Dipublikasikan oleh Ridwan Anwar pada on . Dilihat: 2866

 

Keramik Dibanting Tidak Pecah *)

Oleh: Abdul Manaf

Nasihat adalah upaya memperbaiki keadaan yang kurang baik. Dengan nasihat sesuatu yang kurang baik menjadi baik, sesuatu yang sudah baik tetap baik atau menjadi lebih baik lagi. Nasihat bagi jiwa seperti gizi makanan bagi tubuh jasmani.

Menyampaikan nasihat itu tidak semudah melaksanakannya. Dalam ilmu jurnalistik kita mengenal 4 W (What, Who, When, dan Where) dan 1 H (How). Kiranya rumus itu berlaku juga dalam hal nasihat menasihati. Apa isi nasihat yang mau disampaikan? Siapa yang akan menyampaikan nasihat, atau juga siapa yang akan menerima nasihat? Kapan waktu menyampaikannya serta dimana situasi yang tepat menyampaikannya? Semuanya sangat menentukan efektifitas sebuat nasihat.

Tidak kalah penting dari semuanya itu adalah bagaimana cara menyampaikannya. Alih-alih mau menasihati supaya menjadi baik, tapi justeru hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Fatal akibatnya. Yang dinasihati merasa tersinggung dan melakukan tindakan yang merusak.

Dalam seni berorganisasi diperlukan kepiawaian dalam hal nasihat menasihati. Membiarkan orang lain dalam keadaan yang tidak baik, apakah dia atasan, bawahan atau setingkat dengan kita, adalah tindakan yang kurang bijaksana. Bahkan, ada yang mengatakan itu adalah termasuk syetan bisu. Syetan dapat menjerumuskan seseorang dengan tipu dayanya. Syetan yang bisu justeru menjerumuskan orang dengan pembiarannya.

Teman yang baik adalah teman yang apa adanya, bukan teman yang suka mengada-ada, alias suka memuji-muji saja. Seni nasihat-menasihati adalah dengan cara tidak menyakiti dan menghinakan, tetapi dengan cara mendekati dan memuliakan.

Alkisah, ada seorang sufi pada jaman dahulu hendak mencari pekerjaan di pasar. Dia bertemu dengan penjual keramik dan bersedia bekerja memikul keramik untuk mendapatkan upah.

“Saya akan berikan upah tiga buah nasihat kalau kamu mau?” kata penjual keramik. “Uang bisa saya cari, tapi nasihat yang baik lebih berharga daripada uang, saya setuju kalau begitu,” jawab sang sufi.

Penjual keramik berjalan menaiki seekor keledai, sementara sang sufi memikul keramik berjalan kaki. “Nasihat yang pertama, jangan pernah percaya kalau ada orang yang mengatakan bahwa lebih baik lapar daripada kenyang,” kata penjual. “Itu nasihat yang baik,” kata sufi.

Selang beberapa waktu berjalan, “Nasihat kedua, jangan pernah percaya kalau ada orang yang mengatakan bahwa lebih baik berjalan kaki daripada naik kendaraan,” kata penjual. “Itu nasihat yang baik, “ kata sufi.

Keduanya melanjutkan perjalanan. Selang beberapa lama, “Nasihat ketiga, jangan pernah percaya kalau ada orang yang mengatakan bahwa ada orang bekerja yang lebih bodoh daripada kamu,” kata penjual keramik.

Seketika, sang sufi menyadari bahwa ketiga nasihat itu telah membongkar kebodohannya di hadapan orang kaya yang menindas.

Nasihat yang disampaikan dengan cara menghina tersebut, ternyata berakibat fatal bagi penjual keramik.

Sekonyong-konyong, sang sufi menjatuhkan seluruh keramik yang sedang dipikulnya sambil berkata: “Wahai penjual keramik, jangan pernah kamu percaya kalau ada orang yang mengatakan bahwa barang-barang keramik yang saya jatuhkan ini tidak ada yang pecah.” [bm]

*) tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Pojok Dirjen” Majalah Peradilan Agama Edisi 10| Des 2016 dengan perubahan judul.