MENAKAR HAK-HAK ISTRI MURTAD PASCA PERCERAIAN
Oleh: Erfani Aljan Abdullah[1]
1. PENDAHULUAN
Kenyataan bangsa Indonesia yang berkemajemukan suku, ras, dan agama, menimbulkan konsekuensi sosial terjalinnya hubungan di antara individu masyarakat yang heterogen. Tidak sedikit kasus yang menunjukkan fakta bahwa adanya perpaduan dua agama dalam membangun rumah tangga. Secara ‘formil’ kemudian kerap disiasati dengan syahadat pra nikah, lalu dicatat pernikahan itu di Kantor Urusan Agama. Secara esensial, ada beberapa apologi yang memaklumi fakta perkawinan lintas agama itu. Antara lain, bahwa substansi ajaran agama, mengacu kepada keseragaman bagaimana membangun kehidupan secara harmonis. Selain itu, falsafah hidup manusia dibekali oleh nurani yang fitrah produk ketuhanan, sehingga sejatinya kecenderungan batiniah manusia tetap mengacu kepada Ketuhanan Yang Esa, bukan yang lain. Apologi yang sering disebut sebagai legitimasi pluralitas itu, agaknya tidak memiliki cukup daya untuk mengonstruksi tata hukum keperdataan. Karena harus ada patokan fundamental untuk mengukur jangkuan hubungan hukum keperdataan masyarakat. Indonesia kemudian mantap untuk mengusung agama sebagai pondasi yang “tak kenal kompromi”, termasuk tidak mengakomodir segala bentuk pemakluman falsafi itu.