logo web

Dipublikasikan oleh Dr. Hj. Lailatul Arofah, M.H. pada on . Dilihat: 15072

KONTRUKSI PEMBUKTIAN DALAM SENGKETA YANG BERAKHIR DENGAN PERDAMAIAN

Oleh : Dr. Hj. Lailatul Arofah, MH.

(Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Samarinda)

I.   Pendahuluan

Tujuan seseorang menyelesaikan sengketa hukum yang timbul dalam kehidupan mereka melalui kekuasaan kehakiman adalah untuk mendapatkan putusan yang adil.

Hakim dalam melaksanakan tugasnya memeriksa dan menyelesaikan suatu perkara akan mengkonstatir perkara tersebut. Dalam mengkonstatir inilah hakim akan mencari apa dan siapa diantara para pihak berperkara yang benar melalui bukti-bukti yang diajukan, dengan kata lain dalam usaha mencari kebenaran guna menjatuhkan putusan yang adil sekaligus memenuhi kepastian hukum, hakim dibantu dengan alat-alat bukti yang harus diajukan oleh para pihak yang berperkara. 1Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Dalam perkara perdata, pembuktian merupakan rangkaian proses persidangan yang harus dilalui setelah proses jawab menjawab dinilai cukup. Pembuktian hanyalah diperlukan dalam suatu perkara di muka pengadilan. Jika tidak ada perkara atau sengketa di mudak pengadilan mengenai hak perdata seseorang, maka pembuktian tersebut tidak perlu dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Akan tetapi pandangan ini patut diperanyakan untuk kehidupan sosial saat ini, karean hamper semua kegiatan ini harus didukung dengan eviden dalam laporan pertanggungjawabannya, sehingga bukti itu hamper menyentuh seluruh aktivitas kehidupan.

Salah satu bagian penting dalam system hukum pembuktian perkara perdata adalah beban pembuktian (bewijstlast / burden of proof), yakni kepada pihak mana dipikulkan beban pembuktian apabila timbul suatu perkara. Keliru memikulkan beban pembuktian dapat menimbulkan kesewenangan terhadap pihak yang dibebani dan member keuntungan gratis kepada pihak yang lain. 2karena itu hakim yang dalam hal ini diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pembagian beban pembuktian perlu memperhatikan dengan seksama prinsip-prinsip dan praktek yang berkenaan dengan penerapannya.

Munir Fuady dalam Buku  “Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata) 3menegaskan bahwa hukum pembuktian harus menentukan dengan tegas kepundak siapa beban pembuktian (burden of Proof, burden of producing evidence) harus diletakkan. Hal ini karena di Pundak siapa beban pembuktian diletakkan oleh hukum, akan menentukan secara langsung bagaimana akhir dari suatu proses hukum di pengadilan, misalnya dalam kasus perdata di mana para pihak sama-sama tidak dapat membuktikan perkaranya. Dengan demikian, jika beban pembuktian diletakkan di pundak Penggugat dan Penggugat tidak dapat membuktikannya, Penggugat akan dianggap kalah perkara meskipun pihak Tergugat belum tentu juga dapat membuktikannya. Sebaliknya jika beban pembuktian diletakkan di pundak Tergugat dan ternyata Tergugat tidak dapat membuktikannya, pihak Tergugatlah yang akan kalah perkara meskipun pihak Penggugat belum tentu dapat membuktikannya. Oleh karena itu dalam menentukan kepundak siapa beban pembuktian harus diletakkan, hukum haruslah cukup hati-hati dan adil dalam penerapannya, disamping itu hakim juga harus cukup arif. 

Sebagai pedoman atau aturan umum mengenai beban pembuktian dalam bidang hukum perdata digariskan dalam pasal 163 H.I.R (pasal 283 R.Bg) yang berbunyi : “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”

Aturan senada juga tertuang dalam pasal 1865 BW/ KUH Perdata yang berbunyi: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”

Inti pokok dari pasal-pasal di atas secara teknis yustisial dapat disimpulkan sebagai berikut:

- Siapa yang mendalilkan suatu hak, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan hak yang didalilkannya, dan

- Siapa yang mengajukan dalil bantahan dalam rangka melumpuhkan hak yang didalilkan pihak lain, kepadanya dipikulkan beban pembuktian untuk membuktikan dalil bantahannya dimaksud.

Inilah pedoman pembebanan pembuktian yang digariskan Undang-undang. Pedoman ini merupakan landasan ketentuan umum (general rule) dalam menerapkan pembagian beban pembuktian. Dengan demikian penerapan pembagian beban pembuktian tersebut diperlukan apabila para pihak yang berperkara saling mempersengketakan dalil gugatan yang diajukan Penggugat. Akan tetapijika para pihak memperoleh kesepakatan atau pihak lain mengakui apa yang disengketakan, pedoman pembagian beban pembuktian sebagaimana tersebut di atas tidak memiliki urgensi dan relevansi lagi karena tidak ada lagi hak atau kepentingan yang perlu dibuktikan.

Secara teoritik, demikianlah ketentuan umum pembuktian, namun ternyata dalam tataran empiric, terutama terhadap sengketa harta seringkali terjadi perdamaian yang di dalamnya terjadi penyelundupan hukum, misalnya pernah terjadi seorang Istri mengajukan gugatan pembagian waris atas harta almarhum suaminya dengan mendudukkan semua anaknya sebagai Tergugat, lalu saat upaya damai mereka bersepakat / berdamai lalu dibuatlah akta perdamaian dan majelis hakim memutus perkara tersebut dengan menghukum kedua belah pihak untuk menaati dan melaksanakan isi perdamaian yang telah dibuat, namun saat dieksekusi ternyata Obyek sengketa sedang dikuasai oleh istri kedua dan anak-anak almarhum. Jadi istri pertama dan anak-anaknya nampaknya hanya berpura-pura bersengketa lalu berdamai agar dapat mengusir istri kedua almarhum bersama anak-anaknya yang kesemuanya tidak diungkap dalam posita gugatan.Pernah juga terjadi Perdamaian yang pada saat dieksekusi, ternyata Obyek sengketa diagunkan oleh pihak lain dan masih banyak lagi kejadian serupa sebagai akibat majelis hakim tidak memberikan beban pembuktian kepada para pihak yang berdamai sesuai teori pembuktian di atas.

II. Rumusan Masalah

Berangkat dari persoalan sebagaimana terurai diatas, penulis ingin mengkaji permasalahan:

1. Apakah urgensi pembebanan pembuktian terhadap perdamaian dalam sengketa harta?

2. Kepada siapakah beban bukti diletakkan, apabila sebuah sengketa harta terjadi perdamaian?

III. Pembahasan

Untuk menjawab dua permasalahan sebagaimana tersebut di atas, penulis mencoba melakukanan lisis dalam uraian berikut

A. URGENSI PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERHADAP PERDAMAIAN DALAM SENGKETA HARTA

Dalam menyelesaikan suatu perkara, pada dasarnya ada dua hal yang penting bagi hakim, yaitu peristiwa yang disengketakan dan hukumnya. Oleh Karena itu yang harus dikemukakan oleh para pihak dalam proses berperkara adalah peristiwanya bukan hukumnya, karena secara ex officio, hukum dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit).Tugas hakim ialah menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi perkara itu benar-benar ada atau tidak. Hubungan hukum inilah yang harus terbukti di muka hakim dan tugas para pihak yang berperkara adalah memberibahan-bahan bukti yang diperlukan oleh hakim. 

Dikaji dari perspektif teoritik, normatif dan praktik, terhadap keseluruhan tahap persidangan perkara perdata, maka pembuktian merupakan tahap spesifik dan menentukan. Dikatakan spesifik oleh karena dalam tahap pembuktian ini para pihak diberi kesempatan untuk menunjukkan kebenaran terhadapf akta-fakta hukum yang menjadi titik pokok sengketa. Sedangkan disebut tahap menentukan oleh karena hakim dalam rangka proses mengadili dan memutus perkara bergantung pada pembuktian para pihak di persidangan.

Dalam perkara perdata, yang wajib membuktikan adalah para pihak, bukan hakim. Hakim yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat bukti atau hakimlah yang memiliki kewenangan membebani para pihak dengan pembuktian.

Malikuladil dalam bukunya “Pembaharuan hukum perdata kita“ mengatakan bahwa hakim yang insyaf akan arti kedudukannya tidak akan lupa bahwa dalam membagi beban pembuktian, diaharus bertindak jujur dan sportif, tidak akan membebankan kepada suatu pihak untuk membuktikanhal yang tidak dapat dibuktikan”, dan penetapan beban pembagian pembuktian ini akhirnya banyak bergantung pada keadaan in-concreto4.

Kekuatan hukum yang melekat pada suatu akta perdamaian (acta van dading) diatur dalam pasal 1858 KUH Perdata dan hal yang sama juga diatur dalam pasal 130 ayat (2) HIR yaitu memiliki kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak tidak dapat dilakukan upaya hukum banding maupun kasasi (vide pasal 130 ayat 3 HIR);

Konstruksi hukum di atas menunjukkan bahwa akta perdamaian memiliki kekuatan ekekutorial secara langsung setelah putusan akta perdamaian dibacakan. Oleh karena itu, jika ternyata ada penyelundupan hukum, maka persoalan tersebut baru terungkap pada saat eksekusi hendak dilaksanakan.

Tujuan dari suatu proses perdata adalah agar yang berkepentingan memperoleh putusan pengadilan yang mengikat para pihak yang bersengketa dan yang dapat dipaksakan realisasinya jika dipandang perlu, maka pembuktian juga mengejar tujuan itu. Ia member dasar-dasarnya bagi pemutusan suatu perkara yang dapat berupa perintah-perintah maupun larangan-larangan. Perintah-perintah itu bertujuan untuk memberikan kepada seseorang, apa yang menjadi haknya. Sedangkan larangan-larangan bertujuan untuk mencegah jatuhnya sesuatu kepada orang yang tidak berhak5.

Uraian di atas menunjukkan betapa pembuktian tetap memiliki urgensi agar putusan pengadilan dapat memenuhi 3 tujuan hukum yakni Kemanfaatan, kepastian dan keadilan. Sebab putusan akta perdamaian akan sia-sia apabila tidak dapat dilaksanakan, apalagi bila ternyata terjadi penyelundupan hukum yang menodai rasa keadilan.

Dengan demikian hakim seharusnya tetap membebani para pihak untuk membuktikan dalil–dalil peristiwa yang menjadi sebab kepemilikan harta serta bukti-bukti atas obyek sengketa yang ada, agar hakim benar-benar yakin bila acta van dading tersebut ternyata tidak dilaksanakan secara sukarela, maka eksekusi pun dapat dilaksanakan tanpa kendala, serta hakim juga dapat meyakini bahwa perdamaian dilaksanakan dengan itikad baik, tanpa ada upaya penyelundupan hukum dari para pihak.

      B. PIHAK YANG DIBEBANI BUKTI DALAM AKTA PERDAMAIAN

Sebagaimna telah diuraikan di atas, bahwa pada dasarnya ketika terjadi perdamaian, maka sengketa telah berakhir. Berdasarkan Pasal 1851-1864 KUH Perdata, Pasal 130 HIR dan Pasal 154 R. Bg kesepakatan perdamaian atau akta perdamaian akan memiliki kekuatan hukum apabila memenuhi beberapa syarat meliputi:

  1.   Kesepakatan/akta perdamaian mengakhiri perkara

Kesepakatan/akta perdamaian harus mengakhiri perkara secara tuntas dan keseluruhan. Tidak adalagi yang disengketakan karena semuanya telah diatur dan dirumuskan penyelesaiannya dalam akta tersebut. Selama masih ada yang belum diselesaikan dalam kesepakatan maka akta perdamaian tersebut mengandung cacat formil.

   2. Kesepaktan/akta perdamaian dibuat dalam bentuk tertulis

Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1851 KUH Perdata dan Pasal 11 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2016 “Persetujuan tidak sah melainkan jika dibuat secara tertulis”. Berdasarkan Pasal tersebut tidak dibenarkan kesepakatan perdamaian yang disampaikan secara lisan.

   3. Pihak yang membuat kesepakatan perjanjian adalah orang yang memiliki kekuasaan

Hal ini didasarkan pada Pasal 1852 “Untuk dapat mengadakan suatu perdamaian, seseorang harus berwenang untuk melepaskanhaknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian itu”. Berdasarkan Pasal tersebut seseorang yang dapat membuat kesepakatan perdamaian adalah orang yang mempunyai kedudukan dan kapasitas sebagai persona standi in judicio.

Selain persyaratan di atas, dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pasal 27 ayat (2), isi perdamaian juga harus dipastikan tidak memuat ketentuan yang : 

a. Berentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan / atau kesusilaan;

b. Merugikan pihak ketiga

c. Tidak dapat dilaksanakan

Sepanjang perdamaian telah memenuhi syarat dan isi perdamaian juga tidak memuat ketentuan dalam rambu-rambu pasal 27 ayat (2) sebagaimana tersebut di atas, maka seharusnya perdamaian tersebut dapat dijadikan landasan untuk menjatuhkan putusan perdamaian atau Akta van dading, namun terhadap perdamaian atas sengketa harta sebagaimana diuraikan di atas, pada tataran empiric menggambarkan perlunya pembuktian, sehingga perlu dirumuskan siapakah yang seharusnya dibebani bukti dalam hal ini.

Pembuktian kali ini bukan untuk membuktikan dalilgugatan Penggugat atau meneguhkan dalil bantahanTergugat, sebagaimana ketentuan beban pembuktian vide pasal163 H.I.R (pasal 283 R. Bg) dan 1865 BW/ KUH Perdata, namun dalam rangka memaksimalkan terwujudnya tujuan hukum secara paripurna yakni penegakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Oleh karena dalam perdamaian ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang atau sering disebut sebagai win-win solution ,maka idealnya para pihak secara bersama-sama dibebani bukti untuk meyakinkan hakim bahwas egala yang diuraikan dalam perdamaian adalah benar, baik mengenai peristiwanya maupun bukti kepemilikannya dipastikan tidak ada rambu-rambu yang dilanggar sebagaimana ketentuan pasal 27 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016. Adapun seandainya ternyata hanya salah satu pihak yang menyerahkan bukti, maka sepanjangsemua yang diuraikan dalam perdamaian dapat dibuktikan, majelis hakim tidak perlu membebani pihak yang lainnya untuk membuktikan. Demikian juga sebaliknya walaupun semua pihak telah menyerahkan bukti, namun masih ada yang belum bisa dibuktikan sehingga majelis hakim belum yakinakan kebenaran uraian dalam akta perdamaian tersebut, maka majelis hakim dapat memerintahkan para pihak untuk melengkapi bukti atau bahkan bisa saja menilai perdamaian para pihak tidak bisa dijadikan sebagai dasar menjatuhkan putusan damai (akta van dading).

IV. KESIMPULAN

Dari uraian pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa terhadap sengketa harta yang berahir dengan perdamaian, maka diperlukan kontruksi pembuktian:

1. Dalam rangka memenuhi Amanah pasal 27 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka hakim harus yakin bawha isi perdamaian yang dibuat oleh para pihak tidak memuat ketentuan yang:

a. Bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan / atau kesusilaan;

b. Merugikan pihak ketiga

c. Tidak dapat dilaksanakan

Keyakinan hakim tersebut membutuhkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak, oleh karena itulah hakim perlu membebankan kepada para pihak untuk menyampaikan bukti-bukti yang diperlukan;

2. Bukti dibebankan kepada para pihak secara bersama-sama sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan;

3. Bukti tidak perlu dipertimbangkan dalam putusan perdamaian, namun cukup sebagai bahan pertimbangan bagi hakim dalam musyawarah sebelum menjatuhkan putusan perdamaian.

Demikian Analisa singkat dan sederhana yang penulis coba tawarkan sebagai solusi atas problema yang sering timbul dalam akta perdamaian / acta van dading, semoga bermanfaat.

1Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (bandung Alumni, 1982)hlm.75-76
2M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika cet keempat tahun Mei 2006, hlm.518
3Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), hlm. 45
4R.Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2010) hlm. 16
5Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, (Mandar Maju, 2005) hlm.3

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice