logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 10253

Realita dan Dilema Perkawinan Anak Di Bawah Umur

Oleh: Indarka Putra Pratama, S.H.

Beberapa waktu lalu, fenomena perkawinan anak di bawah umur yang terjadi di Dusun Landa, Desa Taan, Kecamatan Tapalang, Kabupaten Mamuju, santer diberitakan banyak media nasional. Foto sepasang pengantin belia yang masih mengenyam pendidikan di bangku SMP itu bahkan terpampang di muka laman utama. Mereka berpose di depan kamera sembari melempar senyum laiknya pengantin dewasa, padahal usia mereka tak lebih dari 15 tahun.

Tentu perkawinan tersebut tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, sebab bertentangan dengan undang-undang. Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, usia minimal menikah bagi laki-laki adalah 19 tahun, dan bagi perempuan adalah 16 tahun. Kini batas minimal tersebut telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Di sanalah ditetapkan usia minimal menikah baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun.

Jamaknya fenomena perkawinan anak di bawah umur yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia tentu menjadi semangat utama adanya revisi tersebut. Penyetaraan usia minimal menikah antara laki-laki dan perempuan mengandung visi supaya dapat menekan angka perkawinan anak di bawah umur. Sebab, jika dipandang dari berbagai aspek: fisik, psikis, dan finansial, anak-anak masih sangat rentan dan penuh dengan risiko. Kini peraturan baru tersebut sudah berjalan dan diterapkan sekira 3 tahun. Lalu, apakah hal itu efektif meminimalisir perkawinan anak di bawah umur? Tentu tidaklah mudah untuk menjawabnya.

Secara yuridis, apabila terdapat calon pengantin yang belum memenuhi batas minimal usia perkawinan, orang tua mereka dapat mengajukan permohonan ke pengadilan yang dikenal dengan istilah dispensasi kawin (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dalam hal ini, Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara permohonan dispensasi kawin. Atas hal tersebut, setelah berlakunya usia perkawinan minimal 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, Pengadilan Agama malah ‘kebanjiran’ perkara permohonan dispensasi kawin.

Tentu saja ini dilema. Di satu sisi, dinaikkannya batas minimal usia menikah dimaksudkan untuk mengatasi perkawinan anak. Akan tetapi di sisi lain, undang-undang menawarkan alternatif apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh pihak yang belum memenuhi batas minimal usia menikah. Hal tersebut semacam menambal satu lubang yang bocor, namun membiarkan lubang lainnya tetap terbuka.

Sebagai insan yang mengabdi di Pengadilan Agama Mamuju, setiap hari saya menahan miris luar biasa ketika menjumpai laki-laki dan/atau perempuan yang masih begitu belia datang untuk mengikuti sidang perkara dispensasi kawin. Lebih miris lagi saat harus melayani mereka untuk mengajukan permohonan cerai dengan usia pernikahan yang baru seumur jagung. Seolah-olah saya menyaksikan calon pemimpin bangsa sedang terombang-ambing nasibnya.

Pada dasarnya, perkawinan merupakan ikatan yang sakral. Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahkan menyebut perkawinan sebagai mitsaqan ghalizon (perjanjian agung), karena di dalam perkawinan itulah kemuliaan manusia akan kian teruji. Namun, menjadi menyedihkan apabila “perjanjian agung” itu dilakukan dengan serampangan dan nirpersiapan. Sekali lagi, selain pemerintah, peran para orang tua di sini teramat penting untuk memberikan pengarahan terhadap anak-anak mereka terkait perkawinan. Sayangnya, yang dewasa ini banyak terjadi, justru perkawinan anak di bawah umur tak sedikit yang dimulai dari keputusan-keputusan para orang tua. Hal ini membikin masalah kian kompleks.

Di tengah kegelisahan perihal fenomena perkawinan anak di bawah umur, baru-baru ini tersiar sebuah kabar dari dua instansi penting Kabupaten Mamuju. Rabu (8/6), Surat Harian Radar Sulbar merilis berita bertajuk “Komitmen Cegah Pernikahan Anak, Dinkes-PA Mamuju Teken MoU”. Terang hal tersebut memberi angin segar. Selaku instansi yang memikul tanggung jawab terkait kesehatan masyarakat, Dinas Kesehatan Mamuju bekerja sama dengan instansi yang berwenang terhadap penerimaan perkara permohonan dispensasi kawin, Pengadilan Agama (PA) Mamuju. Keduanya sepakat dalam sebuah komitmen bersama untuk berupaya menekan angka perkawinan anak di bawah umur. Perihal bagaimana metodenya, marilah kita tunggu bersama-sama. Yang jelas, tekad dari Dinkes Mamuju dan PA Mamuju patut diapresiasi, tinggal bagaimana ke depan masyarakat mengawal pengimplementasiannya.

Menyoal perkawinan barang tentu bukanlah urusan sepele. Tertatanya anak-anak muda adalah sama halnya dengan tertatanya generasi bangsa. Generasi yang gemilang, generasi yang cerdas, dan generasi yang unggul demi kemajuan peradaban. Semua itu bisa tercapai melalui pintu mana saja. Mulai dari yang terdekat seperti keluarga, hingga pemerintah melalui lembaga-lembaganya. ***

Indarka Putra Pratama, S.H., lahir di Wonogiri (Jawa Tengah). Alumni Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, IAIN Surakarta. Saat ini mengabdi sebagai CPNS Analis Perkara Peradilan Pengadilan Agama Mamuju. Menulis buku “Penumpasan” (Sirus Media, 2021), dan bergiat di Komunitas Kamar Kata. Bisa dihubungi lewat WhatsApp: 085647179164 dan e-Mail: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice