WASIAT dan WARIS DALAM AL-QUR-AN
(PERRSPEKTIF PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR)
Oleh: Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.
Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo
Pendahuluan
Dialektika pemikiran nasikh-mansukh ayat-ayat Al-Qur-an di belantara pemikiran ulama’ telah berlangsung lama melintas zaman hingga sekarang. Hampir seluruh tafsir yang beredar, termasuk tafsir yang sangat terkenal moderat seperti Tafsir “Al-Kabir” karya Fahruddin Ar-Razie, disusun berdasarkan keyakinan akan adanya teori nasikh-mansukh dalam ayat-ayat Al-Qur-an. Hanya sedikit saja mufassirin yang tidak demikian, misalnya adalah Abu Muslim Al-Asfihani dan Ibnu Jarir Ath-Thabari beliau berdua ini mengingkari adanya nasikh-mansukh pada ayat-ayat Al-Qu-an.
Perbedaan paradigma nasikh-mansukh pada ayat-ayat Al-Qur-an tersebut tentu saja berimplikasi pada ragamnya perbedaan pendapat dalam fikih Islam. Salah satu dari kesekian perbedaan fikih (ikhtilaf) yang dilatarbelakangi adanya pandangan nasikh-mansukh tersebut adalah perbedaan pendapat tentang hukum wasiat kepada ahli-waris.
Sebagaimana dipahami bahwa kewajiban wasiat sebagaimana disebut oleh Allah dalam firmanNya dalam Al-Qur-an Surat Al-Baqarah 180, sasarannya diantaranya adalah ahli waris yaitu: al-waalidaini wa al-aqrabiin, maka setelah diturunkannya ayat-ayat mawaris, jumhur ulama berpendapat bahwasanya ayat-ayat wasiat tidak berlaku lagi (mansukh).[1] Karena pada ayat-ayat waris telh dengan jelas disebutkan secara lebih rinci dan detail siapa saja yang menjadi ahli waris dari seseorang dan berapa bagian hak mereka. Pemberian harta melalui wasiat kepada ahli-waris, akan berpotensi menimbulkan ketidakadilan, karena ahli waris akan memperoleh bagian ganda, disamping mendapatkan bagian secara wasiat dia juga akan mendapatkan bagian harta dengan jalan warisan.
selengkapnya KLIK DISINI
.