logo web

Dipublikasikan oleh PA Mojokerto pada on . Dilihat: 1535

ARTI SUPREMASI HUKUM BAGI PERADILAN AGAMA

 

Agus Firman, S.H.I., M.H.

(Hakim Pengadilan Agama Mojokerto)

 

Supremasi hukum menjadi kata sakti yang selalu diucapkan dalam setiap kesempatan dan oleh semua kalangan. Kata ini merujuk pada kondisi dimana hukum dijadikan sebagai unsur tertinggi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Tidak ada yang lebih tinggi dibanding hukum. Hukum sendiri merupakan kumpulan kaidah yang bersifat mengatur dan mengikat masyarakat. Sumber hukum paling banyak diakui adalah undang-undang atau ketentuan tertulis lain yang dikeluarkan dan disahkan Negara. Namun di luar itu, hukum juga dapat ditemukan dalam berbagai sumber tidak tertulis atau dikeluarkan oleh lembaga Negara semata.

Dalam dunia peradilan juga selalu dikumandangkan bahwa hakim bukan corong undang-undang. Artinya, sebagai penyuara keadilan hakim tidak terikat sepenuhnya kepada bunyi undang-undang. Undang-undang hanya merupakan salah satu elemen hukum yang akan ditegakkan. Dengan pemikiran ini maka sangat dimungkinkan, bahkan pada konteks tertentu disarankan bagi para hakim untuk tidak mengikuti bunyi undang-undang demi tercapainya tujuan utama dari proses peradilan, yakni keadilan itu sendiri.

Jika demikian, bagi para hakim terbuka luas kewenangan untuk membuka cakrawala kebajikan dan kearifan di luar undang-undang. Hakim bebas memetik berbagai kaidah yang bertebaran dalam ajaran agama, adat istiadat, atau kepentingan tertentu yang mendasar dan lebih bermanfaat untuk kemaslahatan.

Model berpikir seperti di atas, sangat cocok dihubungkan dengan keberadaan peradilan agama yang merupakan lembaga istimewa karena memiliki wewenang dan tugas khusus menyelesaikan masalah-masalah tertentu antar orang yang beragama Islam. Karena yang akan diselesaikan adalah permasalahan antar orang Islam saja, maka sangat beralasan jika hukum yang digunakan adalah hukum Islam yang sebagian besar belum berbentuk undang-undang atau ketentuan tertulis.

Meskipun tidak tertulis, justeru hukum Islam itulah yang harus ditegakkan pertama kali. Dalam konteks ini menarik disimak sebuah artikel yang ditulis mantan Ketua MA, Bagir Manan dalam Varia Peradilan Nomor XXV NO. 294 MEI 2010. Dalam artikel tersebut Bagir Manan mengingatkan kepada peradilan agama bahwa tugas utama lembaga ini adalah menegakkan syari’ah Islam. Penerapan syari’ah bersifat primaat atau prevail dari hukum di luar syari’ah yang bermakna bahwa selain harus didulukan dalam pilihan hukum (choice of law) juga mengandung makna bahwa hukum-hukum di luar syari’ah tidak boleh bertentangan dengan syari’ah.[1]

Oleh karena itu, keberadaan peraturan perundang-undangan hanya merupakan pelengkap bagi ketentuan-ketentuan yang belum ada atau masih sumir dalam syari’ah. Peringatan Bagir Manan di atas sangat berharga jika dihubungkan dengan trend di kalangan dunia peradilan Indonesia. Meskipun pada tataran teori wacana positivisme mulai ditinggalkan, namun pada kenyataannya, sebagai sebuah Negara yang menganut sistem eropa kontinental, aroma positivisme dalam penegakan hukum di negeri ini sangat terasa. Dalam proses peradilan hakim seringkali hanya menjadi pelaksana undang-undang semata.

Kenyataan ini tampaknya juga menghinggapi para hakim di lingkungan peradilan agama. Jarang ditemukan hakim yang berani melakukan contra legem bahkan untuk menegakkan syariat sekalipun. Ajaran positivisme bahwa setiap tindakan harus dilandasi aturan tertulis benar-benar mengakar di alam bawah sadar para hakim PA. Banyak diantara hakim PA yang lebih nyaman melaksanakan bunyi undang-undang daripada menyuarakan pemikiran-pemikiran alternatif dari kitab-kitab fiqh atau pemikiran-pemikiran hukum Islam kontemporer.

Sebagai contoh, dalam menentukan apakah seorang yang telah bercerai rujuk seringkali hanya didasarkan pada ada tidaknya bukti tertulis dari KUA. Padahal dalam hukum Islam, rujuk bisa terjadi dengan berbagai cara, misalnya terjadinya hubungan suami isteri (coitus) antara mantan suami isteri tersebut. Penentuan rujuk seperti ini tidak hanya didasarkan pada pertimbangan hukum formil belaka, melainkan juga pada alasan moral dan sosial. Dalam Islam tidak dikenal keterpisahan hukum dan moral sehingga dianggap bagian yang integral. Berbeda dengan doktrin dalam hukum perdata bahwa untuk membuktikan suatu dalil dalam hukum perdata dianut kebenaran formil, artinya bukti tertulis merupakan alat bukti utama.

Dalam penyelesaian perkara di peradilan agama, seharusnya tidak melulu melihat aspek kebenaran formil, melainkan juga pada aspek moral dan sosial dimana syari’ah sudah menyediakannya. Dalam kasus seperti di atas, rentan terjadi permasalahan moral dan sosial seperti jika dari hasil hubungan suami isteri tersebut kemudian melahirkan keturunan, bagaimana status anak tersebut?. Dari sudut pandang moral, dengan tidak menyatakan bahwa mantan suami isteri yang melakukan hubungan suami isteri rujuk kembali berarti membiarkan orang tersebut berbuat zina.

Sudah selayaknya para hakim peradilan agama menjadikan syari’ah sebagai pilihan hukum utama dalam mengadili perkara. Sebab sebagaimana dikemukakan di muka, penegakan supremasi hukum dalam konteks peradilan agama, tidak lain adalah menegakkan syari’ah Islam. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tugas dan wewenang peradilan agama harus diposisikan sebagai komplemen. Sebagai komplemen, maka undang-undang tidak seharusnya dijadikan rujukan utama kecuali untuk hal-hal yang tidak diatur tegas atau tidak lengkap oleh syari’ah seperti ketentuan-ketentuan terkait hukum acara dan administrasi. Dalam dua hal yang disebutkan terakhir keberadaan undang-undang sangat dibutuhkan karena terkait dengan pemberian kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan. Oleh karena itu, sepanjang mengenai hukum Islam dan peradilan agama undang-undang sebaiknya hanya ‘bermain’ pada ranah hukum formil, bukan materiil. Selain tidak diatur tegas dalam syari’ah, hukum formil merupakan jaminan bagi terselenggaranya proses persidangan yang pasti, terukur dan transparan, oleh karena itu karakter undang-undang yang mengikat dan memaksa sangat tepat digunakan untuk mengaturnya. Adapun mengenai hukum materiil syar’ah Islam telah menyediakan banyak pilihan dari berbagai sumber kepada para hakim untuk menentukan hukum yang sesuai.

Pertanyaannya kemudian, syari’ah yang mana?. Secara sederhana syari’ah dapat dimaknai sebagai kumpulan kaidah dalam nash (al-Qur’an dan al-Hadits), ijma’ ulama, qiyas serta berbagai pendapat para ahli hukum Islam dalam fiqh. Kaidah yang terkandung dalam nash (al-Qur’an dan al-Sunnah) tersebut kemudian diderivasi dengan berbagai cara dan memunculkan sumber baru, diantaranya yang utama, fiqh. Secara sederhana fiqh merupakan hasil interpretasi terhadap kaidah syari’ah yang sebagian besar belum jelas dan tidak applicable. Karena merupakan interpretasi, fiqh merupakan persepsi atau sudut pandang terhadap kaidah syari’ah dalam nash. Disamping itu, sebagai derivasi dari syari’ah, fiqh juga bagian dari syari’ah, bahkan seringkali dipersamakan.

Menurut Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh dari Mesir) syariat dan fiqh mempunyai keterkaitan yang erat, karenanya fiqh tidak bisa dipisahkan dari syariat. Namun demikian, keduanya jelas berbeda, sebab menurut Fathi ad-Duraini, sebelum dimasuki oleh pemikiran manusia, syariat selamanya bersifat benar. Sedangkan fiqh, karena sudah merupakan hasil pemikiran manusia, bisa salah dan bisa benar.[2]

Maka, fiqh sebenarnya bersifat fleksibel dan dapat berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Sebuah sudut pandang sangat dipengaruhi oleh konteks, baik waktu, motif, kepentingan maupun lokasi. Itulah sebabnya dalam Mazhab Syafii misalnya, dikenal dua pendapat (kaul qadim dan jadid), ini menandakan bahwa fiqh tidaklah ajeg melainkan dapat berganti. Oleh karena itu, berbagai sudut pandang hukum terhadap nash asalkan memiliki argumen dan dasar epistemologis yang dapat dipertanggungjawabkan dan dikeluarkan oleh orang yang kompeten dapat diklaim sebagai fiqh dan dapat dijadikan hujjah syar’iyyah. Maka seorang fuqaha tidak didominasi oleh para ulama dan kyai, tapi bisa juga dari kalangan lain seperti akademisi, praktisi hukum, bahkan juga seorang yang dicap orientalis sekalipun. Para hakimpun dapat menjadi ‘fuqaha’ sebab dalam memutuskan perkara, selain menemukan hukum, seorang hakim juga dapat menciptakan hukum baru.

Dengan pemaknaan yang luas terhadap fiqh sebagaimana diuraikan di atas, para hakim peradilan agama seyogyanya tidak perlu khawatir akan kehabisan sumber hukum materiil dalam memutuskan perkara. Tidak perlu juga terlalu bergantung pada ketentuan peraturan perundang-undangan karena syari’ah (hukum Islam) memiliki cakupan dan sumber yang lebih luas dibanding undang-undang.

 


[1] Bagir Manan, “Hukum Materiil Perkawinan di Lingkungan Peradilan Agama”, Varia Peradilan, No. 294 Mei 2010. hlm. 33.

[2] http://www.gudangmateri.com/2010/01/syariah-dan-fiqh.html

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice