KEWARISAN ANAK DALAM AL-QUR-AN
KAJIAN HERMENEUTIKA Q. S. 4:11, PERSPEKTIF DR. IR. MUHAMMAD SYAHRUR
Oleh: Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.
(Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo)
Pendahuluan
Hukum kewarisan pernah dinyatakan oleh Rasulullah sebagai “nisfu al-‘ilmi” dan beliaupun memerintahkan umatnya untuk mempelajari dan mengajarkannya kepada khalayak. Karena pewarisan adalah lembaga yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia, keberadaannya merupakan keniscayaan sama halnya dengan kematian, karena ia mengatur proses perpindahan harta kepemilikan (tsarwah) seseorang kepada pihak lain setelah kematiannya. Untuk itu Allah SWT telah memberikan petunjuk melalui ayat-ayat-Nya sebagai pedoman, namun kemudian dalam memahami petunjuk Allah ini terjadi perbedaan (ikhtilaf) yang serius dan cukup rumit di tengah kehidupan manusia.
Ayat waris telah dijelaskan oleh Allah hanya dalam 3 (tiga) ayat saja, yaitu: ayat 11, 12 dan 176 Surat An-Nisa’. Jumlah ayat yang terbatas tersebut seakan-akan tidak memadai untuk menjawab problema hukum kewarisan yang dibutuhkan oleh umat manusia. Tetapi Allah sudah menyatakan dalam firman-Nya “ma farrathna fi al-kitabi min syai’; bahwa tiada satupun permasalahan hidup manusia yang tak terjawabkan oleh Al-Qur-an.
Dalam perspektif ulumu al-Qur-an, mufassirin menggolongkan ayat-ayat mawarits tersebut termasuk ayat-ayat muhkamaat, sedang dalam perspektif metodologi (ushul fiqh) fuqoha’ menggolongkannya sebagai dalil qath’iyu al-wurud wa ad-dalalah; Yaitu dalil yang dari sisi transmisi (kedatangannya) ia adalah wahyu Allah yang diterima Nabi dan disampaikan kepada khalayak (shahabah) secara mutawattir; Dari segi kandungan maksud yang dituju oleh teks (dalalah) maknanya jelas dan pasti sehingga tidak memungkinkan timbulnya pengertian/pemahaman yang ambigu. Oleh karena itu secara teoritik ayat-ayat mawaris oleh jumhur fuqoha’ harus dipahami apa adanya, tidak boleh menyimpang dari teks. Prinsip kaidah tersebut sangat berbeda dengan dalil-dalil nash yang bersifat dhanny.
seloengkapnya KLIK DISINI
.