sisanya, penuh dengan siksaan lahir dan batin.”

Ia banyak mengisahkan kehidupannya yang penuh dengan kesengsaraan, kenestapaan dan penyiksaan. Padahal nampaknya, ia orang baik dan taat beragama. Kasihan, memang.

Saya juga ngobrol dengan ibunya. Sang Ibu, yang juga nampak dari kalangan yang tidak beruntung dari segi ekonomi, merasa beruntung diberitahu Amil. “Bagi orang miskin, ngurus surat cerai ke Pengadilan Agama gratis,” katanya, menirukan ucapan Amil.  Menurutnya, ia sama sekali tidak bayar apa-apa ke Pengadilan Agama. Gratis.

Ketika saya tanya tentang pelayanan aparat Pengadilan Agama kepadanya, apalagi karena gratis, ia menjawab, “Alhamdulillah, di dieu mah raramah,” ungkapnya jujur. Maksudnya, di sini aparat ramah-ramah.

**

Cerita di atas sebenarnya adalah cerita sehari-hari bagi kawan-kawan yang bekerja di Pengadilan Agama atau di Posbakum. Peristiwa seperti itu nampaknya adalah hal biasa, sebab terlalu banyak kasus-kasus seperti itu yang terungkap di persidangan, saat konsultasi di Posbakum atau saat pendaftaran perkara.

Tapi bagi kita, bagi kebanyakan orang, cerita seperti itu adalah cerita yang tidak biasa,  mengenaskan dan sangat menyakitkan. Coba Anda bayangkan, seorang perempuan yang tidak berdaya, miskin lagi (maaf), diperlakukan secara tidak senonoh oleh suaminya. Dibiarkan, diterlantarkan, disakiti hatinya, disiksa fisiknya, dihancurkan hidupnya, apa itu bukan suatu tragedi? Masya Allah.

Angka perceraian di Indonesia, dari tahun ke tahun, terus meningkat. Angka perceraian yang masuk PA selalu di atas 90% dari perkara masuk.  Secara nasional, perkara masuk ke PA tahun 2011 mencapai angka 360 ribu. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu pasangan yang cerai di PA? Belum lagi yang cerai di luar PA, bisa-bisa lebih bayak dari jumlah yang cerai di PA.

Dari jumlah yang cerai itu, berapa ratus ribu perempuan-perempuan dan anak-anak yang jadi korban akibat perceraian itu? Inna lillah.  Pada umumnya, memang yang menjadi korban itu adalah perempuan dan anak.

Apalagi, yang berperkara di PA itu banyak sekali orang-orang yang tidak beruntung dari segi ekonomi, seperti Bu Madhlumah tadi. Pada tahun 2011 saja, secara nasional, PA melayani 10 ribuan perkara prodeo.  Tapi yang dilayani dengan perkara prodeo itu hanyalah orang yang membawa SKTM (Surat Keterangan Tanda Miskin). Saya yakin orang miskin yang berperkara di PA itu, yang tidak membawa SKTM, jauh lebih besar dari angka 10 ribu.

Banyak alasan mengapa orang yang tidak mampu secara ekonomi malas mengurus SKTM. Sebagian karena merasa ribet harus datang ke RT, RW dan Kelurahan. Banyak juga yang beranggapan atau berpengalaman, biaya dengan transportnya untuk ngurus SKTM lebih besar dari biaya perkara itu sendiri. Atau banyak juga yang merasa gengsi untuk disebut sebagai orang miskin.

Padahal, menurut data dari BPS (Badan Pusat Statistik) yang diterbitkan Januari 2012, orang miskin di Indonesia akhir tahun 2011 itu sekitar 30 juta. Ini sama dengan lebih dari 12 % dari seluruh penduduk Indonesia.  Data inipun banyak yang menyanggahnya dengan alasan standar kemiskinan yang digunakan oleh BPS terlalu rendah.  Dalam kenyataannya, jumlah orang miskin jauh lebih besar dari itu.

Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi, garis kemiskinan Indonesia jauh di bawah standar Bank Dunia, 2 dolar AS per hari, atau jika dirupiahkan sekitar Rp 18.200 per hari. Berdasarkan kriteria BPS, standar garis kemiskinan per September 2011 hanya sekitar Rp 7.500 per hari, bahkan hanya Rp 7.000,- di pedesaan.  Jika standarnya sama dengan standar kemiskinan dunia, jumlah orang miskin di Indonesia bisa mencapai 42 % dari jumlah penduduk Indonesia (Pikiran Rakyat Online, 8/5/2012).

Masya Allah. Demikian banyak orang yang kurang beruntung dari segi ekonomi di Indonesia ini. Jika dikaitkan dengan data di atas, logikanya, orang yang berperkara ke PA secara nasional yang mencapai 360 ribu tahun 2011, saya yakin, jumlah orang miskinnya akan jauh lebih banyak dari jumlah orang yang membawa SKTM, yang “hanya” sekitar 10 ribu itu. Jumlah orang miskin itu bisa-bisa mencapai lebih dari 50% dari jumlah yang berperkara.  Sangat memprihatinkan.

***

Itulah sebabnya, saya dan kawan-kawan di Badilag selalu berupaya untuk meningkatkan anggaran untuk kegiatan yang terkait dengan para pencari keadilan yang kurang beruntung dari segi ekonomi. Tidak hanya itu, setelah anggaran kita punya, saya juga selalu minta agar anggaran itu betul-betul dimanfaatkan untuk kepentingan membantu orang-orang yang tidak beruntung itu dalam mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.

Kegiatan yang terkait langsung dengan “Justice for the Poor” di lingkungan peradilan agama adalah pelayanan perkara prodeo, sidang keliling dan Posbakum. Saya senang jika realisasi penggunaan anggaran untuk ketiga kegiatan tersebut terserap secara maksimal dengan kegiatan yang betul-betul dirasakan manfaatnya oleh pencari keadilan.

Sebaliknya, saya prihatin, atau jika langsung ketahuan, saya ‘nyanyi’,  jika anggaran itu tidak terserap secara maksimal atau penyelenggaraannya kurang optimal. Sayapun galau, jangan-jangan Posbakum yang selama ini sudah berjalan baik di lingkungan PA, tahun depan dialihkan ke tempat lain dengan syarat-syarat yang “menyulitkan” para pencari bantuan hukum.

Oleh karena itu, saya sendiri sering kali datang ke PA-PA, bahkan kadang-kadang secara diam-diam, untuk mengecek keadaan sebenarnya tentang pelayanan yang diberikan oleh aparat PA. Tiga kegiatan yang berkait dengan “Justice for the Poor” selalu menjadi perhatian saya dalam melakukan kunjungan kerja ke daerah.

Saya sangat salut kepada kawan-kawan dari luar Indonesia, yang begitu besar perhatiaannya terhadap pengentasan kemiskinan dan penguatan keadilan bagi orang miskin.

Kita lihat, World Bank sebagai lembaga keuangan yang besar, bertaraf internasional, mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap kemiskinan.  Lembaga keuangan internasional yang bermarkas di Washington ini  mempunyai program khusus bernama “Justice for the Poor” yang dikaitkan dengan “justice reform”. Unit kerja yang menangani program khusus ini  ditempatkan di beberapa negara, termasuk di Indonesia.

Selain World Bank, banyak juga negara yang mempunyai program-program khusus seperti itu. Program-program pada AusAID (The Australian Agency for International Development) yang banyak dikerjasamakan dengan MA (Badilag), misalnya, juga tidak sedikit yang terkait dengan kepentingan orang miskin.   Demikian pula program-program pada USAID (United States Agency for International Development).

Selasa (8/5/2012) lalu, saya bersama para staf World Bank dan AusAID yang terdiri dari orang-orang Australia, Amerika, Fiji dan Indonesia, mengunjungi PA Cianjur dan pusat kegiatan PEKKA (Perhimpunan Perempuan Kepala Keluarga) di Desa Sukanagalih, Cipanas, Cianjur.

