MEMEDIASIKAN MEDIASI
Oleh: Ahmad Syafruddin
(Hakim pada Pengadilan Agama Sungai Penuh)
Barisan kata yang membentuk judul tulisan di atas sekilas terasa menggelitik. Cenderung sumir, kabur, atau tidak jelas. Sulit dipahami maupun dimengerti makna apa yang hendak disampaikan penulis. Namun begitu, memilih judul ini pada hakikatnya dilatarbelakangi hasil pengamatan terhadap sarana prasarana ruang mediasi. Di beberapa lingkungan peradilan yang penulis berkesempatan lakukan sendiri. Mengamati secara tidak formal atau tidak resmi. Apa adanya sehingga memperoleh gambaran yang relatif objektif dan valid.
Mediasi sesungguhnya bentuk intensifikasi dari upaya perdamaian yang diamanatkan undang-undang dalam penyelesaian suatu sengketa. Perdamaian merupakan sebuah tujuan dan menjadi hasil yang sangat diidam-idamkan. Dengan perdamaian semua pihak akan puas, lebih nyaman, dan menerima tanpa merasa dipaksakan. Win-win solution. Semua pihak menjadi pemenang. Tidak ada yang dikalahkan apalah lagi yang dikorbankan.
Mediasi di pengadilan bergema bersahutan semenjak lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008. Hal ini tidak terbantah meskipun pada faktanya terlebih dahulu telah diinisiasi oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003. Peraturan yang akrab disingkat perma ini mengatur tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi yang terintegrasi menjadi bagian utuh dalam hukum proses peradilan. Putusan pengadilan tidak akan ber”gigi”, teramputasi dengan sendirinya bila tidak menempuh suatu proses yang dinamakan mediasi. Batal demi hukum. Termhukum yang eksplisit termuat di Pasal 2 ayat 3 Perma tahun 2008 tersebut. Tentu dengan kondisi kausa yang telah terpenuhi.
selengkapnya KLIK DISINI