PENERAPAN LEMBAGA DWANGSOM DI PENGADILAN AGAMA
Oleh: Drs. Cik Basir, S.H., M.H.I*
A. Pendahuluan
Satu di antara persoalan penting yang direkomendasikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung R.I di Manado tanggal 31 Oktober 2012 yang lalu adalah mengenai penerapan lembaga dwangsom dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah), di mana berdasarkan hasil Rakernas tersebut dalam perkara pemeliharaan anak (hadhanah) hakim dapat menghukum tergugat untuk membayar dwangsom. Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mengantisipasi berbagai kesulitan pelaksanaan eksekusi anak yang selama ini kerap terjadi[1].
Terlepas dari persoalan penerapan dwangsom dalam perkara hadhanah yang hinga saat ini masih kontroversial, terhadap penerapan lembaga dwangsom itu sendiri di pengadilan agama terutama bagi para hakim tampaknya hingga saat ini masih banyak yang harus sesegera mungkin dipahami lebih jauh di tengah semakin lazimnya permohonan dwangsom diajukan di pengadilan agama yang ternyata tidak hanya diajukan dalam perkara hadhanah, melainkan dalam perkara-perkara sengketa kebendaan (zakenrecht) lainnya. Bahkan sejauh ini di pengadilan agama sebenarnya permohonan dwangsom itu justeru lebih banyak diajukan dalam perkara-perkara sengketa kebendaan, sedangkan dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah) dapat dikatakan masih sangat jarang yang disertai dengan tuntutan dwangsom. Hal ini tentunya tidak terlepas karena masih kontroversialnya penerapan lembaga dwangsom tersebut dalam perkara hadhanah.
selengkapnya KLIK DISINI
.