VISI HUKUM WARIS ISLAM
(Perspektif Pemikiran Rasyid Ridla)
Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.
(Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo)
Pendahuluan
Kegalauan terhadap sistem kewarisan Islam sering muncul ke permukaan utamanya formulasi 2:1 bagi ahli-waris laki-laki dengan ahliwaris perempuan yang dinilainya tidak adil. Mereka menawarkan formulasi perimbangan 1:1 sebagaimana sistem hukum kewarisan Barat maupun sebagian sistem hukum kewarisan adat yang dinilai sebagai formulasi yang adil.
Dalam merespon kegalauan atas “kekuarang adilan” hukum kewarisan Islam terkait formulasi 2:1 ini tentu saja disertai dengan sejumlah argumentasi, mulai dari yang paling sederhana dengan pola berpikir sosiologis, empiris dan pragmatis, sapai kepada konsep berpikir yang dianggap paling otoritatif, yaitu filosofis, methodologis dan argumentatif.
Sikap pro dan kontra para ilmuwan dalam menyikapi rumus pembagian waris Islam 2:1 ini masih terus berlangsung dan akan tetap menjadi wacana sampai waktu yang tidak dapat ditentukan.
Kegalauan semacam ini sesungguhnya bukanlah hal baru, mengingat sejak masa-masa awal Islam sesungguhnya pernah juga dipertanyakan oleh sebagian sahabat Nabi SAW, Berdasarkan riwayat bahwa Ummu Salamah istri Rasulullah SAW pernah menyampaikan terkait beberapa persoalan hukum Islam kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah, mengapa laki-laki dibolehkan bahkan diperintahkan melakukan pererangan, sementara kami kaum perempuan tidak disertakan ? Apa karena itukah maka kami (kaum perempuan) hanya mendapatkan setengah bagian dalam urusan kewarisan ?” Lalu Allah menurunkan surat an-Nisa’ ayat 22; yang pada intinya melarang kaum perempuan cemburu/irihati atas perbedaan warisan antara laki-laki dan perempuan.[1]
[1] Abi Al-Hasan ‘Ali Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi, Asbabun-Nuzul, Darul Fikr, Bairut, hal. 99;
selengkapnya KLIK DISINI