BOLEHKAN PENGADILAN MEMBANTU MENYUSUN SURAT GUGATAN?
Oleh: Taufik Rahayu Syam[1]
Pendahuluan
Hari itu jam dinding sebuah Pengadilan Agama menunjukan pukul 10.15 wib, seorang ibu muda datang menghampiri meja informasi sembari mengutarakan niatnya untuk bercerai dengan suaminya yang telah meninggalkannya lebih dari empat tahun, tak lupa dia menanyakan juga bagaimana proses berperkara di Pengadilan Agama, setelah dijelaskan bla bla bla oleh petugas meja informasi, akhirnya ibu muda tersebut memutuskan untuk mendaftarkan gugatan cerai ke Pengadilan Agama, namun dia masih bingung karena untuk mendaftarkan perkaranya dia harus membuat surat gugatan, boro-boro membuat surat gugatan, alat ngetik bernama komputer saja dia belum pernah mengoperasikannya, maklum profesinya hanya sebagai petani gurem, lulusan SMP yang pendapatannya tidak lebih dari delapan ratus ribu rupiah setiap bulannya.
Cerita singkat di atas hanya sebagian realita yang ada di masyarakat khususnya bagi masyarakat awam hukum, bahwa mereka merasa “kesusahan” membuat surat gugatan ketika dia akan mengajukan perkaranya ke Pengadilan.
Surat gugatan merupakan salah satu “pintu gerbang” bagi para pencaari keadilan untuk mengajukan perkaranya ke Pengadilan. Tanpa adanya surat gugatan, dijamin Pengadilan tidak akan menerima pendaftaran tersebut. Oleh karena pentingnya surat gugatan, maka para pencari keadilan harus berhati-hati dalam menyusun surat gugatan, supaya dalam mengajukan perkaranya ke Pengadilan tidak “kalah sebelum berperang”. Maksudnya jangan sampai belum masuk kepada pokok perkara, tapi sudah di NO (Niet Ontvankelijk Verklaard) duluan oleh Majelis Hakim. Hal itu karena surat gugatan tidak dibuat secara cermat sehingga syarat formil surat gugatan tidak terpenuhi.