Merenungi Hakim[1]
Oleh: Achmad Fauzi
(Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara;
penulis buku Anasir Kejahatan Peradilan)
Belakangan ini bangsa kita mengalami defisit kepeloporan hukum. Pamor penegak hukum kian terpuruk karena beberapa hakim, jaksa dan polisi ditangkap KPK tersebab skandal suap. Spirit ketegasan dan antisuap aparat hukum sekaliber Bismar Siregar (hakim), Baharuddin Lopa (jaksa), Hoegeng Imam Santoso (polisi) tak mampu dijelmakan kembali dalam ruang kekinian.
Kekosongan patron dalam ruang generasi hukum acap menimbulkan situasi rentan. Idealisme penegak hukum gampang dirasuki roh materialisme yang mengusung kuasa uang di atas supremasi hukum. Akibatnya, hukum sebagai instrumen penegakan keadilan kerap membegal terwujudnya keadilan. Ketika mimbar hukum tergelar dan dikendalikan oleh kelas pemilik modal (Karl Marx) dan diintervensi kuasa politik (Ralf Dahrendorf), maka hukum sebagai sarana keadilan (Plato) dan tatanan kebajikan (Socrates) hanya akan melahirkan kecurangan. Hukum yang idealnya berporos pada nilai keadilan justru menjadi arena transaksi kepentingan para mafioso.
Bersyukur, kini di lembaga peradilan kita punya sosok hakim agung Artidjo Alkostar. Ia dikenal garang menghukum koruptor. Kredibilitas dan moral etiknya tak diragukan. Bahkan Artidjo menolak menerima peghargaan UII Award demi menjunjung tinggi kode etik. Artidjo adalah penanda baru bangkitnya lembaga peradilan dari siuman. Diharapkan spirit “Artidjo effect” menjadi kultur seluruh hakim di pengadilan dalam hal perilaku dan putusan-putusannya.
[1] Artikel ini dimuat di Harian Kompas tanggal 3 Februari 2014
Selengkapnya KLIK DISINI
.