Rekonstruksi Garis Batas (Scheidingslijn) Kewenangan Bidang Perceraian antara Pengadilan Agama dan Pegawai Pencatat Nikah
Oleh Dr. Musthofa Sy., S.H., M.H.
(Wakil Ketua PA Giri Menang)
Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009terjadi insinkronisasi secara vertikal dan disharmoni secara horizontal dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat. Berdasarkan asas preferensi hukum, norma tersebut tidak berlaku lagi setelah diundangkan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013. Oleh sebab itu, urgen dilakukan konstruksi garis batas (scheidingslijn) kewenangan bidang perceraian antara PA dan PPN KUA untuk memperoleh kejelasan fungsi masing-masing lembaga atau jabatan dalam bidang perceraian.
1. Pendahuluan
Setelah hasil penelitian menemukan jawaban[1] bahwa Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No 50 Tahun 2009 (UU Peradilan Agama) yang merupakan dasar kewenangan pencatatan perceraian tidak berlaku lagi setelah diundangkan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 (UU Adminduk), perlu dijelaskan konstruksigaris batas (scheidingslijn) kewenangan bidang perceraian antara pengadilan agama (PA) dan pegawai pencatat nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama (KUA). Urgensi konstruksi garis batas (scheidingslijn) kewenangan ini untuk menindaklanjuti hasil penelitian sehingga menjadi jelas fungsi masing-masing lembaga atau jabatan dalam bidang perceraian, baik perceraian karena talak maupun gugatan perceraian.
[1] Lihat artikel penulis berjudul “Dualisme Kewenangan Pencatatan Perceraian antara Panitera PA dan Pegawai Pancatat pada KUAKec.” dimuat di Badilag.net., 29 September 2015.
Selengkapnya KLIK DISINI