Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 2234

Hasbi Hasan Mengupas Dinamika Ekonomi Syariah dan Peradilan Agama Kontemporer

Jakarta l Badilag.mahkamahagung.go.id

Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Ditjen Badilag Dr. H. Hasbi Hasan, M.H. mengupas dinamika ekonomi syariah dan peradilan agama kontemporer ketika menjadi salah satu narasumber dalam Workshop Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah melalui Pengadilan Agama di Purwokerto, Rabu (12/4/2017). Ia hadir bersama hakim agung Kamar Agama Dr. H. Edi Riadi, S.H., M.H.

Menurut alumnus ponpes modern Gontor itu, perkembangan ekonomi syariah di Indonesia terbagi menjadi tiga fase. “Yaitu fase pengenalan, pemantapan dan pemurnian,” ujarnya.

Fase pengenalan dimulai tahun 1992 hingga 2007, dengan tonggak sejarah berupa lahirnya UU 7/1992 tentang Perbankan dan berdirinya Bank Muamalat. Fokusnya memperkenalkan dan menarik minat masyarakat terhadap muamalat. Karakteristiknya terutama menekankan anti-riba, untuk membedakannya dengan bank konvensional. Para pelaku muamalat masih minim. Selain itu, produk dan asetnya masih terbatas.  Pada fase ini, istilah yang dipakai adalah prinsip bagi hasil. Istilah ekonomi syariah belum digunakan.

Fase pemantapan berlangsung mulai 2008 hingga sekarang. Tonggaknya ialah lahirnya UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah, UU 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional, dan pelbagai regulasinya. Pembentukan Direktorat Perbankan Syariah BI termasuk jadi salah satu tonggak dimulainya fase ini. Karakteristik perkembangan ekonomi syariah pada fase ini, selain menekankan anti-riba, juga mengembangkan produk-produk baru yang tidak bertentangan dengan syar’i. Fokusnya bukan saja menarik minat masyarakat, tapi juga membuat bisnis syariah dapat lebih menguntungkan. Pada fase ini, pelaku ekonomi syariah makin banyak. Produk dan aset yang dimiliki bank dan lembaga keuangan syariah juga terus berkembang, meskipun masih jauh dibandingkan dengan ekonomi bank dan lembaga keuangan konvensional.

“Setelah dua fase tersebut, kita akan memasuki fase pemurnian atau purifikasi,” kata Hasbi Hasan. Kapan waktunya belum dapat diketahui dengan presisi. Yang jelas, fase ini salah satunya ditandai dengan pemurnian akad-akad syariah agar terlepas dari kesan bahwa akad syariah sekadar akad konvensional yang dimodifikasi.

Mengenai akad syariah, Hasbi Hasan mengatakan bahwa ada sejumlah perbedaan mendasar antara akad syariah lama dan akad syariah kontemporer. Dulu, acuannya hanya al-Quran, hadis dan kitab-kitab fiqh. Sudut pandangnya hanya halal vs haram. Ragam akadnya terbatas. Karakteristiknya, pihak-pihaknya hanya person dengan person, cakupan bisnisnya masih tradisional seperti mudharabah dan musyarakah, akadnya hanya tunggal, dan jika terjadi sengketa diselesaikan secara musyawarah saja.

“Sekarang sudah sangat berbeda,” kata Hasbi Hasan. Ia merinci, yang jadi acuan bukan cuma al-Quran, hadis dan kitab-kitab fiqh, tapi juga fatwa-fatwa MUI dan berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan. Sudut pandangnya bukan saja halal vs haram, tapi juga menguntungkan vs merugikan. Saat ini akad syariah lebih variatif. Ada berbagai modifikasi akad. Pada umumnya, yang diterapkan adalah akad kombinasi atau akad murakkab atau multiple contracts. Pihak-pihaknya bukan saja person dengan person, namun juga badan hukum dengan badan hukum. Cakupan bisnisnya pun sudah modern, misalnya asuransi syariah dan obligasi syariah, selain tetap mempertahankan mudharabah, musyarakah dan murabahah yang sudah jadi praktik khas ekonomi syariah di negeri ini.

Hasbi Hasan mengemukakan salah satu contoh akad syariah yang paling kontemporer. “Namanya Islamic Hedging atau Al-Tahawwuth Al-Islami,” ungkapnya.  Ini adalah transaksi perlindungan nilai tukar berdasarkan prinsip syariah. Perikatannya ada dua, yaitu wa'd li al-sharf atau janji untuk melakukan transaksi pertukaran mata uang dan akad al-sharf atau transaksi pertukaran mata uang.


