DILEMA DISPENSASI KAWIN PADA KAWIN HAMIL
(Sebuah Tinjauan Dari Dampak Sosial Putusan/Penetapan)
Oleh: Kusnoto, SHI, MH[1]
I. Permasalahan
Kegelisahan akademik penulis untuk mengkaji persoalan dispensasi kawin pada kasus kawin hamil ini terinspirasi dari perdebatan panjang terkait bagaimana sikap terbaik hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili permohonan dispensasi kawin pada kasus kawin hamil yang dimohonkan oleh Pemohon[2]. Dalam ketentuan umum tentang batas umur bagi seorang untuk dapat melangsungkan pernikahan sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dimaksudkan agar calon mempelai telah masak jiwa raganya supaya tujuan perkawinan dapat terwujud secara baik dan tidak berakhir dengan perceraian serta memperoleh keturunan yang sehat[3]. Sedangkan Pasal 15 KHI menegaskan bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yag telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Sedangkan terkait kawin hamil Pasal 53 KHI juga menegaskan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
[1] Penulis adalah Calon Hakim Pengadilan Agama Kudus dan Peserta Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu) Angkatan II MA-RI.
[2] Diskursus ini berawal dari diskusi kelas pada Diklat PPC Terpadu angkatan II MA-RI dalam materi dampak sosial putusan, pemateri Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.H, di kampus Badan Litbang Diklat Hukum dan Teknis Pengadilan MA-RI, tanggal 28 Juni 2013.
[3] Lihat Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
selengkapnya KLIK DISINI
.