logo web

on . Dilihat: 4606

“Peradilan Agama, dari Serambi Mesjid ke Serambi Dunia”,

dan
Peran Cate Sumner

*

Kata-kata “Peradilan Agama: dari serambi mesjid ke serambi dunia” adalah kata-kata Asep Nursobah yang disampaikan kepada saya, ketika kami berjumpa pada acara Bimtek SIADPA Plus Modern, di Makassar, akhir Oktober 2011. Sebelumnya, saya memang pernah mengutarakan kepada Asep keinginan untuk membukukan pengalaman atau tulisan saya selama saya jadi Dirjen. “Kira-kira judul bukunya apa ya Sep?”, tanya saya.

Begitu ketemu di Makassar, Asep langsung mengusulkan kalimat seperti di atas. Asep beralasan bahwa peradilan agama dulu dikenal sebagai pengadilan serambi mesjid, sebab banyak tempat sidang pengadilan agama di serambi atau di emper masjid. Sementara sekarang, pengadilan agama sudah jauh lebih maju, bahkan sudah mendunia.

Sebetulnya, saya sendiri merasa bangga, dikaitkannya pengadilan agama dengan mesjid. Mesjid adalah tempat mulia bagi umat Islam, untuk melakukan ibadah dan berbagai kegiatan kemasyarakatan, bahkan pemberdayaan ekonomi umat. Namun  karena penyebutan “pengadilan serambi mesjid” itu ada konotasi negatif, yang menggambarkan kekurang-profesonalan dan keformalan pengadilan agama, apalagi dibandingkan dengan “raad van justice”nya peradilan umum yang demikian mentereng, maka betul juga, kita perlu merubah image masyarakat.

Kitapun perlu menunjukkan kepada masyarakat bahwa pengadilan agama adalah juga pelaku kekuasaan kehakiman yang profesional, independen dan sederajat dengan pengadilan-pengadilan lainnya di Indonesia.

Julukan pengadilan agama sebagai pengadilan serambi mesjid, kini sudah tidak relevan lagi. Pengadilan agama kini tidak ada lagi yang menjalankan tugasnya di emper-emper mesjid. Bahkan Pengadilan agama yang selama ini banyak berlokasi di “jalan tikus” dengan bangunan alakadarnya, kini telah mulai banyak berpindah ke daerah tengahan kota, dengan gedung baru yang megah dan membanggakan.

Penampilan para hakim dan pegawainyapun sudah jauh berubah. Kini, tidak lagi kita lihat hakim atau pegawai pengadilan agama yang berpakaian lusuh dan kotor. Pendidikannyapun tidak hanya pesantren, kini pada umumnya mereka berpendidikan S1 Syari’ah atau Hukum, namun tetap masih banyak yang dibarengi dengan pendidikan pesantren. Atau paling tidak, hakim dan aparat pengadilan agama tetap berkomitmen dengan  tradisi pesantren, yaitu ikhlas, tawadhu dan haus ilmu.  Lebih jauh dari itu, banyak pula dari mereka yang sudah menyelesaikan S2 atau S3nya.

Saya setuju dengan Asep, dan saya yakin, juga dengan seluruh warga peradilan agama, bahwa dalam banyak hal pengadilan agama kini sudah jauh berubah dan maju. Bahkan dalam tingkatan tertentu pengadilan agama sudah “go international”.

Banyak tokoh dan masyarakat internasional, kini, sudah  mengenal pengadilan agama, baik melalui tulisan, buku, seminar, konferensi internasional, kegiatan LSM, atau melalui putusan yang dipublikasikan di www.asianlii.org , mahkamahagung.go.id,  badilag.net, atau website pengadilan agama itu sendiri. Ini semua memperlihatkan bahwa kini peradilan agama telah, sedang dan akan bergerak terus dari “serambi mesjid ke serambi dunia”, menuju pengadilan yang agung, sebagaimana visi Mahkamah Agung yang kita cintai .

**

Cate Sumner adalah salah satu tokoh luar negeri yang sangat menonjol perannya dalam meng-go internasional-kan pengadilan agama. Tokoh-tokoh lain yang ikut berperan, di antaranya, Chief Justice Diana Bryant, Justice Naum Mushin, Richard Forter dan Leisha  dari Family Court of Australia (FCoA), Prof Tim Lindsey dari the University of Melbourne, Prof. Graham Greenleaf dan Dr. Philip Chung dari Asianlii, University of New South Wales, Prof. Mark Cammack dari Southwestern Law School, Los Angeles, Amerika Serikat, Stewart Fenwick dari IALDF (Indonesia-Australia Legal Development Facility), dan Dr. Sebastian Pompe dari Belanda.

Presiden pertama sekaligus pendiri International Accosiation for Court Administration (IACA), Markus Zimmer, dari Amerika Serikat, yang kini bekerja sebagai Principal Justice System Advisors of USA, sudah mulai mengenal dan tertarik dengan peradilan agama. Demikian pula David Anderson, tokoh Change for Justice (C4J) Amerika Serikat, yang bertugas di Jakarta, sudah lama bergaul dengan peradilan agama, walaupun tugasnya tidak berkaitan langsung dengan peradilan agama. Tokoh-tokoh dari World Bank seperti Sonja Litz dan lainnya juga banyak berkomunikasi dengan peradilan agama.

Di antara tokoh-tokoh international itu, Bu Cate  -demikian panggilan saya padanya-  merupakan  salah satu tokoh yang paling akrab dan banyak mengenal peradilan agama. Asep Nursobah yang sejak lama kenal Bu Cate menyebutnya sebagai “duta Badilag di dunia international”, sementara kawan lainnya menyebut Bu Cate sebagai “ ’PR’nya peradlian agama untuk urusan international”.

Bu Cate adalah tokoh LSM berkebangsaan Australia. Ia pernah 20 tahun bekerja pada organisasi internasional di negara-negara Timur Tengah  dan Asia, dalam bidang akses kepada keadilan, hak-hak asasi manusia dan reformasi peradilan. Bu Cate juga lama bekerja sebagai ketua penasihat pada IALDF AUSaid dan Indonesia-Australia Pathership for Justice (IAPJ). Kini Bu Cate bekerja pada C4J (Change for Justice) yang berada di bawah USAid, yang kegiatannya juga banyak berkaitan dengan Mahkamah Agung, khususnya dalam pengembangan peradilan umum.

Bu Cate banyak menulis buku yang memfokuskan pada reformasi peradilan dan akses kepada keadilan bagi perempuan dan orang miskin. Salah satu bukunya, yang ditulis bersama dengan Prof. Tim Lindsey dan  diluncurkan oleh Ketua MA-RI dan Chief Justice Family Court of Australia adalah “Courting Reform”. Buku ini sudah banyak dikupas pada “Pojok” kita Selasa lalu.

Bagi saya, Bu Cate mempunyai kesan tersendiri. Bukan hanya karena tanggal kelahiran kami sama, sehingga kami selalu saling mengucapkan “Happy Birthday to you” pada hari yang sama,  -itu hanya kebetulan saja-, namun lebih jauh dari itu, ada kecocokan dalam berfikir dan bertindak, terutama berkaitan dengan pengembangan peradilan agama.

Bu Cate sangat smart dan lincah. Dia adalah pemikir yang brilian tapi juga sekaligus sebagai pekerja  keras yang tak kenal lelah. Terus terang, saya sangat terbantu dan “terangkat” oleh pemikiran dan langkah-langkah Bu Cate.

Begitu saya diangkat sebagai Dirjen pada tahun 2005, begitu dimulai secara intens kerjasama antara Mahkamah Agung, khususnya lingkungan peradilan agama di bawah kepemimpinan Pak Syamsu saat itu, dengan Family Court of Australia yang difasilitasi oleh IALDF, dengan Bu Cate sebagai Lead Advisernya.

Sudah banyak amal sholeh yang dilakukan Bu Cate yang sangat mengangkat peradilan agama, baik di tingkat nasional maupun internasional. Walaupun fasilitasnya disediakan oleh AUSaid, namun peran Bu Cate sangat menentukan.

Coba kita lihat. Ada berkali-kali seminar, workshop dan pelatihan yang diikuti hakim atau tenaga administratif, baik di Indonesia maupun di Australia sejak 2005 sampai sekarang. Ini sangat membuka wawasan dan menginspirasi peradilan agama untuk lebih maju lagi di masa depan.

Kunjungan timbal balikpun antara peradilan agama dengan Family Court kerap dilakukan. Pengembangan Teknologi Informasi, termasuk pengadaan dan penerapan SMS Gateway, yang sangat membantu sistem pelaporan perkara dan kegiatan prodeo, sidang keliling dan posbakum dilakukan dan banyak dimanfaatkan oleh peradilan agama.

Penyusunan guidelines pelaksanaan bantuan hukum, diawali dengan diskusi-diskusi, studi banding ke pengadilan dan lembaga-lembaga bantuan hukum di Australia, dan diakhiri dengan penyusunan draft SEMA tentang Pedoman Bantuan Hukum, peran Bu Catepun tidak dapat dianggap enteng.

Belum lagi, pelaksanaan survey-survey tentang kepuasan pengguna pengadilan, pengenalan peradilan agama kepada LSM-LSM terkait, di dalam dan luar negeri, dan publikasi putusan melalui www.asianlii.org University of New South Wales, Bu Cate dan kolega-koleganya dari Australia sangatlah berperan.

Demikian pula, publikasi buku-bukunya, baik tulisan sendiri seperti “Provide Justice to Justice Seekers”,  maupun bersama Prof. Tim Lindsey, seperti  buku “Courting Reform”, mengantarkan peradilan agama dikenal lebih luas oleh dunia internasional.

Tidak kalah pentingnya, pengenalan peradilan agama ke dunia internasional melalui International Association for Court Administration (IACA) sangat menguntungkan peradilan agama. Apalagi setelah Richard Foster, Chief Excecutive Officer dari FCoA, yang sangat dekat dengan peradilan agama, tahun lalu diangkat sebagai Elected President of IACA. Bu Cate dan Richard tambah leluasa mempromosikan peradilan agama ke dunia international.

Kaitan dengan itu, saya sendiri telah beberapa kali diminta untuk “mempromosikan” peradilan agama ke dunia internasional melalui Bu Cate dan IACA.  Pada bulan Maret 2009, di kampus the University of Technology of Sydney (UTS) dan kampus the University of New South Wales (UNSW) di Sydney, saya beruntung dapat mempresentasikan makalah “Publication of PTA’s Judgment at Asianlii Website”, dalam “First AsianLII Conference” yang dihadiri oleh sekitar 20 negara Asia Pasifik.

Kemudian pada bulan November 2009, saya bicara tentang “Access to Justice: Badilag Experience” di depan para peserta International Conference of IACA di Istanbul Turki. Lalu bulan Maret 2011 lalu, saya juga diminta mempresentaikan “Justice for the Poor Program: Badilag Experience”, pada Konferensi Regional Asia Pasifik IACA di Bogor.

Dan akhir bulan November 2011 ini saya juga diundang oleh Lowy Institute Australia, penerbit buku ‘Courting Reform’, untuk mempresentasikan “Court Reform, undertaken by Indonesian Religious Courts” dalam suatu seminar khusus antara para ahli hukum dan peradilan Pakistan dan Australia, di Sydney, Australia. Setelah dari Sydney, sayapun diundang Prof. Tim untuk bincang-bincang dengan koleganya di Faculty of Law, the University of Melbourne, tentang reformasi peradilan.   Di Faculty of Law inilah, kawan kita, Achmad Cholil, hakim PA Bekasi dan anggota redaksi Badilag.net, kini sedang ngambil S2 Hukumnya.

Semua ini, kapasitas saya sudah barang tentu, bukan atas nama perorangan, tetapi  mewakili peradilan agama Indonesia. Dan semua itu menguntungkan peradilan agama. Di samping promosi agar “go international”, juga kita bergaul dan belajar dari banyak peserta berbagai negara dalam mengembangkan berbagai aspek penyelenggaraan peradilan.  Peran Bu Cate sangatlah besar.

***

Mungkin banyak lagi amal sholeh Bu Cate lainnya berkaitan dengan pengembangan peradilan agama, yang tidak sempat dikemukakan di sini. Kita bersyukur punya tokoh seperti Bu Cate dan kolega-koleganya yang begitu peduli terhadap peradilan agama. Kita patut berterima kasih dan apresiasi kepada Bu Cate dan kolega-kolaganya.

Namun bersamaan dengan itu, muncul suatu pertanyaan, apakah kita dapat memanfaatkan hubungan dan gaul internasional yang sudah terbina baik selama ini, untuk kepentingan peradilan agama dan dunia peradilan lainnya di Indonesia?

Kuncinya tergantung pada diri kita sendiri. Sejauh mana kita mau dan mampu memanfaatkan kesempatan berinteraksi internasional ini. Sebesar apa komitmen kita agar peradilan agama sukses menuju serambi dunia. Kini, globalisasi dalam bidang apapun tidak bisa ditawar-tawar lagi. Mampukah kita?

Saya yakin, kita pasti bisa. Hanya memang, perlu waktu dan proses. Kesabaran, keuletan, semangat dan komitmen kita bersama dalam hal ini sangat diperlukan. Wallohu ‘alam. (WW).

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice