logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 4635

MENYOROT PELAYANAN INTERNAL BIDANG KEPEGAWAIAN DI LEMBAGA PERADILAN

Oleh: Hermansyah

 

 DALAM sebuah rapat persiapan implementasi sistem manajemen mutu dalam rangka meraih Sertifikat ISO di sebuah pengadilan, pihak konsultan bertanya kepada Kepala Sub Bagian Kepegawaian setempat, “Apakah sudah ada standar waktu dan mekanisme pengurusan izin cuti?”

Setelah berpikir sesaat, Kasubbag Kepegawaian itu menjawab, “Ya, sudah ada.” Namun ketika ditanya lebih lanjut mengenai berapa lama waktu yang diperlukan dan bagaimana tahap demi tahap pengurusan izin cuti itu, sang Kasubbag menggeleng.

Dengan keahliannya, sang konsultan lantas membimbing Kasubbag Kepegawain itu untuk merumuskan mekanisme pengurusan izin cuti dan rentang waktu yang ideal. Ia juga menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa timbul beserta upaya yang perlu dilakukan.

“Dalam batas waktu tertentu, harus ada pemberitahuan secara lisan atau secara tertulis, baik terhadap permohonan cuti yang dikabulkan maupun yang tidak dikabulkan,” ujar sang konsultan.

Tidak cuma soal izin cuti, sang konsultan juga bertanya mengenai mekanisme dan standar waktu hampir seluruh layanan kepegawaian pada satker tersebut. Layanan-layanan itu di antaranya adalah kenaikan pangkat, kenaikan gaji berkala, pengurusan pensiun, pemberian penghargaan satya lencana, pengurusan DUK, pengembangan pegawai, pembuatan Karpeg/Karis/KARSU, pembuatan ASKES, pembuatan KP4, hingga penilaian prestasi kerja pegawai.

Jika sudah ada SOP yang komplit, tentu tidak sulit merumuskan dokumen utuh berisi standar layanan-layanan tersebut. Persoalannya, SOP yang ada belum mencakup seluruh layanan yang diberikan. Selain itu, sejumlah SOP yang telah disusun ternyata terpaku pada kondisi senyatanya (das sein), bukan berasal dari kondisi semestinya (das sollen). Tidak hanya itu, berbagai SOP itu juga belum pernah dievaluasi pelaksaannya, sehingga belum diketahui apakah implementasinya baik atau buruk dan apakah muatan berbagai SOP itu perlu disempurnakan atau tidak.

“Bagaimana kalau ada belum ada SOP, sedangkan setiap layanan harus ada standarnya?” sang konsultan bertanya.

“Ya, kami pakai kebiasaan saja, Pak.”

Mendengar jawaban Kasbubbag Kepegawaian itu, sang konsultan hanya mengangguk-angguk—entah karena dapat memahami, entah karena heran.

***

Dari kisah nyata di atas, kita dapat mengajukan sederet pertanyaan: Mengapa urusan kepegawaian begitu vital, sehingga perlu ditelaah secara khusus? Apa dampaknya jika layanan kepegawaian buruk? Lantas, kiat-kiat apa yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kualitas layanan kepegawaian?

Lembaga peradilan—yang dalam tulisan ini meliputi Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya—di samping wajib memberikan pelayanan eksternal kepada publik, juga dituntut untuk memberikan pelayanan internal kepada aparaturnya sendiri.

Pelayanan internal di lembaga peradilan banyak ragamnya, namun di antara yang paling vital adalah pelayanan di bidang kepegawaian. Ia menjadi sangat vital karena menyangkut keberlangsungan karir aparatur, mulai dari perekrutan hingga pensiun. Ia juga sangat vital karena kinerja sebuah satker sangat bergantung kepada kinerja aparaturnya.

Karena begitu pentingnya persoalan pengelolaan SDM dan pelayanan kepegawaian, tidak mengherankan, ia dijadikan salah satu sasaran utama auditor jika sebuah satker hendak meraih Sertifikat ISO. Juga tidak mengagetkan, penataan sistem manajemen SDM menjadi bagian penting dari Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB).  Dalam PMPRB, komponen  penataan sistem manajemen SDM bahkan diberi bobot paling besar di antara delapan komponen proses PMPRB.

Kenyataannya, pengelolaan SDM dan pelayanan di bidang kepegawaian—baik di tingkat pusat, pengadilan tingkat banding, maupun pengadilan tingkat pertama—belum sepenuhnya sesuai harapan. Meskipun sejauh ini belum pernah ada penelitian atau survei yang secara presisi dapat menggambarkan kualitas pelayanan kepegawaian di lembaga peradilan, kita dapat menangkap berbagai keluhan atau pengaduan yang sifatnya spontan dan sporadis. Jika kita petakan, ketidakpuasan-ketidakpuasan tersebut muncul karena:

Pertama, tidak jelasnya persyaratan dan prosedur. Masih sering kita dengar aparatur peradilan yang mengeluhkan tidak jelasnya persyaratan dan prosedur pelayanan di bidang kepegawaian. Soal pengajuan izin belajar, misalnya, mereka tidak tahu apa saja yang perlu disiapkan dan apa saja langkah yang mesti mereka tampuh.

Tanpa mengecilkan jerih payah penyusunan berbagai SOP di bidang kepegawaian di lembaga peradilan, harus diakui bahwa berbagai SOP itu belum tersosialisasikan dengan baik. Aparatur peradilan masih kesulitan mengakses berbagai SOP itu, baik dalam wujud hard copy maupun soft copy. Padahal, pada era sekarang, menyediakan berbagai SOP dengan memanfaatkan teknologi informasi bukanlah perkara sulit. Kuncinya hanya pada kemauan. Tanpa political will, tidak akan ada political action.

Selain kurang tersosialisasi, berbagai SOP di bidang kepegawaian di lembaga peradilan juga belum mencakup seluruh layanan yang mestinya diberikan. Jika ingin memberi pelayanan internal yang prima, tidak bisa tidak, berbagai SOP itu harus digenapi. Mana saja layanan yang belum ada prosedurnya harus diidentifikasi lebih dulu.

Kedua, tidak jelas waktunya. Salah satu keluhan yang kerap dilontarkan aparatur peradilan ialah tiadanya batas waktu yang jelas ketika mereka mengajukan permohonan di bidang kepegawaian. Contohnya permohonan cuti, terutama pada saat mendekati Hari Raya dan Tahun Baru. Mereka tidak tahu permohonan itu harus diajukan berapa hari sebelum hari H dan mereka tidak tahu kapan permohonan itu akan diberi jawaban.

Setiap pelayanan harus ada standar waktunya. Jangan sampai pengguna layanan dibiarkan menunggu tanpa kepastian. Dalam rentang waktu tertentu, pengguna layanan di bidang kepegawaian harus mendapat informasi yang pasti, apakah permohonannya dikabulkan, tidak dikabulkan, atau masih dalam proses.

Ketiga, tidak jelasnya aktor pemberi layanan. Pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberian layanan kepegawaian sangat mudah diketahui, karena hanya ada satu Kasubbag Kepegawaian di sana. Tapi tidak demikian halnya di tingkat pusat. Pada unit kerja eselon I, misalnya, selain ada pejabat-pejabat yang melayani urusan kepegawaian internal, ada pula pejabat-pejabat yang melayani urusan kepegawaian eksternal. Mereka pun masih dibagi-bagi lagi, sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.

Di satu sisi, banyaknya aktor pemberi layanan kepegawaian itu tentu sangat positif karena ada pembagian dan pemerataan beban kerja. Namun, di sisi lain, itu membuat para pengguna layanan kebingungan. Para pejabat di bidang kepegawaian itu tidak seperti para pegawai yang memberikan pelayanan di front office sebagaimana petugas Meja I, Meja II dan Meja III di pengadilan yang sudah sangat jelas di mana mereka berada dan layanan apa saja yang dapat mereka berikan.

Seorang aparatur dari pengadilan tingkat pertama, misalnya, tidak tahu dia harus menghubungi siapa ketika hendak mengurus pencairan biaya mutasi. Apakah dia harus menghubungi pejabat eselon IV, pejabat eselon III, pejabat eselon II, atau bahkan pejabat eselon I? Jika harus menghubungi pejabat eselon IV, itupun masih menyisakan problem, karena ada beberapa pejabat eselon IV yang punya tugas dan fungsi yang sama, namun melayani ‘yurisdiksi’ yang berbeda.

Keempat, tidak imbangnya hard skill dan soft skill. Hard skill berupa pengetahuan dan kemampuan mengelola urusan kepegawaian ternyata tidak otomatis berbanding lurus dengan soft skill berupa cara berinteraksi dan berkomunikasi dengan pengguna layanan di bidang kepegawaian.

Ketika menyampaikan informasi mengenai adanya beasiswa untuk aparatur peradilan, misalnya, pejabat di bidang kepegawaian mungkin menggunakan pendekatan yang berbeda-beda kepada orang yang berbeda-beda, tergantung apakah orang yang dihadapinya itu punya jabatan strategis atau tidak dan secara personal akrab atau tidak. Kepada orang tertentu, pejabat itu memberikan pelayanan dengan tanggap, ramah, antusias, bahkan sangat energik. Tapi kepada orang yang lain, sikapnya berubah 180 derajat. Cara-cara diskrimantif seperti itu, di samping merugikan penerima layanan, juga merusak reputasi pemberi layanan—baik secara pribadi maupun lembaga.

Kelima, kurang bagusnya kualitas produk. Muara dari kejelasan persyaratan, prosedur, waktu, pemberi layanan dan bagusnya attitude dalam melayani ialah lahirnya produk layanan yang bermutu. Sayangnya, di bidang kepegawaian di lembaga peradilan, masih kita temukan produk layanan yang tidak sesuai spesifikasi dan tentu saja tidak sesuai espektasi.

Ambil contoh penyusunan dan pemberian Surat Keputusan (SK) yang sifatnya individual dan konkret. Kadang masih ditemukan kesalahan penulisan nama, gelar, NIP, pangkat/golongan, atau jabatan. Entah karena human error atau karena faktor lain, produk kepegawaian seperti itu menjadi kurang bermutu, sehingga merugikan aparatur peradilan yang menjadi penerima layanan. Itu mengindikasikan kurangnya atau bahkan tiadanya quality control.

Jika pelayanan kepegawaian di lembaga peradilan mengidap lima persoalan itu secara kumulatif, alarm perlu dinyalakan. Itu berbahaya. Sebab, sulit mengharapkan sebuah lembaga publik dapat memberikan pelayanan publik secara baik, jika pelayanan internalnya—terutama di bidang kepegawaian—masih belum baik.

***

Setidaknya ada tiga kiat yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepegawaian di lembaga peradilan.

Pertama, selenggarakan survei untuk mengetaui indeks kepuasan pengguna layanan kepegawaian. Survei ini tidak dimaksudkan untuk menilai kinerja pejabat tertentu, tapi untuk mengukur kualitas pelayanan satker.

Agar tidak terkesan main-main, survei ini harus mencakup seluruh layanan kepegawaian yang diberikan, dengan melibatkan responden yang tepat. Jika pemberi layanan adalah Subbag Kepegawaian di pengadilan tingkat pertama, maka responden juga berasal dari pengadilan yang bersangkutan. Jika pemberi layanan adalah Subbag Kepegawaian di pengadilan tingkat banding, maka responden terdiri dari aparatur pada pengadilan tingkat banding yang bersangkutan dan aparatur pengadilan-pengadilan tingkat pertama yang berada di wilayahnya. Begitu seterusnya. Semakin tinggi levelnya, semakin luas cakupan respondennya.  

Dari survei ini, akan diketahui jenis-jenis layanan yang dipersepsi sangat memuaskan, memuaskan, cukup memuaskan, kurang memuaskan dan tidak memuaskan. Tentu saja, layanan-layanan yang sudah baik harus dipertahankan dan layanan-layanan yang kurang baik mesti dibenahi.

Kedua, lakukan evaluasi internal secara berkala dengan menggunakan alat ukur yang objektif dan akurat. Yang perlu dievaluasi, secara garis besar, ada dua: SOP beserta pelaksanaannya dan aktor-aktor pemberi layanan.

Evaluasi terhadap SOP bidang kepegawaian bertujuan untuk mengetahui apakah SOP itu sesuai dengan regulasi yang lebih tinggi dan terbaru atau tidak; apakah SOP itu sesuai dengan kebutuhan atau tidak; apakah SOP itu memungkinkan untuk diterapkan atau tidak; dan apakah selama ini SOP itu dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak.

Sementara itu, evaluasi terhadap pemberi layanan kepegawaian bertujuan untuk mengetahui apakah mereka menjalankan berbagai SOP secara baik dan konsisten atau tidak; apakah mereka kompeten di bidang kepegawaian atau tidak; dan apakah ada malpraktik pelayanan atau tidak.

Ketiga, lakukan perbaikan-perbaikan secara kreatif dan inovatif. Banyak cara yang dapat ditempuh unit kerja pemberi layanan kepegawaian supaya layanannya menjadi ekselen.

Agar para pengguna layanan lebih mengerti tentang persyaratan, prosedur, waktu dan biaya—jika ada—, maka mempublikasikan standar pelayanan bidang kepegawaian adalah mutlak adanya.  Standar pelayanan itu merupakan bentuk yang lebih ringkas dan praktis dari berbagai SOP. Secara manual dan tradisional, publikasi itu dapat memanfaatkan papan pengumuman di ruangan bagian kepegawaian yang dengan mudah dapat dilihat oleh para pengguna layanan. Secara modern, efektif dan efisien, kita dapat mempublikasikannya melalui situs resmi yang kini hampir seluruh satker telah memilikinya. Cara lain yang dapat kita tempuh ialah membuat brosur-brosur, yang selain isinya penting, juga pengemasannya menarik. Brosur-brosur itu bisa menggunakan kertas, bisa pula nirkertas dengan memanfaatkan TV layar datar atau touch screen.

Agar para pengguna layanan tidak tertinggal informasi-informasi terbaru dan penting, perlu ada papan atau space khusus yang memuat informasi seputar peluang beasiswa, pendidikan dan pelatihan, profile asssessment, fit and proper test, pengumuman kelulusan pada suatu seleksi, dan lain-lain. Papan pengumuman jangan hanya berisi jadwal libur dan cuti bersama. Selain membosankan, itu menandakan pelayanan kepegawaian stagnan dan tidak transparan.    

Agar pemberian layanan lebih terbuka dan para pengguna layanan diperlakukan dengan standar yang sama, tidak ada salahnya jika di satker pusat disediakan meja, kursi dan peralatan kerja khusus untuk pemberian layanan kepegawaian yang menyerupai front officer di pengadilan-pengadilan. Di situ ada satu-dua pegawai yang selalu stand by—dengan pembawaan yang tidak angker, sopan, dan cekatan. Dengan begitu, jika ada orang datang untuk keperluan tertentu, ia sudah tahu harus bertemu dengan siapa, di meja mana. Kepada petugas yang ada di sana, penerima layanan itu bisa meminta informasi, berkonsultasi, mengajukan suatu permohonan, mengurus dokumen, dan lain-lain. Tentu, petugas pelayanan tersebut tidak dapat bekerja sendiri dan mengambil keputusan sendiri. Sebagai ujung tombak pelayanan, dia menjadi perpanjangan tangan dan lidah bagi pejabat-pejabat bidang kepegawaian yang berada di back office.

Agar lebih optimal, di meja pelayanan kepegawaian juga perlu disediakan buku tamu, serta kotak saran dan pengaduan. Di era sekarang, perlu pula disediakan alternatif untuk menyampaikan saran dan pengaduan, misalnya melalui SMS dan e-mail.

Jika kita memang berkomitmen penuh untuk melaksanakan reformasi birokrasi secara benar dan konsekwen, sudah sewajarnya jika upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan kepegawaian itu segera kita ejawantahkan di lembaga peradilan—baik di pusat maupun di daerah. Jangan sampai, di saat kita menggebu-gebu ingin meningkatkan kualitas pelayanan publik di pengadilan, pelayanan internal kita malah memprihatinkan.[]

Penulis bekerja di Sub Bagian Dokumentasi dan Informasi Ditjen Badilag. Anggota Sekretariat Tim Pengarah Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Peradilan 2015.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice