EVOLUSI HUKUM WARIS ISLAM
sebuah perubahan hukum yang tak berujung
Oleh: Sugiri Permana[1]
A. Pendahuluan
Sudah menjadi keyakinan, bahwa hukum Islam berasal dari wahyu Allah swt sebagi pembuat syari’at Sha>ri’ (Yusuf [12] : 40). Dalam hukum waris misalnya, surat al-Nisa> ayat (13-14) sering kali menjadi rambu-rabu terhadap hukum waris Islam yang berasal dari Allah swt. Lebih jauh lagi, ayat tersebut sering dijadikan alasan untuk menghujat pihak yang berseberangan dengan nilai-nilai hukum waris yang terkandung dalam Al-Qur’an surat al-Nisa> ayat (11-12 dan 176). Dalam penafsiran kontemporer, ternyata surat al-Nisa> ayat (13-14) juga sebagai legalitas terhadap penyimpangan dari al-Nisa> ayat (11-12) dan (176) seperti yang dilakukan oleh Syahrur dengan teori batasnyanya.[2]
Dalam sejarah hukum Islam seringkali dibahas mengenai kedudukan hukum Islam dengan hukum lainnya baik yang berasal syari’at Nabi sebelumnya atau bahkan dari tradisi Arab sebelum Islam. Syar’un man qablana> dalam teori hukum Islam, menjadi bukti bahwa sebagian hukum Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw, diakui sebagai selama tidak bertentangan atau tidak ada nasakh atas hukum tersebut.[3]
[1] Hakim pada Pengadilan Agama Sukabumi
[2]Syahrur menggunakan teori batas untuk melakukan dinamisasi hukum Islam. Dalam pandangannya, hukum Tuhan selalu memberikan batas tertinggi yang tidak boleh dilampoi dan batas terrendah yang dapat dilakukan. Teori batas Sahrur juga diterapkan dalam pembatasan bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan. Dengan memperhatikan QS 4:11, maka batasan anak laki-laki tidak dapat melebihi 66,3 % dan anak perempuan tidak kurang dari 33,3 %, jika anak laki-laki mendapatkan 60 % dan anak perempuan 40 % hal tersebut tidak menyalahi ketentuan hukum. Lihat karya fenomenal Syahrur al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Muashirah, Damaskus: al-Ahalliy li at-Tiba’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi, 1992.
[3]Syar’un man qablana menjadi teori hukum Islam dalam beberapa materi hukum yang dikisahkan oleh Al-Qur’an tetapi tidak dihapuskan atau ditetapkan secara tegas oleh hukum Islam. Seperti praktek qis}as pada masa Nabi Musa atau praktek pemberian hadiah yang dilakukan oleh Nabi Yusuf kepada saudaranya (Al-Qur’an 12:72). Ulama Hanafiyah dan sebagian mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa syari’at tersebut menjadi syari’at bagi umat muslimin, karena tidak mungkin Al-Qur’an menceritakannya tanpa tujuan yang dikehendaki. ‘Abd Wahab Khalaf, ‘Ilm Us}u>l Fiqh (Mesir, Maktabah al-Da’wah aal-Isla>miyyah, 1957), 94.
selengkapnya KLIK DISINI
.