Mulanya muncul kontra dari kalangan tertentu, karena menganggap transaksi ini sangat spekulatif yang bertentangan dengan prinsip syariah. DSN MUI, melalui fatwa bernomor 02/DSN-MUI/XII/2015, kemudian menegaskan bahwa hedging dibolehkan dalam Islam, dengan syarat-syarat tertentu. Tujuannya tidak lain untuk memenuhi kebutuhan nyata (al-hajah al-massah) dalam bisnis syariah.

Sebagaimana ekonomi syariah, peradilan agama pun berdinamika. Hasbi Hasan memaparkan, ada beberapa tonggak sejarah kewenangan peradilan agama di bidang ekonomi syariah. Dua di antaranya adalah lahirnya UU 3/2006 tentang Perubahan UU 7/1989 tentang Peradilan Agama dan adanya Putusan MK dalam perkara Nomor 93/PUU-X/2012, yang menyatakan sengketa di bidang perbankan syariah menjadi kewenangan mutlak peradilan agama.

Baik dari segi hukum materiil maupun hukum formil, penyelesaian sengketa ekonomi syariah sudah cukup memadai. Hukum materiilnya berupa UU Perbankan Syariah, UU SBSN, KHES, Peraturan BI, Peraturan OJK dan lain-lain, termasuk fatwa-fatwa DSN MUI yang dapat digunakan sebagai law in abstracto atau sumber hukum positif. Sementara itu, hukum formilnya, selain HIR dan Rbg, juga Perma 14/2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.


Perkembangan lainnya, berdasarkan Perma 5/2016, hakim-hakim yang menangani perkara ekonomi syariah harus bersertifikat. “Saat ini ada 118 hakim peradilan agama yang bersertifikat. Sebentara lagi, ratusan lainnya juga akan mengikuti sertifikasi,” kata Hasbi Hasan.

Selama satu dasawarsa sejak peradilan agama memiliki kewenangan mengadili perkara ekonomi syariah, jumlah perkara ekonomi syariah terus bertambah. Jika tahun 2006 jumlahnya hanya dalam hitungan jari, tahun 2016 kemarin jumlahnya lebih dari 200 perkara.

Tidak semua perkara ekonomi syariah merupakan perkara yang kompleks atau nominalnya besar. Ada juga perkara-perkara sederhana yang nominalnya kecil. Karena itu, sebagaimana diatur dalam Perma 14/2016, sekarang penyelesaian perkara ekonomi syariah dapat ditempuh dengan dua acara (prosedur), yaitu acara biasa dan acara sederhana.

“Diselesaikan dengan acara sederhana jika nilai gugatan materiilnya tidak sampai Rp200 juta,” Hasbi Hasan menegaskan. Waktu penyelesaiannya jadi lebih cepat, tidak sampai tiga bulan. Hakim yang mengadili adalah hakim tunggal, bukan majelis hakim.

Hasbi Hasan menambahkan, selain mengatur tentang prosedur penyelesaian perkara ekonomi syariah, Perma 14/2016 juga mempertegas kewenangan peradilan agama, yaitu dalam hal pelaksanaan putusan perkara ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah, serta pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya.


Dalam kesempatan ini, Ketua OJK Purwokerto,  Farid Faletehan, mengharapkan adanya pemahaman yang sama antara penegak hukum di peradilan agama dan pelaku ekonomi syariah. “Kami juga berharap kegiatan ini dapat memberi kontribusi yang baik bagi cepatnya penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, yang selama ini dikesankan lama dan berbelit-belit,” ujarnya

Dengan adanya kepastian hukum dalam penegakan hukum di bidang ekonomi syariah, ia yakin market share perbankan syariah semakin luas, sehingga pertumbuhan sektor usaha, baik mikro maupun usaha besar, semakin meningkat.

Acara ini diselenggarakan PA se-eks Karesidenan Banyumas bekerjasama dengan Asbisindo DPW Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen) dan PTA Jawa Tengah, serta didukung sepenuhnya oleh OJK Purwokerto.

Berlangsung selama dua hari, workshop dibuka Ketua PTA Jawa Tengah Drs. H. Mansur Nasir, S.H., M.H., dipandu Ketua PA Purbalingga, H. Hasanuddin,  SH., MH. dan diikuti para Ketua beserta hakim PA se-Jawa Tengah, jajaran direksi perbankan syariah, notaris, akademisi, serta pelaku bisnis syariah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bangka Belitung.

[hermansyah]