logo web

Dipublikasikan oleh Fakhir T. Baaj pada on . Dilihat: 6878

Perspektif Perceraian Sebagai Sebuah Solusi dan

Bukan Hanya Gagalnya Sebuah Perkawinan

Oleh: Fakhir Tashin Baaj, SH

CPNS Analis Perkara Peradilan Pengadilan Agama Wonosari

      Perkawinan merupakan lembaga sakral yang harus dijaga dan dihormati. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengamanatkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memberikan pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat dan kokoh atau yang disebut dengan istilah miitsaaqan ghaliizhan.

      Karena sakral dan sucinya hubungan perkawinan ini, maka berbagai cara harus ditempuh untuk menyelamatkan sakralitas dan keutuhannya. Atas dasar itulah pada prinsipnya perceraian dilarang dalam Islam, kecuali berbagai upaya untuk menyelamatkannya itu sudah diupayakan, namun tetap tidak berhasil. Hal ini dapat dilihat dari isyarat Nabi Muhammad SAW dalam hadits “Sesuatu perbuatan yang paling dibenci Allah adalah thalak” (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Al Hakim)

       Namun manusia merupakan makhluk dengan sifat, perilaku dan pemikiran yang dinamis. Sehingga dalam upaya mempertahankan sebuah rumah tanggapun, pasti mengalami pasang surut dikarenakan perubahan pola perilaku maupun pikiran baik dari suami maupun istri. Oleh karena itu, ulama sepakat mengatakan bahwa perceraian merupakan jalan terakhir sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh, manakala bahtera rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya, sifatnya sebagai alternatif terakhir. Islam menunjukkan, sebelum ditempuh jalan terakhir tersebut, tempuhlah usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik melalui “Hakam” (Arbitrator) dari kedua belah pihak maupun melalui tindakan-tindakan tertentu yang bersifat pengajaran.

      Dalam pasal 39 ayat (1) jo Pasal 115 KHI, dikatakan bahwa: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Inti dari Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 115 KHI di atas menyatakan bahwa perceraian baru diizinkan apabila upaya-upaya perdamaian untuk menyatukan suami-istri telah dilakukan, namun tetap tidak berhasil. Untuk mengklarifikasi telah dilaksanakannya upaya tersebut harus dilakukan di depan sidang pengadilan, termasuk pemberian penilaian atas tidak berhasilnya upaya itu.

      Tujuan dari keharusan penyelesaian tersebut harus di Pengadilan Agama, tidak lain agar perceraian tidak dilakukan secara gegabah dan tanpa alasan yang sah, serta mempunyai kekuatan dan mempunyai kepastian hukum yang tetap.

     Hal ini dikuatkan oleh ayat (2) pasal tersebut yang berbunyi: untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tersebut tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.  Adapun alasan-alasan secara yuridis dibolehkan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengajukan perceraian diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan bagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah sebagai berikut:

  1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut, tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Selain alasan-alasan tersebut di atas, Pasal 116 KHI menambahkan 2 (dua) alasan lain yang dapat dijadikan alasan yaitu:

  1. Suami melanggar sighat taklik talak.
  2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

    Jalan terakhir yang ditempuh melalui gugatan atau permohonan perceraian di Pengadilan Agama -untuk orang beragama Islam, seringkali menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa perkawinan yang dibangun telah gagal. Namun apabila dalam hubungan rumah tangga sudah tidak ada lagi jalan keluar, perceraian dapat dikatakan sebagai solusi untuk bekal kehidupan yang lebih baik bagi pihak yang menjalani. Jika dilihat dari alasan-alasan secara yuridis dibolehkan oleh Peraturan Perundang-Undangan untuk mengajukan perceraian sesuai dengan KHI, maka dari semua alasan tersebut merupakan sesuatu yang negatif. Sehingga upaya untuk keluar dari hal negatif tersebut harus diapresiasi sebagai bentuk ikhtiar menuju kebaikan.

     Itulah sebabnya, Allah SWT menyediakan sebuah solusi semacam pintu darurat untuk digunakan dalam kondisi tertentu dan terakhir ketika tidak ada lagi harapan untuk memperbaiki dan meneruskan ikatan perkawinan atau pun setelah melalui tahapan-tahapan perbaikan yang dilakukan sendiri oleh masing-masing suami-istri hingga keluarga yaitu dengan melalui perceraian.

      Pada dasarnya, mempertahankan keutuhan bahtera rumah tangga adalah kewajiban dan tugas dari masing-masing suami istri. Namun, apabila kebahagiaan suami-istri yang merupakan salah satu tujuan sebuah rumah tangga sudah tidak dapat tercapai dikarenakan salah satu alasan tersebut di atas, perceraian dapat dijadikan solusi untuk mendapatkan kebahagiaan itu lagi. Pengadilan Agama sebagai salah satu instansi yang memiliki kewenangan memutus sebuah ikatan perkawinan, harus menjadi pioner dalam perubahan persepsi perceraian di masyarakat.

     Oleh karena itu, dengan perubahan perspektif terhadap sebuah perceraian, diharapkan beban sosial yang ditanggung seorang janda maupun duda karena tekanan sosial di masyarakat terhadap gagalnya rumah tangga mereka berkurang dikarenakan perceraian dianggap sebagai ikhtiar dalam mencari kebaikan. Wallahualam bisshowab.

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice