SUMPAH ADVOKAT SEBAGAI UNIFIKASI INTEGRITAS KEHAKIMAN
(Sebuah Refleksi)
Oleh : Erfani Aljan Abdullah
Tentu kita belum lupa, beberapa waktu lalu sebelas Hakim Pengadilan Agama di Ponorogo menjadi ‘korban’ kisruh legalitas advokat beracara di Pengadilan2. Kisruh klasik itu hingga kini belum berakhir pada win win solution. Hampir dipastikan, persidangan dengan Kuasa Hukum advokat yang tak mengantongi sumpah, berujung dengan ketidakpuasan, yang tidak sedikit menjadi aduan di Komisi Yudisial (KY). Rupanya permasalahan itu, tidak saja bagi Majelis Hakim yang menolak, karena kasus di Ponorogo, menjadi fakta bahwa Majelis Hakim yang menerima pun adalah sesuatu yang dilematis. Polemik perihal legalitas advokat ini sejatinya bukan yang pertama kali. Karena pada 2011 lalu, Ketua Pengadilan Tinggi Ambon pun dicopot dari jabatannya sebab mengangkat sumpah advokat KAI3. Menyusul polemik ini, Ketua Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki, mengimbau agar peradilan tak ikut campur perseteruan advokat.4 Meski imbauan itu dirasa melindungi peradilan utamanya hakim, namun praktik di lapangan, hakim mau tidak mau harus berperan dalam pelaksanaan Undang-Undang Advokat dengan memastikan advokat yang beracara telah diangkat sumpahnya di Pengadilan Tinggi (PT). Sebaliknya, jika hakim acuh saja membiarkan advokat beracara tanpa sumpah di PT, maka akan ada persoalan konsekuensi yuridis dengan persidangan dan legal standing advokat, karena Undang-Undang lah yang menentukan prasyarat beracara bagi advolat itu berupa sumpah di PT.
selengkapnya KLIK DISINI
.