PK di atas PK
(Telaah atas Risalah Qadha’ Umar Ibn Khattab)
Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.[1]
Sekapur Sirih
Terhitung sejak pukul 15.00 Wib, Kamis, 6 Maret 2014, Peninjauan Kembali (PK) perkara pidana dapat diajukan lebih dari satu kali. Itulah ruh dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 34/PUU-XI/2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi: “permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan perkara judicial review yang diajukan mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, S.H., M.H., Dkk. itu mengejutkan dunia hukum nasional. Beragam tanggapan bermunculan bak cendawan di musim hujan. Mulai dari praktisi, akademisi, tak terkecuali: dari lingkungan Mahkamah Agung (MA). Ada yang merespon positif. Tapi jauh lebih banyak yang menilai negatif.[2]
Artikel ini sama sekali tidak berpretensi mengomentari reaksi dari pihak manapun, termasuk dari Mahkamah Agung dalam menyikapi putusan judicial review di atas. Penulis tidak memiliki kompetensi untuk itu. Kajian ini sebatas melacak pemikiran Khalifah Umar Ibn Khattab, terkait dengan upaya hukum peradilan ulang, atau dalam konteks ke-Indonesiaan, populer disebut dengan: Peninjauan Kembali.
[1] Calon Hakim Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu MA-RI. Satker: Pengadilan Agama Kab. Kediri
[2] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/07/n22a7m-ketua-ma-terkejut-dengan-putusan-mk-kenapa, 07 Maret 2014.
Selengkapnya KLIK DISINI
.