logo web

on . Dilihat: 4788


Isteri Saya, Antara Nyanyi dan Ngaji

 

Cerita ini ditulis dalam rangka memperingati hari Ibu, tanggal 22 Desember 2011, sekaligus saya persembahkan untuk isteri saya yang sangat setia dan selalu mendorong saya dalam bekerja dan berkarir  sejak saya menjadi pegawai negeri tahun 1978

*

Saya bahagia dan bangga mempunyai isteri yang cantik, setia  dan selalu menyenangkan saya dan keluarga. Kami menikah tahun 1979, dan kini telah dikaruniai 6 anak dan 2 cucu. Kehidupan kami sederhana namun kami merasakan kebahagiaan. Alhamdulillah.

Suatu malam, sepuluh tahunan yang lalu, di bulan-bulan awal saya menjadi Direktur Pembinaan Peradilan Agama, isteri saya setengah berteriak, dengan mimik serius, tanpa senyum apalagi ketawa, dia berkata: “Pa, berisik!. Mama lebih senang kalau Papa menjadi Kepala Kanwil dari pada menjadi Direktur Peradilan Agama”.  “Lha, memang kenapa?”, tanya saya.  “Pokoknya lebih baik jadi Kepala Kanwil”, jawabnya dengan nada yang agak kesal.

Ketika itu saya tidak  berhasil mendapatkan jawaban mengapa dia tiba-tiba berkata seperti itu. Sekalipun saya bujuk, dia diam saja. Padahal saya merasa, suasananya sedang  enak, ceria, tidak ada masalah yang sedang diributkan. Dia sedang ngaji di kamar, sementara saya sedang nyanyi-nyanyi di ruang tamu.

“Mungkin karena dia terganggu sedang ngaji, sementara saya enak saja nyanyi-nyanyi”, pikir saya. “Tapi, kok nyebut-nyebut soal jabatan di kantor segala?” Tanya saya dalam hati. Isteri saya sejak dahulu sampai sekarangpun tidak pernah ikut campur soal pekerjaan saya di kantor.

Memang ketika itu saya sedang semangat-semangatnya “berlatih” nyanyi sendiri. Di kamar mandi, di kamar tidur atau di mana saja di dalam rumah, asal sedang tidak ada tamu dan anak-anak.  Malu juga sama anak-anak kalau ketahuan setelah menjadi Direktur Peradilan Agama beberapa bulan, lalu saya berubah jadi sering nyanyi di rumah.

Belakangan ketahuan juga, mengapa isteri saya waktu sedang ngaji tiba-tiba bicara seperti itu dengan nada kesal. Ternyata betul, ada kaitannya dengan “berlatih” nyanyi. Dia kurang senang saya selalu nyanyi-nyanyi di rumah, apalagi waktu dia sedang ngaji.  Lalu apa kaitannya dengan jabatan Kepala Kanwil dan Direktur Peradilan Agama?  Ini dia sekilas kisahnya.

**

Ketika itu saya baru beberapa bulan menjadi Direktur Peradilan Agama. Saya sedang semangat-semangatnya melakukan konsolidasi dan kunjungan-kunjungan ke daerah. Melihat peta lapangan.  Saya kaget juga, baru beberapa bulan jadi Direktur, sudah beberapa kali di daerah ditodong nyanyi di depan orang banyak.

Akhirnya, agar tidak mendapat malu, saya belajar nyanyi sendiri di rumah. Di kantor tidak ada ruangan yang pantas untuk  nyanyi-nyanyi, maklum masih berkantor di Departemen Agama, Jalan Lapangan Banteng. Jadi, kalau nyanyi-nyanyi di ruangan sendiri, jam istirahat misalnya, mesti akan terdengar oleh orang lain, sebab tata ruangnya agak terbuka, tembus suara.  Malu kalau kedengaran orang lain nyanyi-nyanyi sendiri di kantor.

Untuk siap-siap kalau ditodong lagi, saya memilih satu lagu yang kira-kira mudah dihafal dan dinyanyikan. Walaupun suara saya berantakan, pikir saya, asal  nadanya masuk, seirama dengan musik, cukuplah. Saya memilih lagu “Pertemuan” yang dipopulerkan Teti Kadi tahun 60an.  Kalau ditodong, di mana saja, saya nyanyi lagu ‘jadul’ itu.

Repotnya, kalau lagu itu sudah ada yang menyanyikannya, saya mesti kelabakan, sebab lagu yang lain tidak ada yang bisa. Pak Hariri dan Pak Nurhadi, Karo Hukum dan Humas MA-RI waktu itu, sering menyebut “Pertemuan” itu sebagai lagu wajib atau lagu kebangsaan saya.  Pendek kata, untuk tidak “kawiwirangan” (malu di hadapan umum, red), saya belajar nyanyi lagu itu terus menerus di rumah.

Namun dasar suaranya tidak keruan, sekalipun terus menerus berlatih nyanyi sendiri, kalau dipersilahkan naik panggung, tetap saja gemetaran. Tapi ya, lumayan, sedikit “pede”lah.

***

Sementara itu, suatu malam di rumah Menteri Agama, Prof. Dr.KH. Tolhah Hasan, ketika itu. Di hadapan para eselon 1 dalam silaturahmi jamuan makan malam, sekilas saya diberitahu oleh Pak Menteri. “Pak Wahyu, siap-siap jadi Kepala Kanwil Jawa Barat, ya?”, kata beliau tidak begitu serius. “Kanwil Jawa Barat kosong”, kata beliau lagi.

Saya kaget juga. Lalu secara spontan saya menjawab. “Aduh, mohon tidak Pak. Saya kan baru saja menjadi Direktur Peradilan Agama. Belum berbuat apa-apa”, jawab saya.  “Pokoknya siap-siap. Pak Wahyulah yang paling pantas untuk pegang Jawa Barat saat ini”, tambah beliau.

Saya tidak terus diam, saya bicara lagi, “Mohon jangan Pak. Saya tidak cocok untuk Kepala Kanwil. Saya masih senang nyupir sendiri, senang jajan baso di pinggir jalan, senang pakai celana jin dan tidak bisa memimpin do’a Pak”.  Saya bicara kira-kira seperti itu. Pak Menteri keukeuh. Akhirnya saya diam. “Ya Pak, terima kasih”, jawaban akhir saya malam itu.

Saya sangat dekat dan akrab dengan Pak Tolhah. Saya pernah 8 bulan menjadi Sekretaris beliau. Jadi Direkturpun saya diangkat dan dilantik beliau. Selama menjadi Sekretaris beliau,  beberapa kali saya mendampingi beliau melakukan kunjungan ke luar negeri dan banyak kunjungan ke daerah. Saya harus selalu ikut.

Di samping itu, hubungan Menteri dengan Sekretarisnya, saya merasa seperti hubungan Kiayi dan santrinya. Beliau kan kiayi, dan saya pernah lama juga jadi santri. Jadi akrab sekali, nyambung, tapi saya tetap sangat hormat  dan tetap menjaga keprotokolan, terutama kalau di kantor atau pada acara dinas.

Namun demikian, sesaat setelah kejadian malam itu, saya merasa tidak enak juga. Kok menolak permintaan Menteri dengan cara “ngeyel”.  Besoknya, saya datangi Sekretaris Menteri, Pak Abdul Fatah, yang malam itu juga ada di kerumunan para eselon 1 itu. Saya ingin tahu ucapan Pak Menteri itu sebetulnya bagaimana.

Pak Fatah agak kesal juga kepada saya. “Sampeyan, kok menolak permintaan Menteri?”, katanya. “Lho, kesan saya beliau itu kan baru menawari, bukan perintah”, jawab saya. Pak Fatahpun menjelaskan panjang lebar. Intinya, Pak Menteri serius dan sudah mengkomunikasikannya kepada Gubernur. Justru kriteria untuk Kepala Kanwil yang diajukan Gubernur dianggap cocok dengan profil saya, kata Sekretaris Menteri itu.

Wah repot juga, pikir saya. Saya kalau boleh milih, tidak  mau menjadi Kepala Kanwil. Walaupun Kepala Kanwil itu merupakan raja di provinsi, tapi saya lebih merasa ‘sreg’  menjadi Direktur Peradilan Agama di Jakarta.

Dari ruang Sekretaris Menteri saya langsung menemui Irjen, Pak Muchtar Zarkasyi ketika itu. Beliau pernah hampir sepuluh tahun menjadi Direktur Peradilan Agama, tapi pernah juga menjadi Kepala Kanwil Jawa Barat. Saya sangat dekat juga dengan beliau. Beliau juga hadir pada malam di rumah Pak Menteri itu. Saya mohon pandangan beliau tentang apa yang disampaikan Pak Menteri.

“Iya Pak Wahyu, saya lebih setuju Pak Wahyu di sini saja mengurus peradilan agama dari pada pindah ke Jawa Barat. Pak Wahyu kan belum lama dilantik jadi Direktur Peradilan Agama”, kira-kira demikian kata Pak Muchtar. Beliau juga banyak ceritera tentang pengalamannya, baik sebagai Kepala Kanwil Jawa Barat maupun sebagai Direktur Peradilan Agama. Semacam perbandingan.

Saya puas mendapat banyak informasi dari Pak Irjen itu. Kemudian saya juga langsung menghadap Sekjen, Pak Mubarok waktu itu. Saya tahu, beliau juga cukup lama pernah menjadi Kepala Kanwil Jawa Barat. Kembali, saya mohon informasi dan arahannya, sebab beliau juga hadir pada acara makan malam di rumah Pak Menteri itu.

Apa yang disampaikan oleh Pak Mubarok intinya sama dengan apa yang disampaikan oleh Pak Muchtar. Beliau lebih setuju saya tetap di Jakarta. “ Iya, biarlah Kepala Kanwil itu porsinya kawan-kawan di daerah. Sebaiknya tidak didrop dari Jakarta. Kasihan banyak kawan-kawan di daerah yang mengharapkan posisi itu. Tapi ya, mungkin Pak Menteri mempunyai pandangan lain yang lebih baik. Dan itu semua tergantung Pak Menteri”, kira-kira begitu Pak Mubarok menyampaikan kepada saya.

Saya senang juga dengan arahan Pak Sekjen dan Pak Irjen itu. Saya optimis beliau-beliau akan memberi masukan kepada Pak menteri.  Tapi, tidak begitu lama saya berjumpa dengan beberapa pejabat dari Kanwil Jawa Barat, di Operation Room Depag lantai 2. Malah rasanya ada beberapa yang sengaja datang ke ruangan saya di lantai 7.  Mereka mengucapkan selamat kepada saya atas penunjukan saya sebagai calon kuat kepala Kanwil. Bahkan ada yang sudah bicara tentang perkembangan di Jawa Barat selama ini.  Saya hanya senyum saja. “Itu semua terserah Pak Menterilah”, saya menjawab datar.

Walaupun saya bicara seperti itu kepada kawan-kawan dari Kanwil Jawa Barat, dalam hati  saya kaget juga dengan ucapan selamat dari kawan-kawan itu. Lalu saya ingin tahu perkembangannya lebih lanjut. Saya minta informasi lagi dari Sekretaris Menteri, Pak Abdul Fatah. Dia membenarkan bahwa sudah positif saya akan disimpan di Jawa Barat.

Alhamdulillah, pikir saya. Walau merasa berat, tapi sudah ada kepastian. Bagi saya sebetulnya, sejak dulu, jabatan itu adalah amanah, tidak boleh diminta dan tidak boleh ditolak. Namun karena Pak Menteri sepertinya baru menawari, bukan menginstruksi, maka saya pikir, saya masih punya peluang untuk menolak atau berpikir dulu.  Tapi kalau sejak awal sudah instruksi, insya Allah saya akan sami’na wa atho’na, siap untuk menjalankan tugas.

****

Nah, sejak ada kepastian itulah, kebiasaan saya di rumah  berubah banyak. Kalau tadinya berlatih terus untuk menjadi “penyanyi”, sekarang mempersiapkan diri untuk menjadi “kiayi”. Paling tidak agar tidak memalukan ketika memimpin do’a, atau menjadi khatib dan sebagainya.

Saya sibuk mencari dan mengumpulkan teks-teks do’a, baik yang dalam bahasa Arab atau dalam bahasa Indonesia.  Saya  membaca teks-teks do’a Arab atau teks khutbah bagian Arabnya secara nyaring, agar lidah terbiasa lagi. Sebab sudah lama saya tidak pernah memandu do’a di muka umum atau menjadi khatib.

Isteri saya kaget campur senang. Lha kok ada perubahan besar? Ada apa ini? Mungkin begitu pikiran isteri saya. Lalu saya jelaskan secara kronologis apa yang terjadi beberapa hari itu. Isteri saya senang juga dan, seperti biasa, menyerahkan kepada saya. Tidak pernah mempunyai hal-hal yang menjadi ganjalan bagi pekerjaan saya.

Hari-hari berikutnya, saya tawakkal, siap, menunggu dan bekerja seperti biasanya. Eh, tidak begitu lama, saya diinfo bahwa saya tidak jadi menjadi Kepala Kanwil, tidak disebutkan alasannya. Kepala Kanwil baru akan segera dilantik dalam waktu dekat. Ya, Alhamdulillah. Di manapun saya ditugaskan, kalau itu perintah atasan, saya siap melaksanakannya, pikir saya.

Saya  ceriterakan kembali kepada isteri saya. Isteri saya juga sama sikapnya dengan saya. Tapi, kebiasaan saya nyanyi di rumah, kembali dilanjutkan. Sampailah terjadi peristiwa di awal ceritera ini. Isteri marah. Bukan gara-gara saya nyanyi, tapi gara-gara dia sedang ngaji saya nyanyi terus. Dia merasa terganggu. Apalagi dalam keadaan tertentu, ngaji dan nyanyi itu dua hal yang kontras, yang tidak bisa disatukan.

*****

Dalam perkembangan selanjutnya, isteri saya juga menikmati “posisi”nya sebagai isteri seorang Direktur atau Dirjen Badilag. Bukan semata-mata karena jabatan suaminya, namun karena ternyata ngaji, yang menjadi kebiasaan dan kesukaannya tidak terganggu oleh nyanyi-nyanyi.

Ngaji jalan, nyanyi juga jalan. Malah nyanyi itu juga  bisa menjadi ibadah, insya Alloh, sebab dapat menggembirakan orang lain. Asal pakaian, cara dan isinya tidak mengarah kepada yang bukan-bukan. Apalagi kalau nyanyi itu menampilkan nyanyian-nyanyian keagamaan yang membawa pendengarnya ke arah kehidupan keagamaan yang lebih baik.

Malah tahun-tahun belakangan ini, isteri saya lebih menikmati lagi kehidupan keberagamaan di lingkungan peradilan agama dan Mahkamah Agung. Di samping sering latihan nyanyi dan main angklung bersama Dharma Yukti Karini, banyak juga kegiatan pengajian dan bakti sosial, yang nota bene merupakan hal yang diperintahkan oleh agama.

Lebih jauh dari itu, isteri saya sering diminta untuk memimpin do’a dalam berbagai kegiatan Dharma Yukti Karini, seperti dalam Rakernas, Musyda, Arisan, Pemberian Bea Siswa dan kegiatan-kegiatan lainnya. Isteri saya nampak sangat menikmatinya, walaupun yang menyusun teks do’anya adalah suaminya.

Oleh karena itu, kalau sekarang isteri saya ditanya, saya jamin jawabannya akan berbeda dengan ‘pernyataan’nya dulu. Ya, iya lah. (WW)

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice