logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 17353

Tata Ruang Pengadilan dan Filsafatnya

*

Kamis dan Jumat, 9-10 Februari 2012, saya baru saja meresmikan operasionalisasi gedung PA Sumber dan PA Kabupaten Tasikmalaya, secara berturut-turut, di lokasi masing-masing. Saya senang sekali melihat gedung yang sangat berbeda dengan gedung lamanya.  Gedung baru nampak lebih gagah dan lebih pantas sebagai gedung pengadilan masa kini.

Saya puas, bukan hanya karena kualitas dan penampilan dua gedung PA itu yang sangat bagus, tapi juga karena tata ruangnya yang sudah sesuai dengan kaidah-kaidah pelayanan publik  yang selama ini kita gembar-gemborkan. Bahkan, filsafat tata ruang pengadilan yang konon sudah ada sejak lama, dalam tata ruang kedua PA ini tetap terpelihara.

Saya jadi ingat kepada Pak H. Muhammad Saleh, mantan Kepala Biro Perlengkapan Mahkamah  Agung yang pernah banyak berceritera kepada saya tentang tata ruang pengadilan dan filsafatnya.

**

Pak Saleh--begitu panggilan akrab saya kepadanya--memang orang yang paling banyak makan asam garam dalam administrasi peradilan. Beliau tahu banyak tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan pengadilan, termasuk pengurusan SDM dan sarana prasarananya. Maklum, beliau adalah orang lama di Departemen Kehakiman dulu dan selalu terlibat dengan urusan fasilitas pengadilan.

Sejak jauh sebelum pelaksanaan satu atap sistem peradilan, Pak Saleh telah banyak membantu peradilan agama, antara lain tentang pengurusan penyesuaian tunjangan-tunjangan tenaga tehnis pengadilan. Oleh karena itu, begitu sama-sama masuk Mahkamah Agung, kita sudah tidak asing lagi. Kordinasi dengan Pak Saleh semakin lancar.

Ketika berjumpa dengan saya secara kebetulan di lokasi pembangunan gedung PA Jakarta Selatan sekitar 2-3 tahun lalu, Pak Saleh berdiskusi dengan saya dan berceritera mengapa tata ruang pengadilan dirancang seperti pada standar tata ruang di Pengadilan Negeri. “Pengadilan itu harus terbuka untuk publik”, katanya.

Jadi, begitu para tamu atau yang berperkara masuk melalui pintu depan, mereka langsung melihat atau  mengarah ke pintu ruang sidang utama. Ruang sidang utama ini berada di tengah gedung atau lokasi dari gedung pengadilan. Di kiri kanannya adalah ruang-ruang pelayanan dan ruang sidang lainnya. Filsafat tata ruang seperti ini  adalah “keterbukaan”.

Hal lain yang masih saya ingat adalah tentang menghormati tamu. Pak Saleh mengatakan bahwa pengadilan harus menghormati tamu, siapun dia. Tamu harus diperlakukan sama, baik ia merupakan para pihak yang berperkara, atau tamu lainnya. Untuk  menghormati para tamu, pengadilan harus mempersilahkan mereka masuk melalui pintu depan.

Di antara filosofis-filosofis tentang gedung pengadilan yang diceriterakan Pak Saleh, dua hal itulah yang sangat saya ingat sampai sekarang: keterbukaan dan penghormatan terhadap tamu.  Memang benar, pengadilan itu harus  transparan dan memperhatikan kebutuhan tamu, seperti keadilan, keamanan, kenyamanan, kebersihan, keindahan, kemudahan serta kehormatan tamu.

***

Dalam perkembangan pengaturan tata ruang, saya mempunyai pendapat sendiri, walaupun tetap berpegang kepada nilai-nilai filosofis, seperti yang diceriterakan Pak Saleh.  Saya melihat bahwa perlu ada wilayah-wilayah steril di gedung pengadilan yang tidak bisa dijangkau oleh pihak yang berperkara. Bahkan lebih dari itu, kalau mungkin, pintu masuk para hakim dan aparat pengadilan lainnya harus  belainan dengan pintu masuk yang berperkara.

Saya berpendapat, keterbukaan pengadilan harus diartikan keterbukaan dari segi proses pengadilan dan transparansi informasi tentang penyelenggaraan pengadilan.

Keterbukaan fisik gedung mutlak diperlukan dalam akses publik ke ruang sidang yang sifatnya terbuka untuk umum dan ruang-ruang pelayanan. Adapun ke ruang-ruang tertentu, seperti ruang hakim dan ruang pejabat struktural dan staf, para pihak tidak harus dengan bebas dapat menjangkaunya.  Keterbukaan pengadilan tidak berarti publik harus bisa masuk ke semua sudut ruang pengadilan.

Demikian pula tentang penghormatan kepada tamu. Saya berpendapat bahwa para tamu yang berperkara tidak harus masuk gedung pengadilan melalui pintu utama depan. Dapat saja kita atur, pintu depan adalah untuk para hakim, aparat pengadilan lainnya dan para tamu selain yang berperkara, sementara para pihak berperkara dapat menggunakan pintu lain, melalui samping atau belakang.

Pengaturan pembedaan pintu akses itu bukan berarti diskriminasi negatif kepada para pihak yang berperkara. Ini dilakukan semata untuk menjaga keamanan dan kenyamanan semua pihak, termasuk para hakim dan aparat pengadilan.

Akses para pihak ke gedung pengadilan tidak melalui pintu depan, melainkan melalui pintu samping atau belakang,  jangan diartikan tidak melakukan penghormatan kepada tamu. Melalui pintu samping atau belakang yang ditata sedemikian rupa sehingga terlihat bersih, indah, mudah, aman dan nyaman, juga tidak mengurangi penghormatan kepada tamu yang berperkara.

Banyaknya tamu yang berperkara yang kerap didampingi beberapa orang keluarga, termasuk anak-anak, yang seringkali tumpah melimpah ke luar gedung, akan lebih baik jika ditempatkan di bagian belakang gedung. Sehingga nampak PA tidak kumuh dengan jubelan orang-orang yang diimijkan akan bercerai.

Selama ini, gedung pengadilan agama sering dimijkan sebagai “gedung cerai”. Sering kali jubelan pihak yang berperkara dengan keluarga dan anak-anaknya melimpah ruah di luar, depan gedung pengadilan, sehingga sangat mudah terlihat oleh publik. Keadaan seperti ini menambah “jelek”nya imij peradilan agama.  Memang, sering kali pula hal itu tidak bisa dihindari, sebab gedung dan area pengadilan agama sangat kecil dan sempit.

Tentang pintu masuk tamu tidak melalui pintu depan, kini banyak contoh. Gedung-gedung kementerian atau intansi pemerintah lainnya, bahkan  Mahkamah Agung sendiri sudah lama memberlakukan pintu masuk tamu tidak melalui pintu depan.

Pendapat saya seperti itu saya gaungkan ke mana-mana. Akibatnya, banyak kawan-kawan daerah jika akan melakukan renovasi atau pembangunan gedung PA/MS baru, tata ruangnya berpegang kepada pendapat saya, berbeda dengan Badan Urusan Administrasi (BUA) yang masih berpegang pada ketentuan tata ruang lama, yang masih berlaku ketika itu.

Oleh karena yang berwenang dalam menyetujui  gambar bangunan itu adalah BUA, maka sering kali terjadi perdebatan antara PTA sebagai pengaju permohonan persetujuan gambar dengan BUA sebagai pihak yang mempunyai otoritas bangunan.  Kawan-kawan pihak PTA sering mengatakan “ini keinginan Pak Dirjen”. Saya pernah diceriterakan oleh Kepala BUA tentang ini.

Pihak BUA bijaksana. Karena selalu terjadi perdebatan seperti itu, akhirnya pihak BUA mengadakan rapat khusus tentang tata ruang, yang dihadiri para Dirjen dan Kepala BUA dengan para Kepala Bironya.  Pertemuan khusus, yang diadalakan sekitar 2 tahun lalu di Novotel Bogor, itu juga dihadiri Sekretaris Mahkamah Agung dan Tuada Pembinaan. Dari pihak luar, hadir pula perencana bangunan yang biasa terlibat dalam pembangunan di lingkungan Mahkamah Agung.

Saya senang. Saya bisa menjelaskan pendapat saya selama ini yang dianggap berbeda dengan ketentuan yang ada. Dan alhamdulillah semua sepakat, mendukung kaidah-kaidah tata ruang PA seperti yang sering saya gaungkan ke mana-mana.  Maka jadilah, perencanaan gambar bangunan PA sekarang  seperti yang telah dilaksanakan di PA Sumber dan PA Tasikmalaya.

****

Sebagai pihak yang tidak berwenang dalam mengelola perencanaan pembangunan, Dirjen hanyalah menyarankan tata ruang yang sesuai kebutuhan. Apa yang saya kemukakan dan disetujui hanyalah tentang prinsip-prinsip tata ruang sesuai kebutuhan dan idealnya suatu pelayanan.  Adapun penentuan gambar secara detail, apalagi masalah-masalah tehnis, seperti bentuk, jenis, warna  atau kualitas material, tetap menjadi kewenangan BUA. Dirjen tidak mempunyai kewenangan tentang itu.

Prinsip-prinsip tata ruang yang secara signifikan berbeda dengan tata ruang sebelumnya adalah tentang perlunya pemisahan pintu masuk bagi para pihak dengan pintu masuk bagi hakim dan aparat, adanya ruang “one stop service”  dan adanya ruang-ruang di PA yang steril dari para pihak.

Adapun prinsip-prinsip lainnya sama seperti dulu. Prinsip-prinsip yang dimaksud antara lain prinsip efektif, efisien, bersih, sehat, indah, aman dan nyaman.

Tujuan dari prinsip-prinsip baru itu agar pelayanan dapat dilakukan lebih baik.  Komunikasi dan interaksi antara yang berperkara dengan aparat juga dapat dibatasi secara proporsional, dan mudah dikontrol.

Jadi, dengan tata ruang baru yang sekarang disepakati, aparat pengadilan tidak dapat sembarangan bertemu dan berkomunikasi dengan para pihak.  Komunikasi dan interaksi antara para pihak dengan aparat hanyalah dilakukan semata-mata untuk kepentingan pelayanan.

Aparat yang tidak berwenang tidak boleh melakukan komunikasi dan interaksi yang tidak proporsional dengan para pihak.  Komunikasi dan interaksi yang dilakukan oleh aparat yang berwenangpun hanya dapat dilakukan di dalam gedung, pada jam-jam kerja dan semata-mata berkaitan dengan pelayanan.

Komunikasi dan interaksi itu tidak boleh dilakukan di luar gedung dan di luar jam kerja. Oleh karena itu, semua aparat dilarang untuk memberikan alamat tempat tinggal dan nomor tilpon serta e-mail pribadi kepada para pihak.

*****

Kalau begitu, nampaknya perlu pula filsafat atau prinsip tata ruang gedung pengadilan ini ditambah satu lagi, yaitu prinsip “komunikasi dan interaksi yang proporsional”. Tujuan akhirnya adalah memberikan pelayanan yang prima dan menghindari adanya “deal-deal” antara aparat dengan pencari keadilan, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan itu sendiri.

Jika seluruh aparat pengadilan, terutama para pimpinannya, bertekad untuk menerapkan prinsip-prinsip dan fislsafat pengaturan gedung dan tata ruang pengadilan secara konsisten, dalam melaksanakan pelayanan kepada pencari keadilan, saya yakin keadilan yang didambakan oleh semua pihak akan tercapai dengan baik.

Keterbukaan proses pengadilan, pelayanan tamu, komunikasi dan interaksi yang proporsional harus menjadi tekad kuat seluruh jajaran peradilan agama untuk melaksanakannya. Filsafat dan tujuan pengaturan tata ruang pengadilan akan tak berarti, jika para penghuni pengadilan itu sendiri  tidak peduli. Lagi-lagi, peran para pimpinan sangat menentukan dalam keberhasilan semua ini. (WW).

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice