Quo Vadis Hakim Agung
Oleh: Achmad Fauzi
(Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kaltara; penulis buku Anasir Kejahatan Peradilan Artikel ini dimuat di Harian Jawa Pos tanggal 6 Februari 2014)
KEPUTUSAN politik Komisi III DPR menolak tiga nama calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial (KY) menuai kontroversi. Pangkal persoalannya karena dua hal. Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 telah menganulir kewenangan DPR memilih hakim agung. DPR hanya diberi wewenang untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon hakim agung yang dikirimkan oleh KY. Di samping itu, formulasi tiga banding satu untuk setiap formasi kamar peradilan tidak berlaku lagi.
Frasa "menyetujui atau tidak menyetujui" tersebut ternyata belum bisa menuntaskan persoalan. Sebab, dalam praktiknya, DPR tetap menjalankan etape pengujian sebelum memutuskan apakah calon hakim agung yang diusulkan KY memenuhi kriteria atau tidak. Argumentasi ini terbaca ketika DPR menyatakan calon hakim agung Suhardjono, Maria Anna Samiyati, dan Sunarto tak cukup berkualitas. Hasil voting dari 48 anggota Komisi III yang hadir, 44 orang menolak Suhardjono dan Maria Anna Samiyati. Sedangkan Sunarto ditolak oleh 42 orang.
Hingga kini, DPR tidak transparan dalam menetapkan tolok ukur kualitas calon hakim agung yang diharapkan. Justru, dalam sejarahnya DPR kerap tidak meloloskan calon kredibel dan berintegritas lantaran tak memiliki dampak keuntungan politik yang besar. Banyak calon hakim agung terjungkal di Senayan, padahal sangat mumpuni dalam penguasaan hukum formal, materiil, administrasi peradilan, dan pengetahuan hukum lainnya.
selengkapnya KLIK DISINI
.