Di PA Cianjur, mereka banyak menggali informasi tentang kegiatan Sidang Keliling, Prodeo dan Posbakum. Mereka lama mengobrol dengan KPA dan petugas Posbakum.

Sementara di PEKKA Center yang berada di daerah pegunungan, yang relatif jauh dari jalan raya, kawan-kawan dari World Bank dan AusAID ini mengadakan pertemuan dengan sekitar 30 pengurus dan anggota PEKKA.  Pertemuan ini dihadiri pula oleh unsur Polres Cianjur, Pemda Cianjur, Kepala KUA setempat,  Ketua PA Cianjur dan tokoh masyarakat, yang semuanya ini tergabung dalam forum yang dikenal sebagai MSF (Multi Stakeholders Forum).

Mereka sangat serius mendiskusikan dan mencari solusi bagaimana agar keadilan dan kepastian hukum bagi orang-orang yang kurang beruntung, termasuk anggota PEKKA, dapat terlaksana dengan baik, cepat, mudah dan murah. Kalau perlu gratis.  Subhanallah. Sungguh mulia orang-orang ini.

****

Memperhatikan langkah dan sikap mereka, setelah selesai melakukan kunjungan ke PA dan PEKKA itu, rasanya hati ini malu. Betapa besarnya perhatian orang-orang asing terhadap kepentingan orang-orang miskin di Indonesia ini.  Mereka nampak ingin informasi dan masukan, masalah apa yang bisa mereka bantu bagi kepentingan orang miskin.

Mereka ingin mengetahui peran PA, Posbakum, PEKKA dan instansi lainnya dalam membantu orang miskin. Mereka nampak ingin membantu sesuai dengan peran dan kewenangan yang mereka miliki.

Betapa mulianya mereka. Terlepas dari isu politik atau hubungan antar negara yang sebenarnya yang saya sendiri tidak tahu persis, saya hanya melihat apa yang tampak di lapangan. Pantaslah mereka  ini diapresiasi, bahkan kita tiru kiprahnya.

Meski saya tahu bahwa masalah kemiskinan adalah masalah kemanusian secara global dan universal, tidak dimonopoli suatu bangsa, ras atau agama tertentu, rasa keindonesiaan dan keislaman saya benar-benar tersentuh. Kita harus lebih banyak belajar dari mereka. Bukankah Nabi kita pernah bersabda “Lihatlah apa yang dikatakannya, jangan melihat siapa yang mengatakannya”? Kita perlu belajar dan menerima contoh yang baik dari siapapun.

Kepada kawan-kawan dari lingkungan peradilan agama, yuk kita bertekad untuk membantu mereka yang kurang beruntung dari segi ekonomi atau siapapun yang membutuhkan kita. Program Sidang Keliling, Prodeo dan Posbakum kita jadikan sarana kita untuk membantu mereka sebaik-baiknya.

Di luar program itu pun, banyak cara yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka. Pelayanan kepada pencari keadilan, yang notabene banyak dari kalangan yang kurang mampu, juga dapat kita tingkatkan kualitasnya.  Senyum, sapa, salam dan sopan dalam memberi pelayanan perlu terus kita kembangkan.

Prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan biaya terjangkau, bahkan gratis, haruslah kita tegakkan dan praktikan dalam pelaksanaan tugas kita sehari-hari.

Sungguh sangat ironis, orang lain sedemikian besar perhatiannya kepada mereka yang kurang mampu, sementara (misalnya) kita memberikan pelayanan yang kurang baik, atau bahkan memberi beban-beban lainnya yang di luar ketentuan. Na’udzu billah.

Saya mengakui, perhatian terhadap masyarakat yang kurang mampu dari kawan-kawan di lingkungan peradilan agama pada umumnya, selama ini, sudah baik. Namun, kita perlu upayakan lagi agar perhatian dan pelayanan itu terus kita tingkatkan, sehingga betul-betul mereka yang memerlukan pelayanan dapat merasa puas. Saya yakin, kita pasti bisa. Insya Allah. (WW)

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice