HUKUM MENGHADIRI PERSIDANGAN DI PENGADILAN VERSI PERADILAN ISLAM[1]
Nurhadi, S.HI., M.H.*
PENDAHULUAN
Sejak adanya manusia, manusia tidak terlepas dari masalah, masalah tersebut ditimbulkan oleh diri sendiri ataupun orang lain, masalah tersebut ada yang menimbulkan akibat atau merugikan orang lain dan ada yang tidak menimbulkan akibat apa-apa, masalah yang menimbulkan akibat atau merugikan orang lain tersebut, ada yang dapat diselsaikan secara kekeluargaan dan ada yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, orang yang dirugikan akan mengadukan permasalahannya kepada orang yang dianggap pintar, mengerti dan paham akan kasus yang dihadapinya atau orang yang disegani di tempat tinggalnya, biasanya dijabat oleh tetua adat atau sesepuh kampung.
[1] Menurut Rifyal Ka’bah sebagaimana dikutip Abdul Manan bahwa syari’at Islam tidak menentukan secara rinci kerangka organisasi al-qadha (peradilan). Ia hanya meletakan kaidah umum, prinsip-prinsip dasar, dan tujuan-tujuan murni peradilan. Masalah tentang pembatasan wewenang, tempat atau waktu, keikutsertaan hakim yang lain di samping hakim utama dan lain-lain diserahkan kepada kebiasaan dan kebutuhan masyarakat, dengan syarat bahwa semua itu harus memenuhi ketentuan hukum Islam. Lihat, Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), Cet. ke-2, hlm. 71.
* Hakim Mahkamah Syar’iyah Sabang, Provinsi Aceh.
Selengkapnya KLIK DISINI