logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 3356

SANTRI & PAYUNG  *)

Oleh: Abdul Manaf

Pada musim kemarau yang panjang, sebuah dusun dilanda kekeringan. Sawah-sawah menjadi gersang sehingga tidak bisa ditanami. Penduduk dusun juga kesulitan mendapatkan air untuk minum, mandi dan mencuci. Dalam kondisi demikian, seorang kyai mengajak para santrinya untuk menggelar shalat istisqa’ atau shalat minta hujan. “Setelah shalat, kita juga akan membaca al-Quran dan berdo’a bersama,” kata sang kyai kepada para santrinya. Pada hari yang ditentukan, sang kyai dan para santrinya berangkat ke lapangan. Sambil berjalan kaki, sang kyai memperhatikan pakaian dan perlengkapan yang dibawa para santrinya. Ia terkejut ketika melihat seorang santri.

Sama seperti santri-santri lainnya, santri tersebut membawa sajadah dan al-Quran. Bedanya, santri tersebut juga membawa payung, sebagaimana sang kyai. Usai shalat istisqa’, sang kyai menghampiri santri tersebut. “Berbeda dengan santri-santri lainnya, mengapa kamu membawa payung?” Dengan tersenyum, santri tersebut menjawab, “Karena, sebagaimana Pak Kyai, saya yakin hujan akan turun setelah kita shalat istisqa’. “ Dan ternyata sesaat setelah itu hujan benar-benar turun. Hujannya sangat deras. Ketika para santri berlarian untuk mencari tempat berteduh, sang kyai dan santri tersebut cukup membentangkan payungnya dan keduanya pun terhindar dari kemungkinan basah kuyup. Sepenggal kisah itu member kita setidaknya tiga pemahaman.

Pertama, setiap doa harus disertai optimisme. Berdoa tidak sama dengan membaca doa. Jika doa terbatas dimaknai sebagai pengucapan permohonan, maka setelah diucapkan, doa itu akan kabur diterpa angin. Berdoa sejatinya adalah kepasrahan total kita sebagai hamba, yang meyakini bahwa segala kekuatan hanya berasal dan diberikan oleh Allah SWT. Shalat istisqa pada dasarnya adalah doa yang dilakukan dengan syarat dan rukun tertentu. Orang yang optimis akan yakin, setelah shalat istisqa dilakukan, maka hujan akan turun. Dan ketika hujan turun, maka badan akan kebasahan jika tidak dilindungi dengan payung. Jadi, payung itu sesungguhnya adalah simbol optimisme. Para santri yang tidak membawa payung, tanpa mereka sadari, sesungguhnya mereka tergolong orang-orang yang tidak optimis. Di lembaga peradilan, orang- orang yang tidak optimis itu contohnya adalah mereka yang sehari-hari tidak semangat, loyo dan bekerja asal-asalan, padahal mereka sering berdoa agar punya jabatan yang lebih tinggi atau punya wewenang yang lebih besar atau punya penghasilan yang lebih wah.

Kedua, setiap kesuksesan pada dasarnya adalah bertemunya antara persiapan dan momentum, selain karena kehendak Allah SWT. Sang kyai dan santrinya yang membawa payung itu bisa menghindari curahan hujan yang membasahi tubuhnya karena keduanya menyiapkan diri dengan membawa perlengkapan yang tepat pada momen yang pas. Kadang-kadang, kita sudah menyiapkan segala sesuatunya, tapi momentum tidak ada, maka kita tidak akan sukses. Misalnya, ada seorang lulusan Fakultas Syariah yang ingin jadi calon hakim. Dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya, namun ternyata ada kevakuman perekrutan calon hakim selama bertahun-tahun, sehingga Sarjana Syariah itu tidak atau belum bisa jadi hakim. Kadang yang terjadi sebaliknya. Momentum ada, tapi kita tidak siap. Misalnya, Ditjen Badilag memberi kesempatan kepada para hakim untuk mengikuti diklat ekonomi syariah di Riyadh, Arab Saudi. Ada hakim yang ingin ikut, tapi dia tidak siap. Kemampuan bahasa Arab-nya pas-pasan. Butuh waktu bertahun-tahun lagi agar kemampuan bahasa Arab-nya mumpuni. Karena tidak siap, dia pun tidak bisa ikut diklat di Tanah Haram, meskipun momentumnya ada.

Ketiga, setiap perubahan jaman pasti memiliki konsekwensi- konsekwensi, sehingga kita perlu mengantisipasinya. Sang kyai dan seorang santrinya telah berupaya antisipatif dengan membawa payung, ketika cuaca panas berubah menjadi hujan deras, dan upayanya terbukti tidak sia-sia. Beberapa kali saya jumpai, ada aparatur peradilan—terutama yang berstatus pimpinan—yang tidak antisipatif terhadap perubahan. Misalnya, sekarang adalah eranya teknologi informasi. Lembaga peradilan dituntut untuk lebih transparan dan akuntabel. Data dan informasi peradilan semakin mudah dan cepat diakses oleh publik. Saya masih menemukan adanya pimpinan peradilan yang tidak akrab dan kurang mendukung SIADPA, SIMPEG, website dan perangkat-perangkat IT lainnya yang sudah menjadi keniscayaan di peradilan agama. Akibatnya, satker-satker yang dipimpin mereka cenderung tidak inovatif, bahkan tertinggal dari satker-satker lainnya dari segi administrasi peradilan dan pelayanan publik. Saya sendiri, meskipun tidak ahli di bidang IT, berusaha untuk antisipatif dengan perubahan jaman. Sekadar contoh, ke mana-mana saya selalu membawa komputer tablet yang ringan dan mudah dibawa. Dengan benda itu saya bisa melakukan banyak hal, mulai dari membaca informasi terkini, berkirim surat elektronik, memberi arahan dari jarak jauh, hingga membaca al-Quran digital. Jadi, mari kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita sudah membawa payung, sebelum hujan membuat tubuh kita basah kuyup? Apakah kita tergolong orang yang optimistis, siap ketika momentum datang, dan antisipatif terhadap perubahan? []

*) tulisan untuk dimuat di rubrik “Pojok Dirjen” Majalah Peradilan Agama Edisi 6 | Mei 2015

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice