logo web

on . Dilihat: 17811

SEBUAH KISAH

Oleh: Abdul Manaf

            Dalam sebuah persidangan di Masjid Madinah,[1] hakimnya adalah Khalifah Umar Ibnul Khattab yang terkenal sangat adil dan bijaksanaTerlihat seorang pemuda (terdakwa) yang sedang diadili, duduk tenang dengan kepalanya menunduk. Tidak jauh dari sisinya ada dua orang pemuda, penggugat,  minta keadilan karena ayahnya yang sudah tua, bekerja sebagai tukang kebun, telah dibunuh oleh terdakwa. Persidangan tersebut banyak dihadiri masyarakat. Maklum, sidang itu adalah terbuka untuk umum, alias Jalasatul maftuhah/open court session. Dalam persidangan tersebut, pemuda (penggugat) kepada hakim bercerita,  ayahnya yang membunuh onta milik terdakwa,  karena marah melihat onta itu mondar-mandir dan merusak kebun milik syekh tempat bekerja ayahnya. Dalam kejadian itu, ayahnya minta maaf. Tetapi pemuda itu tidak memberi maaf, bahkan mencekiknya hingga mati.

            Terdakwa di depan sidang itu, kepalanya menunduk, namun mendengarkan semua yang dikatakan oleh pendakwa kepada hakim, Khalifah Umar Ibnul Khattab. Pada saat itu, peristiwa yang sudah lewat beberapa hari, terbayang kembali dalam ingatannya. “Maafkan saya anak muda, saya tak sengaja membunuh onta itu,” kata penjaga kebun sambil menunjuk onta yang sedang tergeletak dijalan, dekat kebun. “Saya tidak sengaja membunuhnya. Saya benar-benar khilaf. Karena itu saya menyesal dan minta maaf,” kata orang tua itu lagi kepadanya.

Ingat apa yang dikatakan penjaga kebun yang dibunuhnya itu, ia menghela napas. “Aakh..., mengapa aku membunuhnya? Padahal orang itu, telah menyatakan penyesalannya dan minta maaf. Sebenarnya bukan dia yang salah, tapi aku sendiri. Mengapa aku ketiduran, onta itu tidak aku ikat? Ini salahku. Seandainya kuikat onta itu, dia tak akan keliaran dan merusak tanaman orang lain, gumamnya.

Hakim, Khalifah Umar Ibnul Khattab  memandang ke arah terdakwa dan pendakwa dengan silih berganti. Setelah itu beliau bertanya: Benarkah apa yang dikatakan penggugat?Benar ya Amiral Mukminin. Saya telah membunuhnya.” Baik pengakuanmu. Itulah seorang Muslim,” ujar Amiral Mukminin. “Yang akuingin tanyakan, mengapa Eengkau mengakuinya, padahal jika Engkau membantah, Engkau bisa. Karena penggugat tidak bisa melihat sendiri kejadian itu.” Saya tidak ingin membantahnya. Sebab, sekalipun saya bisa lolos dari hukuman disini, di akhirat saya tidak akan bisa luput. Saya sangat menyesal telah melakukan perbuatan yang hanya mengikuti hawa nafsu. Kini saya menjadi seorang penghianat Islam. Tidak bisa melaksanakan ajaran Nabi Muhammad saw. yang mengharuskan seorang muslim menjaga dan tidak mengganggu harta benda, nyawa, dan kehormatan orang lain. Maka apapun keputusan Amiral Mukminin, saya menerimanya. Saya rela, sekalipun harus menjalani hukuman mati.”

Masyarakat yang hadir terkejut campur kagum mendengarkan pengakuan terdakwa. Pemuda yang berani mengakui kesalahannya, sekalipun harus menjalani hukuman mati.

Setelah terdiam sejenak dan masyarakat hadirin tenang, Amiral Mukminin memutuskan bahwa berdasarkan uraian dari penggugat dan pengakuan terdakwa, hukuman bagi terdakwa adalah hukuman mati.

Terdakwa tersenyum dan kemudian berujar: “Saya terima putusan hakim. Memang sudah sepantasnya saya mati.

Masjid yang menjadi tempat persidangan itupun menjadi ramai oleh suara masyarakat yang hadir, yang memuji akan kejujuran terdakwa.

Sebelum menjalani hukuman, ya Amiral Mukminin, saya mohon izin pulang kerumah, karena saya masih punya hutang pada tetangga. Hutang haruslah dibayar, sebagaimana Nabi sendiri pernah berkata: “Jika ada hutang yang belum dibayar, supaya ditunaikan sebelum menghadap Tuhan. Begitu juga jika ada yang merasa disakiti.

Keinginanmu akukabulkan. Tapi apa yang menjadi jaminan bahwa engkau akan datang lagi? Adakah orang yang dapat menjadi petaruhmu? Tidak punya.Hanya janji itulah,” jawabnya seraya memandang ke sekeliling. Janji seorang muslim dapat dipercaya,” katanya lebih lanjut.

Benar! Tetapi, peraturan hukum harus dipegang teguh dan hukum tidak dapat menganggap bahwa janji adalah sebagai jaminan.” Pada saat terdakwa itu kebingungan, Abu Dzar al-Ghiffari, Sahabat Nabi, mengangkat tangan dan berkata:  “Ya Amirul Mukminin! Saya bersedia menjadi pengganti pemuda itu selama ia pulang ke rumah.”

Orang yang menyaksikan persidangan itu, terkejut melihat Abu Dzar bersedia menjadi pengganti pemuda itu. Tapi ada juga yang khawatir, bagaimana kalau pemuda itu ingkar janji, maka Abu Dzar tentu akan menjadi korban.

Pemuda itu menarik napas dalam-dalam dan berjalan mendekati Abu Dzar al-Ghiffari dan mengucapkan:Syukron jiddan ya Sayyidi,” katanya. Terima kasih atas kesedian itu.

Pemuda itu lalu pulang untuk menunaikan kewajibannya membayar hutang dan juga menemui ibundanya serta anak istrinya. Sampai batas waktu yang ditetapkan ternyata pemuda itu tidak datang juga. Tanpa kehadiran pemuda itu, Khalifah Umar tetap menjalankan putusannya. Karena pemuda itu tidak hadir, maka Abu Dzar yang menjalani hukuman mati itu, karena dia telah bersedia menjadi penggantinya. Abu Dzar berjalan menuju tiang gantungan, dan eksekutor  telah siap melaksanakan tugasnya. Namun sebelum itu, Abu Dzar meminta waktu untuk sholat terlebih dahulu dan Khalifah Umar pun mengizinkannya.

Pada saat hukuman mati itu akan dilaksanakan dan tali telah dilingkarkan dileher Abu Dzar,  tiba-tiba Khalifah Umar berteriak : INTADZIR! INTADZIR! UNDZUR! “Tunggutunggu!Lihat ke sana, ada seseorang yang datang, mungkin pemuda itu.

Orang-orang yang berkerumun hatinya berdebar-debar dan berharap pemuda itulah yang datang. Sebab, jika tidak, sayang sekali Abu Dzar jadi korban. Sungguh sia-sia pengorbanan jiwanya. Padahal, dia tidak punya stock nyawa lagi.

Apa yang diharapkan kaum muslimin dan Khalifah Umar, benar adanya. Yang datang adalah memang pemuda yang akan menjalani hukuman mati. Dengan kehadirannya itu Khalifah dan kaum muslimin semakin kagum kepada pemuda yang jujur itu.

Sebelum menjalani hukuman, pemuda itu disuruh beristirahat. Dduduklah pemuda itu, Abu Dzar dan Khalifah Umar serta pemuda yang orang tuanya dibunuh, juga masyarakat Muslim.

“Abu Dzar! Apa yang mendorongmu untuk bersedia menjadi jaminan pemuda ini, dengan tidak mengindahkan keselamatan dirimu sendiri?” Wahai Amiral Mukminin,” sahut Abu Dzar, sahabat Nabi. Ketika pemuda ini menengok ke kiri dan ke kanan meminta pertolongan siapa yang bersedia menolongnya, saya merasa kasihan, karena tidak ada yang bersedia. Hati saya menjadi terenyuh dan merasa malu, karena dalam lingkungan muslim, ada orang yang merasa terpencil. Sehingga seolah-olah persaudaraan muslim yang menjadi ajaran Islam itu hanya omong kosong belaka. Padahal ayat dan hadis tentang ini, sore pagi,  siang dan malam dibaca. Nyatanya, dia dalam kesusahan, tidak ada yang bersedia menolong. Nama Islam tidak boleh dicemarkan karena peristiwa itu. Karena itulah saya memberanikan diri menjadi petaruh pemuda itu.

Engkau anak muda, apa yang menyebabkan Engkau kembali untuk menepati janji untuk menjalani hukumanmu? “Ya Amiral Mukminin, bagi saya untuk menepati janji ini tidaklah mudah. Godaan besar sekali, untuk berangkat kesini, saya ditangisi oleh ibu saya, isteri dan anak-anak saya. Ketiga anak saya memeluk kaki saya karena ini merupakan perjalanan yang terakhir dan berpisah untuk selamanya. Sebenarnya, untuk ingkar janji, saya bisa. Sebab, rumah saya jauh dan terpencil, dan sulit dijangkau oleh aparatur hukum. Tapi saya tidak mau. Saya tidak ingin menjadi penghianat Islam. Maka, betapapun besarnya godaan itu, saya berangkat juga ke tempat ini, guna menepati janji sebagai seorang Muslim.”

Orang-orang di masjid itu terharu mendengar cerita anak muda itu, bahkan ada yang meneteskan air matanya. Saat itu suasana dalam masjid benar-benar dirasakan penuh semangat ke-Islaman. Kedua pemuda penggugat yang ayahnya dibunuh itu, kemudian meminta supaya terdakwa dibebaskan dari hukuman mati.

Kami maafkan terdakwa, ya Amiral Mukminin. Setelah mendengar pengakuan dan kejujuran pemuda ini, kami tarik tuntutan kami. Kami maafkan kesalahannya dan kami tidak mau mencemarkan agama Islam untuk menuntut balas kepadanya, sekalipun diperkenankan dalam Islam.

“Allahu Akbar! Teriak hadirin dengan gembira dan senang hati. Tiap-tiap orang yang hadir merasa puas bahwa peristiwa itu berakhir dengan baik.Wallahu A’alam. [bm]


[1]Kisah ini pernah dimuat dalam koran “Pelita” tahun 1985.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice