PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PERCERAIAN
(Penerapan Pasal 22 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 76 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989)
Oleh: Muhamad Isna Wahyudi
Pendahuluan
Setiap hukum, baik itu hukum acara ataupun hukum materiil pasti memiliki ‘illat hukum, ratio legis, yaitu motif/alasan yang mendasari sebuah hukum. Oleh karena itu, setiap hakim dalam menerapkan hukum harus meneliti apakah ‘illat hukum dari suatu ketentuan hukum dan apakah ‘illat hukum tersebut terdapat dalam peristiwa kongkrit yang terhadapnya akan diterapkan ketentuan hukum tersebut. Dalam hal ini terdapat sebuah kaidah fikih: “Al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman,” yaitu sebuah hukum berlaku bersamaan dengan ada tidaknya ‘illat hukum pada suatu peristiwa kongkrit.
Terkait dengan hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama, khususnya terkait dengan perkara perceraian, terdapat ketentuan hukum acara baik di dalam Pasal 22 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975 maupun dalam Pasal 76 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989, yang intinya bahwa dalam hal gugatan perceraian didasarkan pada alasan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga atau syiqaq, dalam memutus perkara perceraian tersebut harus didengar keterangan saksi‑saksi yang berasal dari keluarga atau orang‑orang yang dekat dengan suami istri. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami secara eksplisit bahwa pembuktian dalam perkara perceraian karena alasan tersebut harus dengan alat bukti saksi.
selengkapnya KLIK DISINI
.