logo web

on . Dilihat: 6499

 

Ke Kantor Naik Kereta Api dan Ojek

 

Ketika Badilag masih berkantor di Pegangsaan Barat, Menteng, jika sopir saya berhalangan masuk kantor, saya seringkali ke kantor naik Kereta Api (KA) dan Ojek speda motor. Demikian pula pulangnya.  Sedangkan setelah pindah kantor ke gedung baru di Jalan Ahmad Yani beberapa bulan ini, saya belum pernah lagi naik KA dan ojek, soalnya sopir saya belum pernah absen masuk kantor.

Biasanya, kalau sopir setia saya, H.Dadang Syarif, biasa dipanggil Cile, berhalangan masuk kantor, saya tidak nyopir sendiri atau memanggil sopir kantor lainnya yang rumahnya sangat jauh dari rumah saya. Saya biasanya naik KA.

Dari rumah, saya menuju Stasion Sudimara, diantar anak saya menggunakan mobil atau sepeda motor, sekitar 10 menit. Kalau anak saya tidak ada, saya naik Ojek. Dari Sudimara ke Manggarai lewat Tanah Abang menggunakan KA, antara 30 sampai 40 menit. Sedangkan dari Manggarai ke kantor, saya menggunakan lagi Ojek sekitar 5 menit.

Saya menikmati naik KA dan Ojek itu, sebab banyak keuntungan yang saya peroleh jika dibandingkan dengan naik Bis atau Taksi. Pertama, dengan naik KA dan Ojek, waktu yang diperlukan sangat singkat. Kurang dari 1 jam sudah sampai kantor. Sementara kalau pakai Bis atau Taksi bisa 2 sampai 2 ½ jam.  Alasan hemat waktu itulah alasan yang paling pokok mengapa saya memilih naik KA dan Ojek.

Kedua, keamanan dan kenyamanan naik KA relatif lebih baik dibandingkan dengan naik Bis, apalagi dibandingkan dengan nyopir sendiri.  Naik Bis, pasti berdesak-desakan, kurang aman dan sama sekali tidak nyaman, sehingga kalau dipaksakanpun, pastilah merusak muru’ah, “masa seorang Dirjen naik Bis berdesak-desakan”.  Nyopir sendiri?  Minta ampun. Bagi yang tidak biasa, nyopir 2 atau 2 ½ jam dalam suasana macet dan semrautnya kendaraan terutama para pengendara motor yang saling salip, akan membuat pikiran stress. Tapi kalau naik KA Eksekutif, bisa duduk, tidak berdesakan, berAC sejuk dan perjalanan cepat karena selama perjalanan ke Tanah Abang hanya berhenti satu kali di Stasion Palmerah. Semua ini membuat fikiran tenang.

Alasan lainnya, untuk variasi, tidak monoton naik mobil dinas terus. Dengan naik KA, anda bisa melihat kehidupan yang macam-macam, baik di dalam KA itu sendiri, di stasion  atau di sepanjang perjalanan.

Di kiri-kanan jalan KA sejak Kebayoran Baru, Tanah Abang sampai Manggarai penuh dengan kehidupan masyarakat kota yang kurang beruntung dari segi ekonomis. Perkampungan sangat padat, dengan rumah-rumah sangat memprihatinkan, bahkan kehidupan yang sangat menyentuh hati, nampak jelas dari KA yang saya tumpangi. Semua ini menjadikan kita lebih bersyukur dan lebih berbagi. Mestinya.

Jadi, saya betul-betul menikmati perjalanan ke  kantor dengan menggunakan KA dan Ojek, yang jauh berlawanan jika saya menyopir sendiri. Bahkan saya telah menjadikan naik KA dan Ojek sebagai suatu kebiasaan, jika  Cile, sopir saya,  berhalangan masuk kantor.

***

Tapi, nampaknya kebiasaan yang saya nikmati itu banyak orang yang menganggap aneh, mempertanyakannya bahkan melarangnya. Melihat komentar-komentar seperti itu, sayapun khawatir apa yang saya lakukan merusak muru’ah kantor. Saya tanya beberapa kawan dekat di kantor. Mereka pada umumnya menganggap tidak apa-apa. Hanya ada yang menyarankan agar dari Stasion Manggarai ke kantor jangan menggunakan Ojek karena mereka merasa tidak enak dengan para tamu. Saran itu saya ikuti, untuk menghormat pemberi saran. Akhirnya saya menggunakan taksi, walau harus lebih lama sedikit dibandingkan naik Ojek.

Fitri, karyawati Badilag, ceritera kepada saya bahwa dia menceriterakan kepada kakaknya tentang kebiasaan saya naik KA kalau ke kantor. Sang kakak menceriterakannya lagi kepada kawan—kawan sekantornya.  Orang-orang kantor itu semula tidak percaya. “Masa ada Dirjen ke kantor naik KA?”, kata Fitri menirukan kawan-kawan sekantor kakaknya.  Namun, katanya,  setelah diyakinkan, merekapun mempercayainya. Saya tidak tahu apa komentar mereka setelah yakin ada seorang Dirjen naik KA ke kantornya.

Komentar kawan-kawan dari Badan Pengawas Mahkamah Agung lain lagi. Suatu ketika, ada tim dari Bawas yang akan mengaudit Badilag. Dalam ngobrol-ngobrol dengan staf Sekretariat ketika mereka datang pertama kali ke Badilag, mungkin ada yang memberitahu mereka bahwa saya sering naik KA ke kantor.

Dalam kesempatan tim Bawas ini melapor kepada saya bahwa mereka akan mengaudit Badilag, mereka sempat mempertanyakan kebiasaan saya itu. “Saya dengar, kalau ke kantor Pak Dirjen sering naik kereta api. Apa iya Pak?”, tanya salah seorang dari mereka kepada saya. Lalu saya iyakan. “Memang kenapa?’, tanya saya datar. “Sebaiknya Pak Dirjen tidak menggunakan Kereta Api. Kurang sesuai dengan kedudukan Bapak”, jawabnya lagi. “Lha, wong saya menyenanginya. Kereta itu berAC, tidak berdesakan, saya duduk dan hanya sekitar 40 menit di jalannya. Padahal kalau pakai mobil sendiri, macet, membuat stress dan lama. Bisa sampai 2 ½ jam”, kata saya meyakinkan mereka. “Maksud saya, khawatir keamanan Bapak kalau naik KA”, katanya lagi. Saya jawab, insya Allah aman. Siapa sih masyarakat umum yang kenal saya. Saya kan bukan orang terkenal. Kalaupun kenal, insya Allah mereka baik-baik. Saya tidak takut atau malu jumpa orang yang kenal ketika saya di KA atau sedang naik Ojek

Mengapa saya naik KA dan ojek, alasan saya sederhana dan pragmatis, karena aman, nyaman dan jauh lebih cepat sampai ke kantor dibandingkan dengan nyopir sendiri, pakai Bis atau Taksi.

Kebiasaan pragmatis dan efisien sangat didambakan di dunia modern. Saya seringkali melihat atau mendengar kebiasaan-kebiasaan pejabat, guru besar atau para eksekutif di negara maju yang biasa menggunakan alat transportasi massal, asalkan aman dan nyaman. Merekapun biasa melakukan sendiri pekerjaan yang dianggap akan lebih efisien dan efektif jika dilakukan orang lain, yang mungkin dilihat dari kacamata kita, kurang pantas mereka lakukan.

Saya tidak melihat bahwa apa yang saya lakukan dapat merusak citra saya sebagai Dirjen atau mengurangi wibawa institusi tempat saya bekerja. Yang saya lakukan betul-betul karena kepraktisan dan efisiensi. Saya tidak mengerti kalau apa yang saya lakukan itu masih merupakan hal yang aneh bahkan menimbulkan pertanyaan orang.  Sayapun tidak tahu, apakah kita masih berjiwa feodal, mengkultuskan pangkat, jabatan dan kekayaan, atau saya sendiri yang tidak tahu etika, melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan. Kata Ebit G. Ade, mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang. (WW).

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice