logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 10380

 


Dua penulis buku biografi saya, Muslim Bakhtiar dan Edi Hudiata (ketiga dan kedua dari kiri), bersama YM Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial dan istri.

Hermansyah memang jago menulis. Berita-berita yang ditulisnya enak dibaca, mengalir dan tidak membosankan. Pantaslah kalau tulisan Hermansyah di Badilag.net selalu meledak, banyak diminati pembaca dan bahkan selalu menarik para pemberi komentar. Maklum, karena Hermansyah adalah wartawan tulen mantan repoter suatu media-online ternama di Jakarta yang hijrah menjadi wartawan Badilag.net.

Salah satu berita yang saya baca adalah berita paling akhir yang disimpan di frontpage, mengenai peluncuran buku “Wahyu Widiana: Bekerja Tiada Henti Membangun Peradilan Agama” yang dilakukan oleh Pak Kamil, pada acara Silaturahim Peringatan 130 Tahun Peradilan Agama.

Buku yang ditulis oleh Muslim Bakhtiar, Wakil Ketua PA Kotobaru dan Edi Hudiata, Hakim PA Marabahan, cukup tebal, hampir 500 halaman. Gaya tulisannya sederhana dan enak dibaca. Semula saya tidak mengizinkan penulisan buku khusus tentang saya itu. Tapi beberapa kolega, termasuk KPTA, menyarankan saya agar mengizinkannya. Memang, kedua penulis ini ulet dan kreatif.

Buku yang bertutur tentang biografi dan langkah-langkah saya ini dilengkapi pula oleh bagian khusus yang diberi judul “Catatan Teman dan Sahabat”. Lebih dari 20 teman dan kolega saya oleh penulis dimintai kontribusi tulisannya atau diwawancaranya. Kolega itu cukup beragam. Sejak KPTA, KPA, hakim, pejabat struktural, staf sampai supir yang sehari-hari membawa sayapun ada di situ. Demikian pula, tokoh-tokoh LSM seperti PEKKA, PSW,  Asia Foundation dan tokoh pegiat jender lainnya memberi tulisannya.

Tokoh-tokoh dari luar negeri yang memberi kontribusi, nampak ada Dr.Cate Sumner (Peneliti Australia), Prof Tim Lindsey (Guru Besar Law School Univiversity of Mebourne), Stewart Fenwick (Federal Magistrates Court, Australia), Prof Mark Cammack (Guru Besar Southwestern Law School, Los Angeles), Dr. Markus Zimmer (Ketua Penasehat Asosiasi Administrasi Peradilan Sedunia, Amerika Serikat), Nicola Colbran (Direktur AIPJ, Australia), Sonja Litz (Direktur Justice for the Poor Program, World Bank), Dr. Sholeh (LIPIA, Saudi Arabia),  Dr. Abderrahman (Wakil Ketua MA Sudan), dan Mr. Ibrahim Busro (Dubes Sudan untuk Indonesia).

**

Soal substansi yang ada pada buku itu, saya tidak komentar, sebab itu hak intelektual para penulis. Yang membuat saya senang adalah sisi lain dari penulisan buku itu, di luar substansi.

Di akhir masa bakti saya, saya merasakan begitu besarnya perhatian kawan-kawan dan kolega kepada saya, baik dari Badilag atau dari luar Badilag. Mereka yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri itu memberikan apresiasi yang tulus kepada saya. Mereka banyak yang datang pada saat acara peringatan 130 tahun peradilan agama dan peluncuran buku itu. Mereka banyak yang memberikan ucapan selamat, apresiasi dan do’a kepada saya, maupun secara langsung, melalui sms, email atau komentar di jejaring sosial dan Badilag.net.

Kawan-kawan di World Bank lain lagi. Mereka menyelenggarakan peringatan 130 tahun peradilan agama dan memberikan apresiasi khusus terhadap saya di Sultan Hotel, kawasan Senayan. Acara yang digelar bersamaan dengan peringatan 10 tahun program Justice for the Poor (J4P) World Bank ini diselenggarakan hari Rabu, 19 September 2012, dihadiri sekitar 150 orang para pegiat perempuan, tokoh dan kader J4P, instansi terkait, LSM dan perwakilan lembaga donor. Dalam acara itu, buku biografi saya juga dilaunching dan dibagikan kepada para peserta oleh World Bank. Bukan main. Acaranyapun sangat apresiatif.

Pertemanan dan persahabatan yang tulus. Barang kali istilah itulah yang cocok, yang mempunyai nilai tak terhingga, makna  yang dalam dan membuat orang bahagia. Terima kasih kawan-kawan. Terima kasih yang tulus juga saya sampaikan kepada para pimpinan Mahkamah Agung, para hakim agung, para senior dan sesepuh peradilan agama yang banyak memberikan keteladanan.

***

Walaupun saya tidak ingin mengomentari substansi buku biografi saya itu, namun saya ingin memberi apresiasi sekaligus “koreksi” terhadap buku itu. Hermansyah dalam berita Badilag.net itu menyebutkan saya melakukan sedikit “protes” atas buku itu.

“Protes” atau “koreksi” saya itu paling tidak ada 2 (dua) hal. Pertama, terhadap prasa pertama dalam judul buku, yaitu “Wahyu Widiana: Bekerja Tiada Henti …”.  Sebetulnya yang bekerja tiada henti itu bukanlah saya tapi bapak-bapak pimpinan kita, termasuk para hakim agung,  kawan-kawan di Badilag dan kawan-kawan di peradilan agama seluruh Indonesia.

Buktinya? Coba kita lihat. Siapa yang tiada henti memperjuangkan eksistensi dan kewenangan peradilan agama, melakukan pengkaderan dan memonitor serta memberi arahan dan bimbingan agar aparat peradilan agama selalu “on the right track”, tidak macam-macam? Itu pasti para pimpinan kita, baik dulu di Departemen Agama, maupun kini di Mahkamah Agung.

Lalu, siapa yang tiada henti memperjuangkan hukum materil & hukum formil peradilan agama? Siapa yang tiada henti mengembangkan dan meningkatkan kemampuan skill aparat peradilan agama di bidang kedua hukum diatas dan pola Bindalmin? Kita-kita mengetahuinya, itu pasti para pimpinan, hakim-hakim agung dan tokoh-tokoh peradilan agama lainnya.

Kemudian, secara tehnis, siapa yang tiada henti memperjuangkan anggaran dan sarana prasarana peradilan agama? Itu sudah barang tentu kawan-kawan di Biro Perencanaan, Biro Perlengkapan dan Biro-biro lainnya di BUA, atas  arahan sekretaris pimpinan Mahkamah Agung. Kawan-kawan di Setditjen dan para Pansek MSA dan PTA se Indonesia juga sangat berperan dalam hal ini.

Kawan-kawan di Direktorat-direktorat di lingkungan Badilag, dengan dipimpin para Direkturnya, tiada henti mengembangkan dan memasyarakatkan penggunaan SIADPA, SIMPEG, program justice for the poor, program pemberkasan, program peningkatan kualitas tenaga tehnis, Ekonomi Syari’ah dan Hisab Rukyat. Mereka membangun dan mengembangkan Laboratorium SIADPA Plus dan SIMPEG untuk kepentingan pelayanan yang lebih baik.

Di lingkungan Sekretariat Ditjen, dengan dipimpin Sekditjen, kawan-kawan itu tiada henti, tanpa mengenal waktu, mengembangkan pemanfaatan teknologi informasi, situs web, dan  membangun Galeri 130 tahun peradilan agama.

Kawan-kawan di seluruh Indonesia, dengan pimpinan KMS/KPA dan KMSA/KPTAnya masing-masing, serentak tiada henti melaksanakan program-program prioritas Reformasi Birokrasi dan Pembaruan Peradilan yang merupakan program unggulan Mahkamah Agung.

Kader-kader dan pegiat tekonologi informasi dari lingkungan peradilan agama seluruh Indonesia ‘heboh’ tiada henti menggaungkan dan mengembangkan aplikasi-aplikasi dan produk TI. Mereka tergabung dalam berbagai komunitas masing-masing. Ada forum pembaca Badilag.net, ada agan-aganwati lasykar SIADPA, ada lasykar Rencong Aceh, Rumah Gadang, Kongkow-kongkow, komunitas SIMPEG, dan lain-lain.

Karena kekompakan dan kesadaran kawan-kawan di seluruh Indonesia, peradilan agama banyak mendapat apresiasi, baik dari dalam maupun luar negeri.

Demikian pula, kawan-kawan yang berkiprah di kepaniteraan, Badan Pengawasan, Badan Urusan Administrasi dan Badan Litbang & Diklat Kumdil, tiada henti melaksanakan kewajibannya sesuai tupoksinya masing-masing. Keseriusan, prestasi dan integritas semuanya mengharumkan nama baik peradilan agama.

Jadi? Saya, yang dipercaya untuk menjadi Dirjen pertama Badilag ini, sebetulnya hanyalah diuntungkan saja oleh kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas para pimpinan dan kawan-kawan seluruh Indonesia.  Jadi, sekali lagi, yang bekerja tiada henti itu adalah kita semua, warga peradilan agama, sejak dahulu sampai sekarang.

****

Kedua, yang saya “protes” itu adalah prasa kedua pada judul buku,  yaitu “Wahyu Widiana: …., Membangun Peradilan Agama”. Sebetulnya ini juga terbalik. Bukannya saya yang membangun peradilan agama, tetapi justru Peradilan Agamalah yang membangun dan membentuk pribadi saya.

Saya mulai bekerja pada PA Jakarta Utara tahun 1978 sampai 1982. Lalu pindah ke Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, pindah tugas lagi beberapa kali sampai akhirnya menjadi Dirjen Badilag 2005 sampai 2012.

Selama 34 tahun saya bekerja sebagai PNS, hampir seluruhnya dihabiskan di lingkungan peradilan agama, yaitu sejak 1978 sampai 2012. Hanya sejak 1995-2000, saya sempat mampir bekerja di Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Sekretariat Jenderal Depag dan Staf Ahli Menteri Agama.

Selama bekerja itulah, saya banyak belajardari para tokoh, hakim dan kawan-kawan peradilan agama. Selama itu pula saya belajar sejarah para tokoh dan sejarah peradilan agama itu sendiri. Sadar tidak sadar, pribadi saya banyak dipengaruhi oleh perjalanan hidup selama bekerja, terutama ketika berada di lingkungan peradilan agama.

Sifat-sifat para ulama yang menjadi tokoh peradilan agama tempo dulu (dan juga sekarang), seperti ikhlas, qonaah, amanah, tawadhu’, santun, ramah, rendah hati, tegas, berani, percaya diri dan sifat-sifat positif  lainnya sangat mempengaruhi aparat peradilan agama, termasuk saya sendiri. Hanya, sejauh mana kita bisa menginternalisasikan sifat-sifat tersebut dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, tergantung diri kita masing-masing. Adakah niat dan upaya kita agar sifat-sifat itu kita miliki dan kita praktekkan? Lagi-lagi, tergantung kita masing-masing.

Oleh karena itu, siapapun termasuk diri saya sendiri yang bekerja lama pada suatu lingkungan, pasti akan terpengaruh oleh lingkungan tersebut. Bukankah “al insanu ibnul bi’ah”, manusia itu adalah anaknya suatu lingkungan?

Saya telah berupaya untuk menginternalisasikan dan menerapkan sifat-sifat ulama itu. Tapi nampaknya masih jauh api dari panggang. Oleh karena itu, apapun yang terjadi dengan diri kita masing-masing, pasti ada peran dari lingkungan itu sendiri.

Jadi, kalau ada sifat-sifat saya yang dianggap positif, maka itu pasti peran lingkungan kerja di  peradilan agama sangat signifikan mempengaruhinya. Sebaliknya, sifat-sifat negatif saya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, itu karena saya tidak mampu menginternalisasikan sifat-sifat ulama itu, dan semuanya karena kelemahan dan kesalahan saya sendiri. Untuk itu saya mohon maaf kepada semuanya, dan mohon ampunan dari Alloh SWT.

*****

Tulisan ini sama sekali tidak saya maksudkan untuk mematahkan apa yang telah ditulis Pak Muslim dan Pak Edi sebagai penulis buku biografi saya. Justru tulisan ini untuk mengapresiasi para penulis buku dan menghormati kreativitas intelektual kedua penulis itu.

Saya yakin, kedua penulis mempunyai tujuan mulia dengan menulis buku biografi saya. Saya berdo’a semoga tujuan mulia itu dapat tercapai.

Saya hanya ingin menekankan bahwa selama 5 tahun sebagai Direktur Pembinan Peradilan Agama di Departemen Agama dan selama 7 tahun sebagai Dirjen Badilag di Mahkamah Agung, sekiranya ada capaian-capaian yang dapat dibanggakan, itu semua karena pertolongan Alloh atas upaya kita bersama, keluarga besar peradilan agama, didukung para pimpinan Mahkamah Agung, tokoh-tokoh, pegiat LSM dan instansi terkait.

Sebaliknya, sekiranya jika ada capaian-capaian yang kurang optimal atau bahkan kemunduran, itu semua karena kekurangan dan kelemahan saya sendiri. Saya yakin kekurang-optimalan dari capaian itu masih sangat banyak.

Semoga Alloh SWT senantiasa memberikan taufiq dan hidayahNya kepada orang-orang yang selalu ikhlas dalam berupaya melakukan perubahan menuju keadaan yang lebih baik. Amin. (WW)

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice