logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 3070

FIQIH AL-DARAR DAN PEMAHAMAN HAKIM PENGADILAN AGAMA 

Oleh: Dr. H. Ahmad Syahrus Sikti, SHI, MH.[1] 

A.    Pendahuluan : Konsep, Hubungan antar Teori dan Alasan.

Maqa>s}id al-shari>‘ah atau yang biasa disebut dengan tujuan hukum Islam memiliki peranan yang sangat penting bagi perkembangan syari‘at Islam pada waktu yang akan datang.[2] Syari‘at Islam secara umum bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umum kepada setiap orang dan menolak kemudaratan (تَحْقِيْقُ الَمصَالِحِ وَ دَفْعُ الضَرَرِ)bagi kehidupan seseorang di Muka bumi.[3]

Ibnu ‘Ashu>r menjelaskan bahwa al-Sha>ri’ (pembuat hukum: Allah dan Rasulnya) dalam menetapkan berbagai hukum, tidak hanya bertujuan memberikan beban kepada umat manusia tetapi lebih bertujuan menciptakan kemaslahatan umat manusia dan menghindarkan dari kemudaratan. Kedua tujuan tersebut (تَحْقِيْقُ الَمصَالِحِ وَ دَفْعُ الضَرَرِ)  berdasarkan prinsip moral.[4]

Dapat disimpulkan bahwa tujuan dasar dari maqa>s}id al-shari>‘ah adalah untuk menggapai satu tujuan yang agung yaitu agar para mukallaf mendapatkan kemudahan dan keringanan ketika beribadah kepada Allah SWT dan terhindar dari segala macam bentuk kemudaratan.[5]   Terkait dengan maqa>s}id al-shari>‘ah dalam mencegah terjadinya kondisi d}arar, maka ajaran agama Islam berupaya untuk menolak terjadinya d}arar terhadap umatnya.[6] Upaya menolak terjadinya d}arar berdasarkan hadits Rasulullah SAW.[7] Adapun makna لاَ ضَرَرَdi dalam hadits tersebut adalah tidak membahayakan terhadap diri sendiri. Sedangkan makna لاَ ضِرَارَ adalah tidak berbuat bahaya terhadap orang lain.[8] Dalam konteks sosial, relevansi hadits ini digunakan untuk mengembangkan berbagai macam penafsiran dalam memberikan fatwa hukum terhadap penyelesaian konflik kepentingan sosial di dunia.[9]


[1] Hakim PA Tanjungpandan-Belitung.

[2] Ibnu ‘Ashu>r mengkonstruksi maqa>s}id al-shari>‘ah dilihat dari sisi egalitasnya dalam ilmu syari‘at dan cara mengaplikasikannya. Ia berpendapat bahwa argumen fikih harus didasarkan pada maqa>s}id al-shari>‘ah yang melatarbelakanginya.

[3] Mohammad Hashim Kamali, “al-Maqa>s}id al-Shari>‘ah: The Objectives of Islamic Law”, Islamic Studies 38, no. 2 (1999), 1.

[4] Prinsip moral sebagai dasar untuk menggapai kebahagiaan dan mencegah kemudaratan harus berpacu dari nilai-nilai agama. Sehingga Andrew F. March mengatakan bahwa pendekatan berbasis maqa>s}id al-shari>‘ah juga harus menjamin kelestarianmoral sebagai tujuan utamanya.

[5] Muh}ammad Sa‘i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>, D{awa>bit} al-Mas}lah}ah (Damshiq: Mu’assasah al-Risa>lah, n.d), 121.

[6] Prinsip menolak terjadinya d}arar  (daf‘u al-d}arar) merupakan salah satu prinsip di dalam hukum Islam. Selain itu masih terdapat prinsip-prinsip hukum Islam yang lain seperti mas}lah}ah (menggapai kebahagiaan), istih}sa>n (kesukaan), ‘urf (kebiasaan) dan takhayyur (pilihan hukum). Lihat di dalam karya Mashood Baderin, “Understanding Islamic Law in Theory and Practice,” the British and Irish Association of Law Librarians (2009): 189. Prinsip-prinsip hukum Islam tersebut saling terkait dalam melakukan proses penemuan hukum. Keterkaitan prinsip tersebut semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan.

[7] Bunyi hadits tersebut adalah لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ sebagaimana diriwayatkan oleh ima>m Ma>lik di dalam al-Muwat}t}a nya dari ‘Umar bin yah}ya al-Ma>zani> dari Bapaknya. Telah berkata al-‘Alla>’i> bahwa hadits tersebut telah mencapai derajat hadits s}ah}i>h} dan berkata pula Abu ‘Umar bin S}ala>h} bahwa hadits tersebut telah disanadkan kepada ima>m al-Da>r Qut}ni> yang telah diterima oleh para ahli ilmu dan dijadikannya hadits tersebut sebagai dalil. Lihat di dalam karya ‘Abd al-Waha>b Ibra>hi>m, Fiqh al-D{aru>rah wa Tat}bi>qa>tuhu al-Mu‘a>s}irah Afa>q wa Ab‘a>d (al-Bank al-Isla>mi> lil-Tanmiyyah,1423 H), 35. Hadits tersebut digunakan oleh para ahli hukum Islam mazhab Ma>liki> untuk melakukan penalaran dalam ijtiha>d tentang hal-hal yang tidak disebutkan secara eksplisit di dalam nash Al-Qur’an dan sunnah.

[8] Ya>sin al-Fada>ni>, Al-Fawa>’id al-Janiyyah: Ha>shiyah al-Mawa>hib al-Sunniyyah Sharh} al-Fawa>’id al-Bahiyyah fi> Naz}m al-Qawa>‘id al-Fiqhiyyah (Beirut: Da>r al-Basha>’ir al-Isla>miyyah, 1996), Jilid 1, 267. Lihat juga di dalam karya Khaleel Mohammed, ”The Islamic Law Maxims,” Islamic Studies 44, no. 2 (2005): 204. Lihat juga di dalam karya Mohammad Hashim Kamali, “Legal Maxims and Other Genres of Literature in Islamic Jurisprudence,” Arab Law Quarterly 20, no. 1 (2006): 85. Larangan berbuat d}arar kepada orang lain telah sesuai dengan ajaran Islam yang sangat memperhatikan akan nilai-nilai moral. Lihat di dalam karya Bernard G. Weiss, The Search For God’s Law: Islamic Jurisprudence in the Writings of Sayf al-Di>n al-Amidi> (Virginia: University of Utah Press, 2010), 3.

[9] Akel I. Kahera and Omar Benmira, “Damages in Islamic Law: Maghribi Muftis and the Built Environment 9TH-15TH Centuries,” Islamic Law and Society 5, no. 2 (1998): 131. 


selengkapnya KLIK DISINI

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice