logo web

Dipublikasikan oleh PA Sungai Penuh pada on . Dilihat: 1690

MEMASTIKAN HUKUM UNTUK KEADILAN:  TELAAH ATAS FILSAFAT FRÉDÉRIC BASTIAT

Oleh: M. Khusnul Khuluq, S.Sy., M.H.

(Hakim Pengadian Agama Sungai Penuh)

Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Pada kesempatan kali ini, Kita akan sedikit mendiskusikan tentang seorang filsuf, ekonom politik liberal klasik. Utamanya filsafat hukumnya. Frédéric Bastiat namanya. Dia adalah ekonom liberal klasik berkebangsaan Prancis. Tokoh utama libertarianisme dan juga motoris Mazhab Austria. Hidup sekitar tahun 1801 hingga 1850.

Beberapa karyanya yang terkenal di antaranya adalah Economic Sophisms, Selected Essays on Political Economy, Economic Harmonies, dan The Law.

Kita akan mendiskusikan filsafat hukum Bastiat dalam bukunya The Law. Sebuah dokumentasi pikiran yang tidak terlalu tebal. Namun syarat akan ajaran filosofis yang sangat penting. Utamanya dalam konteks filsafat hukum.

Kedirian, Kebebasan, dan Hak Milik: Menilik Filsafat Hukum Bastiat

Apa yang diajukan oleh Bastiat dalam bukunya The Law adalah kritik atas hukum dalam tradisi sosialisme. Yang mulai berpengaruh di Prancis waktu itu. Basis teori yang digunakan Bastiat adalah perlindungan atas kedirian, kebebasan, dan hak milik. Ketiga hal ini harus dijamin dari perbudakan, penindasan, dan perapasan. Instrumen untu menjaminnya adalah hukum.

Menurut Bastiat, hukum harus dibangun untuk melindungi ketiga hal tersebut. Karena itu, pemangkasan atas ketiga hal ini akan melahirkan ketidakadilan. Pemerintahan juga akan stabil jika dibangun berdasarkan perlindungan ketiga hal tersebut.

Dalam The Law, dia menuturkan bahwa, "Hukum adalah organisasi hak alamiah pertahanan diri yang sah.  Ia adalah suatu kekuatan bersama pengganti kekuatan-kekuatan individu. Dan, sebagaimana hak individu yang alamiah dan sah, kekuatan bersama ini seharusnya hanya boleh dipakai untuk melindungi kedirian, kebebasan, dan hak milik. Untuk memelihara hak masing-masing individu, dan menjadikan keadilan berdaulat atas kita semua".

Dalam tradisi sosialisme, masyarakat adalah entitas pasif. Hal ini menjadikan pembuat hukum sebagai arsitek sosial. Konsekuensinya, masyarakat akan dibentuk sesuai kehendak pembuat hukum.

Bastiat melihat bahwa institusi pembuatan hukum dalam konteks sosialisme adalah institusi yang sangat rentan karena hanya di isi oleh kelompok tertentu. Selain itu, institusi ini juga menjadi tempat untuk tukar tambah kepentingan. Bahkan setelah disahkan, regulasi yang diproduksi dapat menciptakan kebaikan atau bahkan merusak.

Eksistensi hukum cukup rentan karena sifatnya yang ambivalen. Hukum dapat dipakai untuk memberangus keadilan karena ketamakan. Ketamakan dilakukan untuk hidup makmur dengan mengorbankan orang lain seperti perampasan, penjajahan, perbudakan, dan monopoli. Hal ini lebih mudah dilakukan dari pada bekerja mengolah sumber daya alam.

Soal kebebasan, kebebasan adalah sifat alamiah manusia. Dalam tradisi sosialisme, kebebasan tidak mendapat tempat karena masyarakat adalah entitas yang pasif. Pembatasan, dalam konteks ekonomi justru membuat masyarakat menjadi miskin karena mekanisme tukar tambah dibatasi. Artinya, hubungan antar manusia untuk melakukan tukar tambah akan terhambat.

Dengan demikian, penekanan atas perdagangan bebas justru menimbulkan kemiskinan. Karena itu, kebebasan menurut Bastiat adalah solusi atas relasi antara manusia dalam konteks ini. Sehingga, mekanisme ekonomi dapat berjalan. Pemerintahan, dengan instrumen hukum harus dapat menjamin hal ini. Artinya, hukum harus dibangun untuk melindungi kebebasan ini.

Tentang hak milik. Dengan dalil pemerataan, hasil kerja seseorang dapat dirampas secara legal. Hukum dapat dibuat untuk melegalkan perampasan. Dalam tradisi sosialisme, hal demikian sangat lumrah. Ini yang kemudian disebut oleh Bastiat dengan filantropi yang salah. Disinilah absurditas hukum begitu tampak. Padahal, perampasan legal sebetulnya adalah bentuk pencurian secara masif yang muncul dari arogansi para pembuat hukum.

Perampasan legal dapat menjelma menjadi banyak hal. Seperti, cukai, subsidi, pajak progresif, dan upah minimum. Semua rencana ini sebagai sebuah keseluruhan adalah doktrin sosialisme yang mungkin saja menyusup dalam legislasi setiap negara.

Dalam doktrin sosialisme, hukum harus secara langsung menciptakan kesejahteraan dan memperbaiki kualitas pendidikan. Hal ini memicu munculnya perampasan secara legal tersebut.

Problem lain adalah, bahwa perampasan legal akan mendorong kelompok tertindas. Untuk masuk ke arena pembuatan hukum. Baik secara damai maupun revolusioner. Setelah kelompok terampas mendapat kekuasaan, bisa jadi justru memperparah perampasan. Melebihi pendahulunya.

Bagi Bastiat, hukum bukan untuk menciptakan keadilan, namun untuk mencegah ketidakadilan. Karena keadilan adalah suatu yang undefined. Tidak terdefiniskan. Karena itu, jalannya adalah dengan memberantas ketidakadilan. Jika ketidakadilan berhasil dicegah, secara otomatis keadilan akan terwujud. Untuk melakukan itu, hukum harus diciptakan untuk melindungi kedirian, kebebasan, dan hak milik.

Dengan melindungi kedirian, kebebasan, dan hak milik, negara juga akan relatif bebas dari konflik. Dia menuturkan bahwa, "Seandainya sebuah negeri dibangun atas dasar ini (kedirian, kebebasan, dan hak milik), saya rasa suatu keteraturan di antara manusia akan tercipta, baik dalam pemikiran maupun dalam perbuatan."

Dia melanjutkan, "Tak seorangpun akan berselisih paham dengan pemerintah asalkan kediriannya dihormati, Ia bebas bekerja, dan hasil kerjanya diindungi dari semua ancaman yang tak adil."

Memang, apa yang diajukan oleh Bastiat pada waktu itu menuai resistensi yang cukup keras. Namun tesis Bastiat kemudian menjadi rujukan para libertarianis dan dan juga mazhab austria. Dikemudian hari, Bastiat dikenang sebagai pembuka jembatan perdagangan babas. Selain itu, Bastiat begitu dikenang karena pikirannya telah mencegah Prancis untuk bernasib seperti Uni Soviet.

Refleksi atas Frédéric Bastiat

Memastikan hukum untuk keadilan. Itulah satu kalimat yang menurut saya tepat untuk mengilustrasikan filsafat Bastiat. Hukum adalah instrumen. Tepatnya, hukum adalah salah satu instrumen untuk mewujudkan keadilan.

Hari-hari ini, aroma positivistik begitu kentara dalam kehidupan dewasa ini. Positivistik adalah cara kerja legalis yang sering kali membuat kita tergelincir. Luput dari substansi yang ingin kita hadikan, yaitu keadilan. Artinya, pendekatan positivisitik semata cenderung mengajukan dalil “hukum untuk hukum”. Bukan “hukum untuk manusia”.

Sejak awal, Frédéric Bastiat telah mendeteksi kerancuan semacam ini. Dalam The Law, Bastiat dalam kapasitasnya sebagai ahli ekonomi politik telah memperingatkan Kita. Bahwa hukum pada hakikatnya hanya sebuah instrumen. Bukan tujuan. Tujuannya adalah untuk menghadirkan keadilan. Caranya dengan mencegah ketidakadilan.

Manusia, sebagai pelaku hukum harus sadar bahwa hukum hanya sebuah instrumen. Hukum harus bekerja untuk manusia. Karena itu, dihadapan hukum, manusia adalah tuan. Hukum harus melayani tuan. Bukan sebaliknya, tuan melayani hukum.

Ambivalensi hukum jangan sampai membuat si tuan hukum gagap. Lantaran tidak tau bagaimana menggunakannya. Atau kesalahan dalam menggunakannya. Manusia sebagai tuan dari hukum harus dapat memastikan bahwa hukum melayani tuannya, manusia.

Karena itu, kesadaran seperti ini harus tertanam kuat. Utamanya bagi para politisi yang secara tidak langsung menentukan kehidupan dengan instrumen hukum. Utamanya dalam persoalan sosial ekonomi. Begitu pula para praktisi yang bersentuhan langsung dengan persoalan hukum. Apakah itu hakim atau pengacara. Begitu pula akademisi di bidang hukum, dan seterusnya.

Apa yang dibicarakan serius oleh Bastiat, yakni kedirian, kebebasan, dan hak milik, sebetulnya adalah beberapa sendi yang menurut Bastiat penting untuk dilindungi. Hari-hari ini, dengan munculnya beberapa diskursus penting seperti human right, dan juga environmental ethics, juga adalah sendi-sendi baru yang sepadan dengan apa yang disampaikan Bastiat. Dan sepatutnya hukum harus dibangun untuk melindungi sendi-sendi tersebut.

Hukum harus dibangun untuk melindungi kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat. Dan seterusnya.  Hukum harus melindungi hak atas pendidikan, hak atas kesetaraan di depan hukum, hak atas kesehatan, hak atas ekonomi, hak atas akses terhadap politik, dan hak-hak lainnya.

Begitu juga, hukum harus memastikan, bahwa tingkah laku manusia tidak merusak alam. Hukum harus memastikan bahwa korporasi-korporasi tidak mempersekusi alam. Hukum harus memastikan agar bumi tidak diekstrak. Hukum harus memastikan segala jenis operasi pertambangan berhenti.

Hukum harus memastikan bahwa hukum itu sendiri tidak disalah gunakan. Sebagaimana yang Bastiat sampaikan, ambivalensi hukum sering kali membuat si tuan hukum gagap. Hingga sering kali disalah gunakan untuk melegalkan penindasan. Artinya, hukum harus memastikan bahwa hukum mengabdi untuk manusia. Bukan hukum untuk hukum.

Dan, yang tidak kalah penting yang dapat kita ambil dari Bastiat adalah, bahwa keadilan adalah barang semu. Tapi ketidakadilan adalah barang nyata. Karena itu, harus dipastikan bahwa pekerjaan hukum adalah memberantas ketidakadilan. []

*Artikel ini telah terbit di IB.Times.id pada tanggal 08/04/2020 dengan judul “Frédéric Bastiat, Upaya Memastikan Hukum Untuk Keadilan”. Bisa di akses di https://ibtimes.id/frederic-bastiat-upaya-memastikan-hukum-untuk-keadilan/

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice