Takdir, Human Error dan Karir Hakim
Oleh: Edi Riadi
[Wakil Ketua PTA Jakarta]
Saya punya teman baik seorang wanita yang otaknya cukup brilian. Di tempat kuliah ia sering jadi rujukan teman-teman karena keluasan dan kedalaman ilmunya. Di bidang keorganisasian sangat menonjol pula, bahkan sempat menduduki jabatan puncak sebuah organisasi wanita di tingkat nasional. Ia pandai mempadupadankan busana yang dikenakan, bahkan ia rancang sendiri busana apa yang harus dikenakan dalam event-event tertentu. Saya menyebutnya Mbak Kartini karena kelebihannya dalam berbagai hal.
Saat saya diangkat menjadi calon hakim, Mbak Kartini terlambat satu tahun dari saya. Maklum, jika seorang aktivis terlambat satu tahun menyelesaikan kuliah. Suaminya, yang kuliah sefakultas dan seangkatan dengan saya dan dengan Mbak Kartini, berbarengan dengan saya menjadi cakim di pengadilan agama di kota yang sangat dikenal dengan wisata laut Bunaken. Mbak Kartini setahun kemudian menjadi cakim di pengadilan agama yang sama.
Kecerdasannya di bangku kuliah terbawa serta dalam kedinasan. Saya kagum membaca putusan-putusan yang dibuatnya: logis dan sistematis, logika hukumnya runut dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Lagiālagi saya, yang setahun lebih dulu jadi hakim darinya, belajar membuat putusan yang baik dari Mbak Kartini.
Selengkapnya, silakan baca DI SINI.